Tradisi kuno tentang Perempuan Suci atau Shahzadi Ibadat memang tak banyak dikenal luas. Namun tradisi ini telah berhasil ‘memasung’ hak manusiawi perempuan di Pakistan, tepatnya di Sindu selama turun temurun. Tradisi Perempuan suci yang salah kaprah mengatasnamakan agama Islam untuk melarang perempuan menikah. Sang perempuan suci dalam tradisi ini disebutkan hanya boleh menikah dengan Alquran. Lalu mengabdikan hidup hanya untuk menjadi ulama yang menyebarkan agama Islam. Sebuah tradisi turun menurun yang mengatasnamakan Alquran dan Islam namun jelas-jelas bertentangan dengan keduanya.
Awalnya saya ragu apakah saya bisa menamatkan buku setebal 710
halaman ini tanpa rasa bosan di tengah-tengahnya. Ternyata saya keliru,
buku ini justru menarik saya untuk membaca dan terus membaca hingga
usai. Saya tak menyangka ternyata Shahzhadi ibadat, seorang perempuan
suci yang digambarkan sebagai bentuk tradisi kuno masyarakat Chiragpur
(di negeri Pakistan) merupakan rekaan penulis dan ia berhasil membuatnya
seakan terasa nyata adanya.
Pernahkah terbayangkan saat seorang perempuan berusia 27 tahun yang
cerdas, terpelajar, anggun, cantik jelita, bergaya kota, jarang shalat
atau menyentuh kitab suci, dan begitu mengagungkan isu-isu feminisme
dalam kamus hidupnya tiba-tiba dipaksa untuk menikahi Al-Qur’an dan
ladang-ladang sawah warisan ayahnya tepat saat ia benar-benar telah
menemukan tambatan hatinya? Karena kematian adik laki-laki semata
wayangnya yang semula berhak menjadi satu-satunya ahli waris, Zarri Bano
akhirnya menjadi penerus warisan terkutuk milik ayahnya. Saat itu ia
telah bertunangan dengan Sikander, seorang pemuda yang juga kaya raya
dari kota Karachi.
Namun kebencian ayah Zarri Bano kepada Sikander dan
kematian anak laki-lakinya, serta keteguhannya memegang tradisi
turun-temurun para leluhurnya, hal tersebut mendorongnya untuk
menasbihkan Zarri Bano menjadi seorang perempuan suci dan mengangap itu
sebagai takdir yang tak bisa ditampik bahkan oleh Zarri Bano sendiri.
Yang artinya, Zarri Bano harus menyerahkan hidupnya pada keyakinannya
dan tidak ada seorang lelaki pun yang dapat menikahinya hingga akhir
hayatnya. Sebagai gantinya, ia berhak atas segala harta warisan ayahnya
dan berhak atas pendidikan agama yang tinggi serta menjadi perempuan
saleh yang amat disegani.
Pada saat yang sama, Sikander yang merasa sudah sejengkal lagi
mendapatkan Zarri Bano seutuhnya dipaksa hancur oleh rasa kecewa. Kecewa
kepada Zarri Bano yang enggan meninggalkan keluarganya demi dirinya,
terlebih-lebih kecewa kepada Habib Khan, ayah kandung Zarri yang
menyebabkan puterinya menerima nasib naas dalam hidupnya. Duka tak henti
menyelimuti Zarri Bano. Setahun selepas kepergian dirinya ke
Universitas Kairo untuk memperdalam ilmu agama, Zarri harus menerima
kenyataan bahwa cintanya lamanya, Sikander, akan menikahi adik bungsunya
sendiri, Ruby.
Novel ini sanggup membuat mata saya menjadi mata bawang dan
ikut larut dalam kesedihan Zarri Bano. Segalanya terasa nyata. Qaisra
sanggup mengaduk emosi pembacanya dengan baik. Kalimat-kalimatnya begitu
romantis dan menyentuh sukma. Satu hal yang membuat saya lega adalah
endingnya yang ternyata bahagia. Lima bintang saya hadiahkan untuk novel
pemenang Jubilee Award 2002 ini.
1 comment:
Cek
Post a Comment