Saturday, 3 May 2014

Review Buku: Perempuan Suci (Qaisra Shahraz)

Tradisi kuno tentang Perempuan Suci atau Shahzadi Ibadat  memang tak banyak dikenal luas. Namun tradisi ini telah berhasil ‘memasung’ hak manusiawi perempuan di Pakistan, tepatnya di Sindu  selama turun temurun. Tradisi Perempuan suci yang salah kaprah  mengatasnamakan agama Islam untuk melarang perempuan menikah. Sang perempuan suci dalam tradisi ini disebutkan hanya boleh menikah dengan Alquran. Lalu mengabdikan hidup hanya untuk menjadi ulama yang menyebarkan agama Islam. Sebuah tradisi turun menurun yang mengatasnamakan Alquran dan Islam namun jelas-jelas bertentangan dengan keduanya.

Awalnya saya ragu apakah saya bisa menamatkan buku setebal 710 halaman ini tanpa rasa bosan di tengah-tengahnya. Ternyata saya keliru, buku ini justru menarik saya untuk membaca dan terus membaca hingga usai. Saya tak menyangka ternyata Shahzhadi ibadat, seorang perempuan suci yang digambarkan sebagai bentuk tradisi kuno masyarakat Chiragpur (di negeri Pakistan) merupakan rekaan penulis dan ia berhasil membuatnya seakan terasa nyata adanya. 

Pernahkah terbayangkan saat seorang perempuan berusia 27 tahun yang cerdas, terpelajar, anggun, cantik jelita, bergaya kota, jarang shalat atau menyentuh kitab suci, dan begitu mengagungkan isu-isu feminisme dalam kamus hidupnya tiba-tiba dipaksa untuk menikahi Al-Qur’an dan ladang-ladang sawah warisan ayahnya tepat saat ia benar-benar telah menemukan tambatan hatinya? Karena kematian adik laki-laki semata wayangnya yang semula berhak menjadi satu-satunya ahli waris, Zarri Bano akhirnya menjadi penerus warisan terkutuk milik ayahnya. Saat itu ia telah bertunangan dengan Sikander, seorang pemuda yang juga kaya raya dari kota Karachi. 


Namun kebencian ayah Zarri Bano kepada Sikander dan kematian anak laki-lakinya, serta keteguhannya memegang tradisi turun-temurun para leluhurnya, hal tersebut mendorongnya untuk menasbihkan Zarri Bano menjadi seorang perempuan suci dan mengangap itu sebagai takdir yang tak bisa ditampik bahkan oleh Zarri Bano sendiri. 

Yang artinya, Zarri Bano harus menyerahkan hidupnya pada keyakinannya dan tidak ada seorang lelaki pun yang dapat menikahinya hingga akhir hayatnya. Sebagai gantinya, ia berhak atas segala harta warisan ayahnya dan berhak atas pendidikan agama yang tinggi serta menjadi perempuan saleh yang amat disegani.

Pada saat yang sama, Sikander yang merasa sudah sejengkal lagi mendapatkan Zarri Bano seutuhnya dipaksa hancur oleh rasa kecewa. Kecewa kepada Zarri Bano yang enggan meninggalkan keluarganya demi dirinya, terlebih-lebih kecewa kepada Habib Khan, ayah kandung Zarri yang menyebabkan puterinya menerima nasib naas dalam hidupnya. Duka tak henti menyelimuti Zarri Bano. Setahun selepas kepergian dirinya ke Universitas Kairo untuk memperdalam ilmu agama, Zarri harus menerima kenyataan bahwa cintanya lamanya, Sikander, akan menikahi adik bungsunya sendiri, Ruby.

Novel ini sanggup membuat mata saya menjadi mata bawang dan ikut larut dalam kesedihan Zarri Bano. Segalanya terasa nyata. Qaisra sanggup mengaduk emosi pembacanya dengan baik. Kalimat-kalimatnya begitu romantis dan menyentuh sukma. Satu hal yang membuat saya lega adalah endingnya yang ternyata bahagia. Lima bintang saya hadiahkan untuk novel pemenang Jubilee Award 2002 ini.