Kepada Masalalu, sampai saat ini kaubelum juga membalas kerinduanku, padahal aku tahu, kaupun merindukanku, ya…aku tahu dari senja yang selalu mengabarkan segala hal tentang dirimu.
Barangkali, ketika membaca surat ini, kausedang menertawakanku, di benakmu pasti terbersit,
“bagaimana caranya menatap matahari tenggelam di ibukota?” Memang…, memang sulit menatap senja di sini, tapi, tahukah kau? Di sini, aku mengabadikan senja dari pantulan kaca-kaca gedung bertingkat, bias semburatnya seakan sedang menceritakan segala keadaanmu di sana.
“bagaimana caranya menatap matahari tenggelam di ibukota?” Memang…, memang sulit menatap senja di sini, tapi, tahukah kau? Di sini, aku mengabadikan senja dari pantulan kaca-kaca gedung bertingkat, bias semburatnya seakan sedang menceritakan segala keadaanmu di sana.
Di sini, senja seakan tidak pernah benar-benar berakhir, senja selalu berbisik kepada gedung-gedung angkuh, kepada deru kendaraan, kepada debu jalanan, kepada arogan kemacetan, dan permukaan semesta yang tadinya remang keemasan, perlahan menjelma gulita malam. Pada saat itulah, sebuah kisah cinta harus segera kita simpulkan, menjadi apa pun senja dan cinta, hanya kita dan senja yang mampu menafsirkannya.
Jadi, tak perlu kau menutup-nutupi segala perasaanmu yang teriris pedih oleh sebab rindu, biarlah senja saja yang mengabarkan semua kecemasanmu.
Surat ini kutulis pada suatu senja di ibukota. Dan seperti yang sudah-sudah, “setidaknya, hari ini aku masih punya cinta dan senja. Ya…, setidaknya.”
No comments:
Post a Comment