tepat di tanggal ini saya memulai kembali diskusi-diskusi dengan kawan di Ruang Diskusi NHIC UNS
meskipun di awali dengan penyakit yang sudah tak asing lagi untuk saya yaitu waktu ngaret hehehe
diskusi ini adalah sebagai grand opening ICES " Islamic Civilization Engineering School " atau dapat di artikan sekolah rekayasa perdaban islam, seneng rasanya bisa ketemu dengan kader" yang luar biasa dengan bahasa intelektualnya dengan basis filosofis juga nilai-nilai keislaman dengan gaya nasionalisme, juga tetep dengan dasar epstimologi paradigma gerakan KAMMI yang memang sebagai bahan acuhan atau dasar diskusi kami, diskusi mengangkat tema tentang INTELEKTUAL FROFETIK atau sering didefinisikan gaya pemikiran kenabian, yang sangat kuat dengan membahas pro kontra di dalamnya karena terdapat gerakan mensimulasikan naluri rasionalitas dan naluri wahyu.
Saya mungkin tidak begitu paham dengan makna profetik ini yang juga salah satu paradigma gerakan KAMMI yang kedua ini, saya terlalu kesulitan dalam memahami arti dari pemikiran Kuntowijoyo yang mencoba menggabungkan 2 pemikiran yang menurut saya sangat sulit untuk direalisasikan dalam asas kehidupan dan kritik terhadap Ilmu Sosial-Profetiknya yang begitu kurang rasio menurut saya.
Prof. Dr. Kuntowijiyo menyatakan “Tabligh yang sekarang tampak sebagai perbuatan yang biasa, pada waktu itu (tahun 1912) adalah perbuatan luar biasa”. Ini menyebabkan implikasai pada jaman tersebut. Termasuk pada konsep ketuhanan dan sosial kemasyarakatan Gerakan parelemen seharusnya lebih bergerak kearah sosial tanpa melepaskan sisi intelektual yang telah terbentuk dan menjadi cap bagi kaum mahasiswa. Sebagaimana kita ketahui bahwa organisasi ekternal parlemen mempunyai segitiga trilogy yaitu membaca, menulis, dan diskusi. Trilogi ini yang selanjutnya diharapkan tumbuh kader yang humanis, intelektual, dan religius.
Apa yang sesungguhnya ingin diharapkan dari gerakan profetik ini, gerakan profetik ataupun siafat kenabian sangatlah luas sekali jadi kita perlu batasan untuk membatasi hal ini. Kata profetik ini jika dipakai sehari-hari akan menimbulkan persepsi seolah-olah berperilaku nabi. Dalam bidang apa kita harus berperilaku seperti Nabi ? ini memerlukan batasan sehingga Prof. Dr. Kuntowijoyo menggabungkan dua kata ini ‘Intelektual Profetik’. Jadi siapa yang memiliki ke-profetik-an tersebut ? sudah jelas intelektual lah yang memiliki perilaku tersebut. Tentunya dalam bidang intelektual dalam hal ini dapat dikatakan lingkup mahasiswa. Diharapkan gerkan intelektual profetik ini menyentuh elemen akademisi dan intelektual agar berperilaku dan bersikap seperti nabi. Penekanan yang ingin disampaikan disini adalah sisi hubungan sosial kemasyarakatan, nilai-nilai sosial. Diharapkan intelektual-intelektual yang mengaku memiliki jiwa moderat, teknokrat masih melihat lingkungan yang ada disekitarnya. Lingkup sosial yang telah menjadi lahan kosong bagi kita untuk berdakwah, jika seluruh elemen dapat mengimplementasikan kata profetik itu sendiri mungkin sangat mudah dalam memahami kata tersebut.
sungguh saya masih sangat bingung dan masih teraganjal dalam hati, tentang diskusi masalah ini
diharapkan ada diskusi nilai2 kenetralan untuk memaparkan kata profetik sendiri
mungkin itu sedikit analogi yang dapat saya simpulkan tentang tema diskusi, tema ini mungkin sangat riskan dengan kritikan, yang memang agak sulit untuk dapat mempersatukan keduanya tapi di sini yang terpenting mungkin awal dari perjalanan untuk lebih lanjut mengkaji ilmu-ilmu tersebut dengan lebih kolektif dengan kader2 yang lain supaya dapat mempertemukan titik dari permasalahn sosial islam di dalamnya
oh iyaaa setelah diskusi langsung di lanjutkan dengan arahan ICES dari bidang kaderisasi dengan opening yang menurut saya keren dan mangagetkan, karena di buka dengan sebuah puisi karya dari TOUFIK ISMAIL yang Berjudul Kita Adalah Pemilik Syah Republik Ini :
Tidak ada pilihan lain.
Kita
harus Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah
kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat
yang berakhiran “Duli Tuanku?”
Tidak ada lagi pilihan lain.
Tidak ada lagi pilihan lain.
Kita harus Berjalan terus
Kita adalah manusia
bermata sayu,
yang di tepi jalan Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang
penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara Dipukul banjir,gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita
yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara
yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus Berjalan terus.
Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus Berjalan terus.
Keren tho Puisinya hehehe
Salam ukhuwah fillah :)
No comments:
Post a Comment