(Hassa)
Hari ini saya selesai membaca buku At Tauhid wat Tawakal yang dibahas oleh Syekh Zuhair Syafiq al Kubbiy. Buku ini membahas mengenai pemikiran Imam Al Ghazali mengenai tawakal itu sendiri.
Hari ini saya selesai membaca buku At Tauhid wat Tawakal yang dibahas oleh Syekh Zuhair Syafiq al Kubbiy. Buku ini membahas mengenai pemikiran Imam Al Ghazali mengenai tawakal itu sendiri.
Menarik
ketika Al Ghazali memaparkan mengenai bagaimana keyakinan itu
didapatkan. Baginya, keimanan merupakan pembenaran, setiap pembenaran
yang dilakukan oleh hati adalah ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dalam
intensitas yang kuat itu akan menjadi keyakinan. Akan tetapi, gerbang
keyakinan sangat banyak, maka disini Al Ghazali mengambil satu bentuk
keyakinan yang diatasnya bisa dibangun konsep tawakal, yaitu: tauhid.
Tauhid
merupakan sebuah konsep pokok yang akan menjadi ilmu pembuka rahasia
transedental. Menurut Al Ghazali, ada empat strata dalam tauhid.
Pertama, tauhid seorang manusia yang mengucapkan kalimah syahadat akan
tetapi hatinya lalai dalam ucapan itu. Ini disebut munafik. Kedua, jika
hatinya membenarkan arti dari perkataan tersebut sebagaimana yang
dilakukan kaum muslimin pada umumnya.
Ini disebut keyakinan orang awam. Ketiga, jika ia dapat mempersaksikan semua itu dengan metode kasyaf (terbukanya ilmu transdental), dimana mereka merasakan ketunggalan Allah SWT meskipun ia melihat segala sesuatu yang beragam di dunia ini. Ini disebut keyakinan kaum muqarrabiin. Keempat, jika ia tak memandang perwujudan kecuali hanya satu saja. Kaum sufi menyebutnya ‘peleburan diri’ dalam tauhid. Konsepsi tawakal hanya bisa didirikan diatas landasan strata ketiga.
Ini disebut keyakinan orang awam. Ketiga, jika ia dapat mempersaksikan semua itu dengan metode kasyaf (terbukanya ilmu transdental), dimana mereka merasakan ketunggalan Allah SWT meskipun ia melihat segala sesuatu yang beragam di dunia ini. Ini disebut keyakinan kaum muqarrabiin. Keempat, jika ia tak memandang perwujudan kecuali hanya satu saja. Kaum sufi menyebutnya ‘peleburan diri’ dalam tauhid. Konsepsi tawakal hanya bisa didirikan diatas landasan strata ketiga.
Setelah
membahas mengenai kemanunggalan wujud, penulis membahas mengenai
kondisi tawakal dan tingkatannya. Pertama, adalah jika kita berada dalam
hak Allah, percaya dengan tanggungan dan pertolongan-Nya. Kedua,
merupakan tawakal yang kuat, yaitu bila keberadaan kita bersama Allah
seperti kebersamaan seorang anak kecil pada ibunya. Ketiga, merupakan
bentuk tawakal yang paling tinggi, yaitu jika kita selalu merasa berada
di hadapan Allah di dalam segala gerak dan diamnya, seperti seorang
mayat di tangan orang yang memandikannya.
Dalam ranah praksis, penulis membahas mengenai amalan orang-orang yang bertawakal dan tawakalnya orang-orang yang berkeluarga.
Pada
akhirnya, interpretasi tawakal dalam sudut pandang yang relevan dengan
tuntutan tauhid, dalil naqly, dan syariat, berada dalam kedalaman dan
kesukaran kecuali bagi para ulama yang dianugrahkan Allah cahaya hikmah
sehingga mereka dapat melihat, menyatakan dan kemudian mengucapkan
dengan fasih apa yang telah mereka saksikan jika mereka diminta untuk
bicara.
Mudah-mudahan kita bisa belajar. . .
No comments:
Post a Comment