Saturday, 1 March 2014

At Tauhid wat Tawakal

(Hassa)

Hari ini saya selesai membaca buku At Tauhid wat Tawakal yang dibahas oleh Syekh Zuhair Syafiq al Kubbiy. Buku ini membahas mengenai pemikiran Imam Al Ghazali mengenai tawakal itu sendiri.
Menarik ketika Al Ghazali memaparkan mengenai bagaimana keyakinan itu didapatkan. Baginya, keimanan merupakan pembenaran, setiap pembenaran yang dilakukan oleh hati adalah ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dalam intensitas yang kuat itu akan menjadi keyakinan. Akan tetapi, gerbang keyakinan sangat banyak, maka disini Al Ghazali mengambil satu bentuk keyakinan yang diatasnya bisa dibangun konsep tawakal, yaitu: tauhid.

Tauhid merupakan sebuah konsep pokok yang akan menjadi ilmu pembuka rahasia transedental. Menurut Al Ghazali, ada empat strata dalam tauhid. Pertama, tauhid seorang manusia yang mengucapkan kalimah syahadat akan tetapi hatinya lalai dalam ucapan itu. Ini disebut munafik. Kedua, jika hatinya membenarkan arti dari perkataan tersebut sebagaimana yang dilakukan kaum muslimin pada umumnya. 


Ini disebut keyakinan orang awam. Ketiga, jika ia dapat mempersaksikan semua itu dengan metode kasyaf (terbukanya ilmu transdental), dimana mereka merasakan ketunggalan Allah SWT meskipun ia melihat segala sesuatu yang beragam di dunia ini. Ini disebut keyakinan kaum muqarrabiin. Keempat, jika ia tak memandang perwujudan kecuali hanya satu saja. Kaum sufi menyebutnya ‘peleburan diri’ dalam tauhid. Konsepsi tawakal hanya bisa didirikan diatas landasan strata ketiga.
Setelah membahas mengenai kemanunggalan wujud, penulis membahas mengenai kondisi tawakal dan tingkatannya. Pertama, adalah jika kita berada dalam hak Allah, percaya dengan tanggungan dan pertolongan-Nya. Kedua, merupakan tawakal yang kuat, yaitu bila keberadaan kita bersama Allah seperti kebersamaan seorang anak kecil pada ibunya. Ketiga, merupakan bentuk tawakal yang paling tinggi, yaitu jika kita selalu merasa berada di hadapan Allah di dalam segala gerak dan diamnya, seperti seorang mayat di tangan orang yang memandikannya.

Dalam ranah praksis, penulis membahas mengenai amalan orang-orang yang bertawakal dan tawakalnya orang-orang yang berkeluarga. 

Pada akhirnya, interpretasi tawakal dalam sudut pandang yang relevan dengan tuntutan tauhid, dalil naqly, dan syariat, berada dalam kedalaman dan kesukaran kecuali bagi para ulama yang dianugrahkan Allah cahaya hikmah sehingga mereka dapat melihat, menyatakan dan kemudian mengucapkan dengan fasih apa yang telah mereka saksikan jika mereka diminta untuk bicara.

 
Mudah-mudahan kita bisa belajar. . .

No comments: