Friday, 22 January 2016

ESENSI AJARAN ISLAM TENTANG KHALIFAH FIIL ARDH DALAM SOSIAL BERMASYARAKAT " Makalah LK II "

Manusia memiliki keistimewaan dibanding dengan makhluk lainnya. Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna (lihat surat at-Tiin). Meskipun demikian, manusia berpotensi (berpeluang) untuk menjadi makhluk paling mulia atau paling hina. Hanya orang yang beriman dan beramal shalih yang akan menjadi makhluk mulia di sisi Allah.

Potensi inilah yang menjadikan manusia sangat disayang oleh Allah. Di antara bukti kasih sayang-Nya adalah penciptaan alam semesta ini. Alam sengaja diciptakan oleh Allah dengan penuh keseimbangan dan keteraturan, bukan tercipta secara kebetulan. Penciptaan alam ini terkait dengan kepentingan manusia sebagai khalifah fil ardh (pemakmur di muka bumi ini), karenanya alam diciptakan dalam pola-pola tertentu yang teratur agar manusia dapat dengan mudah memahami alam dan memanfaatkannya.

Manusia, sebagai makhluk Allah Swt, memiliki sifat fitrah (kesucian) dan hanif (cenderungan kepada kebenaran). Hal ini ditegaskan dengan ikrar kesaksian pada ketauhidan (QS al-A'raf: 172). Manusia ketika masih di alam arwah telah berjanji akan senantiasa beriman kepada Allah. Namun Allah tidak membiarkan manusia berkata seperti itu begitu saja. Allah akan menguji kebenaran janji mereka. Ujian keimanan itu adalah menjadi makhluk penghuni bumi. Lantas Allah juga membekali manusia dengan hati, akal, dan nafsu untuk menjalankan misi khalifah tersebut. Sisi keunggulan inilah yang menempatkan manusia layak menerima amanat “khalifah Allah Swt di muka bumi ini”.

Kesadaran akan eksistensi diri sebagai langkah awal dalam melakukan kerja kemanusiaan memuat dimensi penting yaitu dimensi Ilahiyah. Dimensi inilah yang mendatangkan pencerahan dalam gerak langkah setiap individu, karena hal itu sekaligus berperan sebagai sumber energi yang memotivisir dan menggerakkan langkah. Maka tiada gerak dan kerja yang tidak memiliki dimensi Ilahiyah tersebut, karena tanpa itu hanya merupakan sesuatu perjalanan tanpa tujuan, sehingga bagi HMI, semua kerja-kerja di muka bumi merupakan suatu rangkaian ibadah kepada Allah SWT. Sekaligus merupakan satu simbol dari penghambaan diri dan pengakuan terhadap ke Maha Kuasaan Allah SWT. Oleh karena itu, kata terakhir dari rumusan tujuan HMI adalah “ Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam, dan bertangung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT ”.Dengan kecenderungan yang terjadi pada saat ini, maka penguatan dimensi Ilahiyah menjadi sesuatu yang mutlak. Bukan saja terhadap diri individu, tetapi juga dalam menghadapi tantangan mondial. Kemajemukan masyarakat menimbulkan adanya variasi unsur (yang sering disebut primordialisme), sehingga untuk terciptanya suatu harmoni dalam kemajemukan itu dituntut adanya satu simbol besama berupa consensus. Untuk itu, maka penguatan terhadap jati diri individu berdasar basis unsur kemasyarakatan (bukan primordalisme) seperti terhadap agamanya justru diperlukan bagi penegasan itu, maka suatu harmoni dapat dieleminir dengan munculnya identitas dan prioritas masalah yang dihadapi.

A.      Adam, Hawa dan Manusia
Jika berbicara masalah manusia atau dasar-dasar kemanusiaan maka tidak akan terlepas pada drama kosmis tentang Adam dan Hawa, yang memiliki unsur filosofis yang berbeda dari agama satu dengan yang lain, banyak polemik terjadi dengan kisah ini dari berbagai agama terutama tentang kejatuhannya adam dari surga, menurut Cak Nur Kisah Adam dan kejatuhannya dari surga memiliki arti yang penting dalam agama-agama wahyu, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Bagi agama Islam dan Yahudi, kisah Adam, walaupun penting, ti­dak­lah menjadi fondasi pandangan teologis yang pokok. Agama Kristiani, se­baliknya, kisah Adam itu mencakup bagian yang menjadi tiang pancang teologi Kristiani, khususnya bagian tentang jatuhnya Adam dari surga ke bumi. Ini yang menjelaskan mengenai “Doktrin Kejatuhan dalam Dosa” (Doctrine of Fall in Sin) yang amat penting dalam sistem iman Kristiani.
Islam mengakui adanya kejatuhan (hubûth) manusia (Adam) dari surga, sebagaimana dituturkan dalam Al-Quran, namun tidak menja­dikannya se­bagai pangkal ataupun bagian dari sistem keimanannya yang po­kok. Tetapi walaupun demikian, menurut Cak Nur, dari kisah itu diha­rapkan kaum beriman dapat menarik pelajaran dari “seberang” (i‘tibâr) kisah itu, sesuai dengan maksud dan tujuan semua kisah suci dalam agama. Usaha Hermeneutis seperti ini tampaknya memang merupakan cara Cak Nur untuk memberikan arti kepada cerita-cerita dalam agama, seperti ia lakukan dalam banyak entri dalam ensiklopedi ini. Sebagai contoh kita akan lihat bagaimana pandangan Cak Nur mengenai kesamaan penuturan kisah Adam dalam Perjanjian Lama dan Al-Quran.
Menurut Cak Nur, secara garis besar kisah dari Kitab Kejadian itu me­miliki persamaan dengan penuturan Kitab Suci Al-Quran, walaupun be­berapa rincian sama sekali berbeda atau tidak terdapat dalam Al-Quran. Misalnya, menurut Al-Quran, yang tergoda rayuan setan itu adalah seka­li­gus Adam dan istrinya bersama-sama, dan setan yang menggodanya tidak di­lukiskan sebagai seekor ular. Karena Adam dan Hawâ melakukan pelang­gar­an secara bersama, maka beban akibat buruknya pun dipikul bersama, tanpa salah satu menanggung lebih daripada yang lain. Menurut Cak Nur, dalam Al-Quran tidak ada semacam kutukan kepa­da kaum perempuan akibat tergoda itu, seperti kutukan bahwa perempuan akan mengandung dan melahirkan dengan sengsara dan akan ditundukkan oleh kaum lelaki, suami mereka. Juga dengan sendirinya tidak ada kutukan ke­pada binatang ular.
Cak Nur menjelaskan didalm Al-Qur’an mengenai drama kosmis peristiwa kejatuhan adam dalam pembukaan Allah untuk memberi tahu kepada seluruh malaikat tentang ditunjuknya seorang manusia sebagai khalifah dimuka bumi dan menyuruh seluruh makhluk tunduk kepada Adam, simbol-simbol yang ada pada drama kosmis Adam dan Hawa memiliki banyak penafsiran tentang esensi dari khalifah fill ardh, grand desaign yang sudah di buat tuhan untuk menurunkan Khalifah di bumi, mempunyai tujuan yang cukup fenomenal, tujuan tuhan menurunkan manusia dimuka bumi untuk menjadi khalifah fill ardh adalah menjadi wakil tuhan untuk menjadi pemimpin dan pemakmur di bumi.
Karena manusia mempunyai kelebihan yang balance antara kebaikan dan keburukan yang dimilikinya, yang meskipun fitrah manusia yang cenderung dominan ke arah kebaikan, tapi Ali Syariati berpendapat bahwa manusia diturunkan di bumi karena sudah tidak memiliki unsur kesucian maka makhluk yang sudah tidak suci tidak layak menghuni Jannah, karena hakekat penciptaan manusia yang di terangkan di dalam Al – Quran surat Al-Mu’minun (12-15), bahwa manusia di ciptakan dari kebaikan yang di simbolkan berupa sari pati tanah, dan keburukan yang di simbolkan dengan setetes air hina, maka dari itulah kenapa justru Allah memilih manusia menjadi wakilnya di muka bumi, dan melalui petunjuk-petunjuk Allah yang akan mengantarkan Adam dan Hawa dalam menebus kesalahannya waktu di Surga.
B.  Esensi Penciptaan Manusia Sebagai Khalifah Fill Ardh
Satu hal yang mesti dilakukan sebelum kita membicarakan hal-hal lain dari manusia adalah sebuah pertanyaan filosofis yang senantiasa hadir pada setiap manusia itu sendiri, yakni apa sesungguhnya manusia itu? Dari segi aspek apakah manusia itu mulia atau terhina? Dan apa tolak ukurnya? Tentu manusia bukanlah makhluk unik dan sulit untuk dipahami bila yang ingin dibicarakan berkenaan dengan aspek basyariah (fisiologis)nya. Karena cukup dengan menpelajari anatomi tubuhnya kita dapat mengetahui bentuk atau struktur terdalamnya. Tetapi manusia selain merupakan makhluk basyariah (dimensi fisiologis) dan Annaas (dimensi sosiologis) ia juga memiliki aspek insan (dimensi psikologis) sebuah dimensi lain dari diri manusia yang paling sublim serta memiliki kecenderungan yang paling kompleks. Dimensi yang disebut terakhir ini bersifat spritual dan intelektual dan tidak bersifat material sebagaimana merupakan kecenderungan aspek basyarnya.
Dari aspek inilah nilai dan derajat manusia ditentukan dengan kata lain manusia dinilai dan dipandang mulia atau hina tidak berdasarkan aspek basyar (fisiologis). Sebagai contoh cacat fisik tidaklah dapat dijadikan tolak ukur apakah manusia itu  hina dan tidak mulia tetapi dari aspek insanlah seperti pengetahuan, moral dan mentallah manusia dinilai dan dipahami sebagai makhluk mulia atau hina. Dalam beberapa kebudayaan dan agama manusia dipandang sebagai makhluk mulia dengan tolak ukurnya bahwa manusia merupakan pusat tata surya. Pandangan ini didasarkan pada pandangan Plotimius bahwa bumi merupakan pusat seluruh tata surya.seluruh benda-benda langit ‘berhikmat’ bergerak mengitari bumi. Mengapa demikian? Karena di situ makhluk mulia bernama manusia bercokol. Jadi pandangan ini menjadikan kitaran benda-benda langit mengelilingi bumi sebagai tolak ukur kemulian manusia. Namun seiring dengan kemajuan sains pandangan ini kemudian ditinggalkan dengan tidak menyisakan nilai mulia pada manusia. Para ahli astronomi justru membuktikan hal sebaliknya bahwa  bumi bukanlah pusat tata surya tetapi matahari.
Manusia tidak lagi dipandang sebagai makhluk mulia bahkan dianggap tak ada bedanya dengan binatang adapun geraknya tak ada bedanya dengan mesin yang bergerak secara mekanistis. Bahkan lebih dari itu dianggap tak ada bedanya dengan materi, ada pun jiwa bagaikan energi yang di keluarkan oleh batu bara. Karena itu wajar  bila manusia dan nilai-nilai kemanusiaan tak lagi dihargai. Maka datanglah kaum humanisme berupaya mengangkat harkat manusia, dengan memandang bahwa kekuatan, kekuasaan, kekayaan, pengetahuan ilmiah dan kebebasan merupakan hal esensial yang membedakan manusia dengan selainnya.
Tetapi bila itu tolak ukurnya, lantas haruskah orang seperti Fira’un atau Jengis Khan yang dapat melakukan apa saja terhadap bangsa-bangsa yang dijajahnya dipandang mulia? Jika berilmu pengetahuan  merupakan tolak ukurnya. Lantas, apakah dengan demikian orang-orang seperti Einstein yang paling berilmu tinggi abad 20 atau para sarjana-sarjana itu lebih mulia dari seorang Paus Yohanes Paulus II, Bunda Teresia atau Mahadma Ghandi bagi ummatnya masing-masing? Sungguh semua itu termasuk ilmu pengetahuan – sepanjang peradaban kemanusiaan manusia – tidak mampu mengubah dan memperbaiki watak jahat manusia untuk kemudian mengangkatnya menjadi mulia. Lantas, apa sesunguhnya tolak ukur kemanusian itu? Sungguh dari seluruh bentuk-bentuk konsepsi tentang manusia yang ada di muka bumi tak satu pun yang dapat menandingi paradigma (tolak ukur)nya serta tidak ada yang lebih representatif dalam memupuk psikologisnya kearah yang lebih mulia dari apa yang ditawarkan Islam.
Dalam konsepsi Islam Tuhan (Allah) dipandang sebagai sumber segala kesempurnaan dan kemulian. Tempat bergantung (tolak ukur) segala sesuatu. Karena itu pula sebagaimana diketahui dalam  konsepsi Islam, manusia ideal (insan kamil) dipandang merupakan manifestasi Tuhan termulia di muka bumi dan karenanya ditugaskan sebagai wakil Tuhan yang dikenal sebagai khalifah/nabi atau rosul (QS.2:30). Karena itu, ciri-ciri kemulian Tuhan tergambar/ termanifestasikan pada dirinya (QS.33:21) sebagai contoh real yang terbaik (uswatun hasanah) dari “gambaran/cerminan” Tuhan di muka bumi (QS.68:4). Dengan kata lain bahwa karena Nabi merupakan representasi (contoh) Tuhan di muka bumi bagi manusia dengan demikian nabi/rosul/khalifah sekaligus merupakan representasi  yakni insan kamil (manusia sempurna) dari seluruh kualitas kemanusiaan manusia. Tetapi walaupun manusia dipandang sedemikian rupa dengan nabi sebagai contohnya, pada saat yang sama, dalam konsepsi Islam manusia dapat saja jatuh wujud kemulian menjadi sama bahkan lebih rendah dari binatang.
Dengan demikian keidentikan kepadanya (khalifah/nabi/rasul) merupakan tolak ukur kemulian kemanusiaan manusia dan sebaliknya berkontradiksi dengannya merupakan ukuran kebejatan dan dianggap sebagai syaitan (QS.6:112).
C.      Manusia Sebagai Khalifah
Manusia sebagai mahluk yang mulia, menempati posisi yang istimewa yang diberikan Allah di muka bumi ini. Keistimewaan manusia ini terlihat dari fungsi yang diberikan Allah kepadanya yakni sebagai Khalifah Allah di bumi. Firman-Nya dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah [2]: 30.
Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu berkata kepada malaikat “sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang Khalifah di muka bumi …. (QS. Al-Baqarah [2]:30).
Dari ayat tersebut terlihat bahwa manusia diberi kekuasaan untuk mengolah dan memakmurkan alam ini dalam rangka beribadah kepada Allah, sehingga akan membedakannya dengan mahluk lain dalam kedudukan dan tanggung jawab. Konsekuensi dari kedudukan dan tanggung jawab tersebut, manusia akan diminta pertanggungangjawaban atas segala amal yang dilakukannya dimuka bumi ini sebagai Khalifah Fil Ardh.
Makna kata Khalifah artinya “pengganti”. Ar-Ragib al-Asfahani, dalam Mu’jam Mufradat fi Gharibil Quran, menjelaskan bahwa menggantikan  yang lain berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan, baik bersama yang digantikannya  maupun sesudahnya. Lebih lanjut, Al-Asfahani menyebutkan bahwa kekhalifahan tersebut dapat terlaksana akibat ketiadaan di tempat, kematian atau ketidakmampuan orang yang digantikan, dan dapat juga akibat penghormatan yang diberikan kepada orang yang menggantikan”.
Menurut Ahmad Hasan Firhat, seperti dikutip Samsul Nizar menyebutkan Kedudukan kekhalifahan manusia dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu khalifah kauniyat dan khalifah syariat. Khalifah kuaniyat mencakup wewenang manusi secara umum yang telah dianugerahkan Allah SWT untuk mengatur dan memanfaatkan alam semesta beserta isinya bagi kelangsungan kehidupan umat manusia di muka bumi. Pemberian wewenang Allah kepada manusia dalam konteks ini, meliputi pemakmuran yang bersifat umum tanpa dibatasi oleh agama atau keyakinan apa yang dia akui. Artinya, label kekahalifahan yang dimaksud  diberikan kepada semua manusia sebagai penguasa alam semesta.
Bila dimensi ini dijadikan standar dalam melihat predikat manusia sebagai Khalifah Fil Ardh, maka akan berdampak negatif bagi kelangsungan kehidupan manusia dalam alam semesta. Manusia dengan kekuatannya akan mempergunakan alam semesta sebagai konsekuensi kekhailifahannya tanpa kontrol dan melakukan penyimpangan-penyimpangan dari nilai ilahiyah. Akibatnya, keberadaannya di muka bumi bukan lagi sebagai pembawa kemakmuran, namun cenderung berbuat mafsadah dan merugikan mahluk Allah lainnya. Ketiadaan nilai kontrol inilah yang dikhawatirkan malaikat tatkala Allah mengutakarakan keinginan-Nya mahluk yang bernama manusia.
Khalifah syari’at meliputi wewenang Allah yang diberikan kepada manusia untuk memakmurkan alam semesta. Hanya saja untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab ini, predikat khalifah, secara khusus ditujukan kepada orang-orang mukmin. Hal ini dimaksudkan, agar dengan keimanan yang dimilikinya, mampu menjadi pilar dan kontrol dalam mengatur mekanisme alam semesta, sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah yang telah digariskan Allah lewat ajaran-Nya. Dengan prinsip ini manusia, akan senantiasa berbuat kebaikan dan memanfaatkan alam semesta demi kemaslahatan umat manusia.
Bila dimensi ini dikembangkan dalam kajian pendidikan Islam, maka dalam proses mempersiapkan generasi penerus estafet kekhalifahan yang sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah, pendidikan yang ditawarkan harus mampu memberikan dan membentuk pribadi peserta didiknya dengan acuan nilai-nilai Ilahiyah. Dengan penanaman ini, akan menjadi panduan baginya dalam melaksanakan amanat Allah di muka bumi. Kekosongan akan nilai-nilai religius, akan mengakibatkan manusia bebas kendali dan berbuat sekehendaknya. Sikap yang demikian akan berimplikasi timbulnya nilai-nilai egoistis yang bermuara kepada timbulnya sikap angkuh dan sombong pada diri manusia. Sikap ini akan berbias kepada  tumbuhnya sikap memandang rendah orang lain. Manusia di luar dirinya adalah alat yang bisa dikorbankan untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Jika ini terjadi, pada waktu yang sama, nilai-nilai sakral kemanusiaan  manusia telah tercampak dan sekaligus menumbuhkan cikal bakal mafsadah di muka bumi ini. Firman Allah SWT:
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (dengan sombong), dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri (QS. Lukman [31]:18).
Berpijak pada penjelasan dan ayat tersebut di atas, dipahami bahwa untuk menciptakan tatanan kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah, tugas dan fungsi manusia sebagai khalifah tidaklah bisa diartikan secara umum, akan tetapi dapat dilihat dalam konteks khalifah syar’iyyah. Sebab, hanya dengan predikat inilah manusia dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, sesuai dengan amanat Allah yang diberikan kepadanya.
Uraian di atas, secara implisit memberikan gambaran bahwa dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalifah, manusia dihadapkan pada beberapa konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan, yaitu:
  1. Senantiasa taat, tunduk dan patuh, serta berpegang teguh pada ajaran-ajaran-Nya.
  2. Mempersiapkan diri dengan seperangkat ilmu pengetahuan yang menopang terlaksananya tugas dan fungsinya sebagai khalifah Fil Ardh secara optimal. Ilmu yang dimaksud, meliputi ilmu agama; sebagai indikator dalam bertindak, maupun ilmu-ilmu kealaman lainnya; dalam upaya menterjemahkan ayat-ayat Allah (baik quraniyah maupun kauniyah) bagi terwujudnya kemaslahatan umat manusia.
  3. Bertanggung jawab terhadap amanat yang diberikan Allah kepadanya, dengan cara memelihara serta memanfaatkan alam semesta beserta isinya  bagi kepentingan dan kesejahteraan umat manusia, sekaligus sebagai sarana ibadah kepada Khaliqnya, sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
Dengan diserahkannya predikat khalifah syar’iyyah kepada manusia, maka akan terpeliharalah amanat yang diberikan Allah kepadanya dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian nilai-nilai kemanusiaan manusia pada derajat yang tinggi akan terjaga dengan baik sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

D.      Khalifah Fill Ardh Dalam Sosial Masyarakat
Salah satu sifat khas manusia sebagai makhluk dan karenanya ia berbeda dengan binatang adalah bahwa ia merupakan makhluk yang diciptakan selain sebagai makluk berjiwa individual, bermasyarakat merupakan kecenderungan alamiah dari jiwanya yang paling sublim. Kedua aspek ini mesti dipahami dan di letakkan pada porsinya masing-masing secara terkait. Sebab yang pertama  melahirkan perbedaan dan yang kedua melahirkan kesatuan. Karena itu mencabut salah satunya dari manusia itu berarti membunuh kemanusiaananya. Dengan kata lain bahwa perbedaan-perbedaan (bukan pembedaan-pembedaan) yang terjadi di antara setiap individu-individu (sebagai identitas dari jiwa individual) merupakan prinsip kemestian bagi terbentuknya masyarakat dan dinamikanya. Sebab bila sebuah masyarakat, individu-individu haruslah memiliki kesamaan, maka ini berarti dinamisasi, dalam arti, saling membutuhkan pastilah tak terjadi dan karenanya makna masyarakat menjadi kehilangan konsep. Di sisi lain dengan adanya perbedaan-perbedaan di antara para individu meniscayakan adanya saling membutuhkan, memberi dan kenal-mengenal dan karena itu konsep kemanusiaan memiliki makna.
Sejarah umat manusia menunjukkan mata rantai yang panjang di mana bebrbagai kejadian selalu muncul. Jika kemudian selalu lahir orang-orang besar, orang-orang yang mampu menangkap kehendak sejarah dan berperan besar di dalamnya, maka hal itu tak terlepas dari sejarah itu sendiri. Sang pemimpin selalu muncul, dia ada di depan untuk mengarahkan masyarakat akan harapan hari depan. Dia mampu menangkap apa yang menjadi keresahan masyarakat dan sekaligus memberikan harapan akan hari depan.
Sejarah munculnya Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin dan pelopor orang-orang Arab (dan kemudian dunia) yang kemudian dikenal sebagai orang besar dalam sejarah dunia. Beliau memberikan jawaban dan mengarahkan masyarakat bergerak untuk menjawab berbagai macam kontradiksi yang ada, yang oleh banyak orang dikenal sebagai “zaman jahiliyah” (Nurani Soyomukti, 2008). Sejarah tersebut dapat dijadikan motivasi dan renungan bagi kita sebagai umat Islam untuk menyongsong masa depan.
Dalam untaian khazanah perkembangan ilmu pengetahuan dunia Islam, berbagai hal yang berkaitan dengan aktivitas masyarakat dan individu yang ada di dalamnya, telah mendapatkan perhatian yang besar. Hal tersebut dapat dilihat di dalam beberapa karya besar ilmuwan muslim yang berbicara tentang masyarakat, negara, politik, pemerintahan, dan lain sebagainya. Sayangnya, ketika disiplin yang berkaitan dengan hal tersebut berkembang dan mewujud dalam disiplin sosiologi serta menjadi semakin krusial keberadaannya dalam ranah praktis, para ilmuwan muslim kontemporer justru sedikit sekali yang dapat memberikan kontribusi signifikan yang mewarnai sosiologi kontemporer (Syarifuddin Jurdi, 2010).
Pusat kemanusiaan adalah masing-masing pribadi manusia dan kemerdekaan pribadi adalah hak asasinya yang pertama. Tiada sesuatupun yang berharga selain kemerdekaan itu. Di sisi lain, kehidupan manusia secara fitri bersifat kemasyarakatan yang hidup dalam suatu bentuk hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya. Kebutuhan, keuntungan, kepuasan, karya dan kegiatan manusia tidak mungkin terpenuhi dengan baik tanpa berada di tengah sesamanya dalam suatu perangkat tradisi dan sistem tertentu.
Masyarakat merupakan senyawa sejati, sebagaimana senyawa ilmiah, yang bersintesis dalam kebudayaan, bukan kefisikan. Sedangkan yang disintesis adalah jiwa, pikiran dan hasrat manusia yang memasuki kehidupan bermasyarakat. Dengan karunia-karunia yang diperoleh dari alam dan kemampuan-kemampuan bawaan mereka, secara kejiwaan melebur untuk mendapatkan suatu identitas baru, yaitu jiwa kemasyarakatan. Sintesis ini bersifat alamiah, unik dan khas. Unsur unsur individu dan masyarakat saling mempengaruhi dan diubah oleh pengaruh timbal balik untuk mendapakan suatu kepribadian baru.
Namun, suatu bentuk dan identitas baru ini tidak mengubah kejamakan perseorangan menjadi suatu ketunggalan. Sintesis tidak menjadikan manusia tunggal, suatu entitas kefisikan yang di dalamnya seluruh inividu terlebur secara fisikal. Masyarakat yang diartikan sebagai suatu entitas tunggal kefisikan hanyalah sebuah abstraksi rekaan. Individu yang merupakan salah satu unsur pembentuk masyarakat selain alam dan sistem sebagai ikatan kemanusiaan tetap merdeka dalam berfikir dan berkehendak secara perseorangan. Keberadaan individu mendahului masyarakatnya.
Pertanggungjawaban individual terjadi ketika sebuah perbuatan memiliki dua dimensi, pelaku (sebab-aktif) dan sasaran yang disiapkan oleh pelaku (sebab-akhir). Apabila dalam perbuatan tersebut terdapat dimensi ketiga, berupa saran dan peluang yang diberikan untuk terjadinya tindakan tersebut menjadi tindakan kolektif. Masyarakat adalah pihak yang memberikan landasan bagi tindakan kolektif dan membentuk sebab material. Untuk itu, ia menjadi catatan amal suatu bangsa di hari akhir.
Tidak ada manusia yang memiliki hak secara intrinsik untuk mengatur orang lain, bahkan jika ia mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang benar dan adil, karena semua orang, sebagaimana makhluk-makhluk lain, adalah diciptakan dan merupakan kepunyaan Allah Yang Maha kuasa, dan tak seorang pun yang boleh turut campur dengan kepunyaan orang lain tanpa izin pemiliknya. Seorang manusia tidak memiliki hak, bahkan untuk menggunakan anggota tubuhnya sendiri dengan cara yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, dan sebagai konsekuensinya, ia tidak bisa membiarkan orang lain melakukannya juga. Karenanya, satu-satunya yang memiliki hak mutlak untuk memerintah dan menolak siapapun dan apapun hanyalahTuhan Yang Mahaesa. Semua otoritas dan wilayah harus berasal dari Dia atau paling tidak sesuai dengan hukum-hukumNya.
Islam tidak hanya menekankan pentingnya kehidupan sosial, bahkan menganggap perhatian pada permasalahan sosial dan perjuangan bagi kepentingan semua umat manusia sebagai suatu kewajiban. Tidak peduli pada permasalahan semacam itu, dalam Islam dianggap sebagai dosa besar.
Agar tercipta keteraturan sosial, diperlukan suatu hukum dalam kehidupan sosial, karena tak ada masyarakat yang bisa bertahan hidup tanpa adanya peraturan dan ketentuan sosial. Tujuan hukum bukan hanya untuk menciptakan peraturan dan disiplin sosial, namun lebih dari itu adalah untuk menjaga keadilan sosial.
Dalam perpsektif Islam, hukum-hukum sosial harus bisa mempersiapkan landasan dan kondisi yang mendukung perkembangan spiritual dan kebahagiaan abadi bagi manusia. Paling tidak, hukum-hukum sosial tidak boleh bertentangan dengan perkembangan spiritual. Bahkan jika suatu hukum bisa menegakkan suatu tatanan sosial namun menyebabkan kemalangan abadi bagi manusia, dari sudut pandang Islam hukum ini tidak bisa diterima, bahkan jika hukum tersebut diterima oleh mayoritas.
Teori yang berlaku di kebanyakan masyarakat dewasa ini adalah bahwa hukum harus disahkan dan disepakati oleh masyarakat itu sendiri, atau wakil-wakil mereka. Karena konsensus dari semua anggota masyarakat maupun dari semua wakil-wakil mereka itu praktis mustahil terjadi, maka pendapat mayoritas (bahkan jika hanya setengah plus satu) merupakan kriteria validitas hukum tersebut.
Dari sudut pandang Islam, hukum-hukum harus disahkan sedemikian rupa sehingga bisa memberikan manfaat bagi anggota masyarakat, khususnya bagi mereka yang ingin meningkatkan diri dan ingin memperoleh kebahagiaan abadi. Jelas bahwa hukum semacam itu harus disahkan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan yang memadai tentang manfaat yang sejati dan sesungguhnya bagi manusia, dan yang kedua, yang tidak mengorbankan manfaat bagi orang lain demi kepentingannya pribadi dan nafsu yang sia-sia.
Jelas bahwa tak ada yang lebih bijaksana daripada Tuhan Yang Mahakuasa, yang tidak memiliki kepentingan atas hamba-hamba-Nya atau apa yang mereka lakukan, dan yang telah menetapkan ketentuan ketuhanan hanya demi memberikan manfaat bagi hamba-hamba-Nya itu. Tentu saja, hukum-hukum sosial yang digambarkan dalam kitab-kitab yang diturunkan dari langit itu tidak secara eksplisit menyatakan semua ketentuan sosial yang berlaku di semua tempat dan waktu melainkan sekadar memberikan kerangka umum yang bisa menjadi sumber penetapan peraturan yang diperlukan, berkaitan dengan perbedaan waktu dan tempat.
Islam, sebagaimana kebanyakan mazhab politik yang lain, membutuhkan keberadaan suatu negara sebagai kekuatan yang bisa mencegah penyimpangan hukum, dan kelemahan suatu negara akan berarti terhambatnya penerapan hukum, keadaan chaos, dan pelanggaran hak-hak kaum yang lemah.
Jelas bahwa ada dua kualifikasi fundamental bagi mereka yang bertugas menerapkan hukum, terutama bagi yang berada di puncak piramida kekuasaan: pertama, pengetahuan yang memadai dari hukum tersebut untuk menghindari penyimpangan yang disebabkan oleh ketidaktahuan; dan yang kedua, kontrol pribadi atas kehendaknya untuk mencegah keinginan yang disengaja untuk menerapkan hukum secara salah. Dalam termonologi religius, orang seperti ini disebut sebagai maksum (terjaga dari dosa). Semua umat Islam percaya pada kemaksuman Nabi Muhammad SAW.
Di sisi lain, kita mengetahui bahwa kecuali bagi para nabi tidak ada orang lain yang secara khusus ditunjuk oleh Tuhan untuk menjalankan hukum dan untuk memerintah. Jadi, manusia harus berusaha untuk menemukan orang-orang yang sebisa mungkin menyerupai para nabi, yang kemudian lebih dikenal dengan istilah manusia sempurna.
BAB III
PENUTUP

A.    SIMPULAN
Kaum muslim harus menjadi pelopor militan untuk mencipta suatu karya kemanusiaan dalam kehidupan  sebagai tugas kekhalifahannya yang akan menjadi rahmat bagi sekitarnya. Kita harus berusaha agar setiap orang dapat bekerja maksimal sesuai kemampuannya sehingga terpenuhi semua kebutuhan dasarnya. Cita-cita ini harus dibarengi ketentuan halal dan haram dalam memperoleh Keadilan ekonomi dan kerukunan hidup, sehingga tidak ada kezaliman manusia atas manusia serta tidak dibenarkan struktur atas baik sistem pemerintahan maupun undang-undang melakukan praktek kezaliman yang mengakibatkan kerusakan.
Secara konseptual-doktrinal telah diketahui bahwa Islam adalah agama yang membawa ajaran yang menyeluruh dan paripurna bagi kelangsungan hidup manusia di dunia. Dari sekian macam ajaran Islam, esensi ajaran Islam terletak pada penghargaan kepada kemanusiaan secara universal yang berpihak kepada kebenaran, kebaikan, dan keadilan dengan mengedepankan kedamaian, menghindari pertentangan dan perselisian, baik ke dalam intern umat Islam maupun ke luar. Dengan demikian tampak bahwa nilai-nilai ajaran Islam menjadi dasar bagi hubungan antar umat manusia secara universal dengan tidak mengenal suku, bangsa dan agama.
Hubungan antara muslim dengan penganut agama lain tidak dilarang oleh syariat Islam, kecuali bekerja sama dalam persoalan aqidah dan ibadah. Kedua persoalan tersebut merupakan hak intern umat Islam yang tidak boleh dicampuri pihak lain, tetapi aspek sosial kemasyarakatan dapat bersatu dalam kerjasama yang baik. Selanjutnya mengenai keadilan ekonomi adalah aturan main (rules of the game)  dalam ajaran Islam dapat dipaparkan dalam beberapa hal. Pertama, seluruh anggota masyarakat mesti memperoleh kesejahteraan yang memadai. Kedua, perbedaan dalam hal pendapatan hendaknya bukan terjadi akibat praktik diskriminasi dalam undang-undang dan kesempatan memperoleh fasilitas dan kesempatan. Selain itu, kalangan kaya hendaknya menunaikan tugas dan kewajibannya terkait hak kaum miskin dan hak pemerintahan Islam. Dalam sistem ekonomi Islam, kemajuan jangan sampai berakibat buruk pada pendistribusian kekayaan secara adil. Sebab kemajuan dan pertumbuhan ekonomi tak lain adalah sarana untuk mewujudkan keseimbangan dan keadilan ekonomi.
Tujuan akhir dari Esensi Manusia sebagai khalifah Fil Ardh dan kemasyarakatan adalah untuk menciptakan manusia muslim yang paripurna dalam konsep al-insan dan al-kamil, yaitu manusia yang selalu istiqomah dan kontinium terampil dalam memfungsikan daya jasmani dan ruhani mereka untuk selalu tunduk dan patuh kepada Allah SWT.



DAFTAR PUSTAKA

Rachman Munawar Budhy. 2011. Membaca Nurcholish Madjid. Islam dan Pluralisme. Jakarta: Democracy Project
Majid, Nurcholis. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina
Departemen Agama RI. Al-Qur’an Dan Terjemahnya. 2007. Syaamil Al-Qur’an.Bandung : PT. Sygma Examedia Arkaleema.
Maulana Achmad.2010. Kamus Ilmiah Populer. Yogyakarta : Absolute.
Himpunan Mahasiswa Islam. 2013. Hasil-Hasil Kongres Himpunan Mahasiswa Islam ke – XXVIII. Jakarta .
Mowlana Hamid. 2010. Masyarakat Madani. Konsep Sejarah dan Agenda Politik. Jakarta : Shadra Press.
Abduh Muhammad Syekh. K.H. Firdaus A.N. 1979. Risalah Tauhid. Jakarta : Bulan Bintang.
Buku Saku LK I . Basic Training HMI Cabang Sukoharjo. Kom. Ahmad Dahlan II UMS. 2010. Mewujudkan Intelektualitas Akademis dan Organisasi Dalam Bingkai Keislaman. Sukoharjo : Komisariat Ahmad Dahlan II UMS.
Hitami Munzir. 2009. Revolusi Sejarah Manusia. Peran Rasul Sebagai Agen Perubahan. Yogyakarta : PT. Lkis Pelangi Aksara Yogyakarta.

No comments: