Manusia memiliki keistimewaan dibanding dengan makhluk lainnya. Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna (lihat surat at-Tiin). Meskipun demikian, manusia berpotensi (berpeluang) untuk menjadi makhluk paling mulia atau paling hina. Hanya orang yang beriman dan beramal shalih yang akan menjadi makhluk mulia di sisi Allah.
Potensi inilah yang menjadikan manusia sangat disayang oleh Allah. Di antara bukti kasih sayang-Nya adalah penciptaan alam semesta ini. Alam sengaja diciptakan oleh Allah dengan penuh keseimbangan dan keteraturan, bukan tercipta secara kebetulan. Penciptaan alam ini terkait dengan kepentingan manusia sebagai khalifah fil ardh (pemakmur di muka bumi ini), karenanya alam diciptakan dalam pola-pola tertentu yang teratur agar manusia dapat dengan mudah memahami alam dan memanfaatkannya.
Manusia, sebagai makhluk Allah Swt, memiliki sifat fitrah (kesucian) dan hanif (cenderungan kepada kebenaran). Hal ini ditegaskan dengan ikrar kesaksian pada ketauhidan (QS al-A'raf: 172). Manusia ketika masih di alam arwah telah berjanji akan senantiasa beriman kepada Allah. Namun Allah tidak membiarkan manusia berkata seperti itu begitu saja. Allah akan menguji kebenaran janji mereka. Ujian keimanan itu adalah menjadi makhluk penghuni bumi. Lantas Allah juga membekali manusia dengan hati, akal, dan nafsu untuk menjalankan misi khalifah tersebut. Sisi keunggulan inilah yang menempatkan manusia layak menerima amanat “khalifah Allah Swt di muka bumi ini”.
Kesadaran akan eksistensi diri sebagai langkah awal dalam melakukan kerja kemanusiaan memuat dimensi penting yaitu dimensi Ilahiyah. Dimensi inilah yang mendatangkan pencerahan dalam gerak langkah setiap individu, karena hal itu sekaligus berperan sebagai sumber energi yang memotivisir dan menggerakkan langkah. Maka tiada gerak dan kerja yang tidak memiliki dimensi Ilahiyah tersebut, karena tanpa itu hanya merupakan sesuatu perjalanan tanpa tujuan, sehingga bagi HMI, semua kerja-kerja di muka bumi merupakan suatu rangkaian ibadah kepada Allah SWT. Sekaligus merupakan satu simbol dari penghambaan diri dan pengakuan terhadap ke Maha Kuasaan Allah SWT. Oleh karena itu, kata terakhir dari rumusan tujuan HMI adalah “ Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam, dan bertangung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT ”.Dengan kecenderungan yang terjadi pada saat ini, maka penguatan dimensi Ilahiyah menjadi sesuatu yang mutlak. Bukan saja terhadap diri individu, tetapi juga dalam menghadapi tantangan mondial. Kemajemukan masyarakat menimbulkan adanya variasi unsur (yang sering disebut primordialisme), sehingga untuk terciptanya suatu harmoni dalam kemajemukan itu dituntut adanya satu simbol besama berupa consensus. Untuk itu, maka penguatan terhadap jati diri individu berdasar basis unsur kemasyarakatan (bukan primordalisme) seperti terhadap agamanya justru diperlukan bagi penegasan itu, maka suatu harmoni dapat dieleminir dengan munculnya identitas dan prioritas masalah yang dihadapi.
A. Adam, Hawa dan Manusia
A. Adam, Hawa dan Manusia
Jika berbicara masalah manusia atau dasar-dasar
kemanusiaan maka tidak akan terlepas pada drama kosmis tentang Adam dan Hawa,
yang memiliki unsur filosofis yang berbeda dari agama satu dengan yang lain, banyak
polemik terjadi dengan kisah ini dari berbagai agama terutama tentang
kejatuhannya adam dari surga, menurut Cak Nur Kisah Adam dan kejatuhannya dari
surga memiliki arti yang penting dalam agama-agama wahyu, yaitu Yahudi,
Kristen, dan Islam. Bagi agama Islam dan Yahudi, kisah Adam, walaupun penting,
tidaklah menjadi fondasi pandangan teologis yang pokok. Agama Kristiani, sebaliknya,
kisah Adam itu mencakup bagian yang menjadi tiang pancang teologi Kristiani,
khususnya bagian tentang jatuhnya Adam dari surga ke bumi. Ini yang menjelaskan
mengenai “Doktrin Kejatuhan dalam Dosa” (Doctrine of Fall in Sin) yang amat
penting dalam sistem iman Kristiani.
Islam mengakui adanya kejatuhan (hubûth) manusia
(Adam) dari surga, sebagaimana dituturkan dalam Al-Quran, namun tidak menjadikannya
sebagai pangkal ataupun bagian dari sistem keimanannya yang pokok. Tetapi
walaupun demikian, menurut Cak Nur, dari kisah itu diharapkan kaum beriman
dapat menarik pelajaran dari “seberang” (i‘tibâr) kisah itu, sesuai dengan
maksud dan tujuan semua kisah suci dalam agama. Usaha Hermeneutis seperti ini
tampaknya memang merupakan cara Cak Nur untuk memberikan arti kepada
cerita-cerita dalam agama, seperti ia lakukan dalam banyak entri dalam
ensiklopedi ini. Sebagai contoh kita akan lihat bagaimana pandangan Cak Nur
mengenai kesamaan penuturan kisah Adam dalam Perjanjian Lama dan Al-Quran.
Menurut Cak Nur, secara garis besar kisah dari Kitab
Kejadian itu memiliki persamaan dengan penuturan Kitab Suci Al-Quran, walaupun
beberapa rincian sama sekali berbeda atau tidak terdapat dalam Al-Quran.
Misalnya, menurut Al-Quran, yang tergoda rayuan setan itu adalah sekaligus
Adam dan istrinya bersama-sama, dan setan yang menggodanya tidak dilukiskan
sebagai seekor ular. Karena Adam dan Hawâ melakukan pelanggaran secara
bersama, maka beban akibat buruknya pun dipikul bersama, tanpa salah satu
menanggung lebih daripada yang lain. Menurut Cak Nur, dalam Al-Quran tidak ada
semacam kutukan kepada kaum perempuan akibat tergoda itu, seperti kutukan
bahwa perempuan akan mengandung dan melahirkan dengan sengsara dan akan
ditundukkan oleh kaum lelaki, suami mereka. Juga dengan sendirinya tidak ada
kutukan kepada binatang ular.
Cak Nur menjelaskan didalm Al-Qur’an mengenai drama
kosmis peristiwa kejatuhan adam dalam pembukaan Allah untuk memberi tahu kepada
seluruh malaikat tentang ditunjuknya seorang manusia sebagai khalifah dimuka
bumi dan menyuruh seluruh makhluk tunduk kepada Adam, simbol-simbol yang ada
pada drama kosmis Adam dan Hawa memiliki banyak penafsiran tentang esensi dari
khalifah fill ardh, grand desaign yang sudah di buat tuhan untuk menurunkan
Khalifah di bumi, mempunyai tujuan yang cukup fenomenal, tujuan tuhan
menurunkan manusia dimuka bumi untuk menjadi khalifah fill ardh adalah menjadi
wakil tuhan untuk menjadi pemimpin dan pemakmur di bumi.
Karena manusia mempunyai kelebihan yang balance
antara kebaikan dan keburukan yang dimilikinya, yang meskipun fitrah manusia
yang cenderung dominan ke arah kebaikan, tapi Ali Syariati berpendapat bahwa
manusia diturunkan di bumi karena sudah tidak memiliki unsur kesucian maka
makhluk yang sudah tidak suci tidak layak menghuni Jannah, karena hakekat
penciptaan manusia yang di terangkan di dalam Al – Quran surat Al-Mu’minun (12-15), bahwa
manusia di ciptakan dari kebaikan yang di simbolkan berupa sari pati tanah, dan
keburukan yang di simbolkan dengan setetes air hina, maka dari itulah kenapa
justru Allah memilih manusia menjadi wakilnya di muka bumi, dan melalui
petunjuk-petunjuk Allah yang akan mengantarkan Adam dan Hawa dalam menebus
kesalahannya waktu di Surga.
B. Esensi
Penciptaan Manusia Sebagai Khalifah Fill Ardh
Satu hal yang mesti dilakukan sebelum kita
membicarakan hal-hal lain dari manusia adalah sebuah pertanyaan filosofis yang
senantiasa hadir pada setiap manusia itu sendiri, yakni apa sesungguhnya
manusia itu? Dari segi aspek apakah manusia itu mulia atau terhina? Dan apa
tolak ukurnya? Tentu manusia bukanlah makhluk unik dan sulit untuk dipahami
bila yang ingin dibicarakan berkenaan dengan aspek basyariah (fisiologis)nya.
Karena cukup dengan menpelajari anatomi tubuhnya kita dapat mengetahui bentuk
atau struktur terdalamnya. Tetapi manusia selain merupakan makhluk basyariah
(dimensi fisiologis) dan Annaas (dimensi sosiologis) ia juga memiliki aspek
insan (dimensi psikologis) sebuah dimensi lain dari diri manusia yang paling
sublim serta memiliki kecenderungan yang paling kompleks. Dimensi yang disebut
terakhir ini bersifat spritual dan intelektual dan tidak bersifat material
sebagaimana merupakan kecenderungan aspek basyarnya.
Dari aspek inilah nilai dan derajat manusia ditentukan
dengan kata lain manusia dinilai dan dipandang mulia atau hina tidak
berdasarkan aspek basyar (fisiologis). Sebagai contoh cacat fisik tidaklah dapat
dijadikan tolak ukur apakah manusia itu hina dan tidak mulia tetapi dari
aspek insanlah seperti pengetahuan, moral dan mentallah manusia dinilai dan
dipahami sebagai makhluk mulia atau hina. Dalam beberapa kebudayaan dan agama
manusia dipandang sebagai makhluk mulia dengan tolak ukurnya bahwa manusia
merupakan pusat tata surya. Pandangan ini didasarkan pada pandangan Plotimius
bahwa bumi merupakan pusat seluruh tata surya.seluruh benda-benda langit
‘berhikmat’ bergerak mengitari bumi. Mengapa demikian? Karena di situ makhluk
mulia bernama manusia bercokol. Jadi pandangan ini menjadikan kitaran
benda-benda langit mengelilingi bumi sebagai tolak ukur kemulian manusia. Namun
seiring dengan kemajuan sains pandangan ini kemudian ditinggalkan dengan tidak menyisakan
nilai mulia pada manusia. Para ahli astronomi justru membuktikan hal sebaliknya
bahwa bumi bukanlah pusat tata surya tetapi matahari.
Manusia tidak lagi dipandang sebagai makhluk mulia
bahkan dianggap tak ada bedanya dengan binatang adapun geraknya tak ada bedanya
dengan mesin yang bergerak secara mekanistis. Bahkan lebih dari itu dianggap
tak ada bedanya dengan materi, ada pun jiwa bagaikan energi yang di keluarkan
oleh batu bara. Karena itu wajar bila manusia dan nilai-nilai kemanusiaan
tak lagi dihargai. Maka datanglah kaum humanisme berupaya mengangkat harkat
manusia, dengan memandang bahwa kekuatan, kekuasaan, kekayaan, pengetahuan
ilmiah dan kebebasan merupakan hal esensial yang membedakan manusia dengan
selainnya.
Tetapi bila itu tolak ukurnya, lantas haruskah orang
seperti Fira’un atau Jengis Khan yang dapat melakukan apa saja terhadap
bangsa-bangsa yang dijajahnya dipandang mulia? Jika berilmu pengetahuan
merupakan tolak ukurnya. Lantas, apakah dengan demikian orang-orang seperti Einstein
yang paling berilmu tinggi abad 20 atau para sarjana-sarjana itu lebih mulia
dari seorang Paus Yohanes Paulus II, Bunda Teresia atau Mahadma Ghandi bagi
ummatnya masing-masing? Sungguh semua itu termasuk ilmu pengetahuan – sepanjang
peradaban kemanusiaan manusia – tidak mampu mengubah dan memperbaiki watak
jahat manusia untuk kemudian mengangkatnya menjadi mulia. Lantas, apa
sesunguhnya tolak ukur kemanusian itu? Sungguh dari seluruh bentuk-bentuk
konsepsi tentang manusia yang ada di muka bumi tak satu pun yang dapat
menandingi paradigma (tolak ukur)nya serta tidak ada yang lebih representatif
dalam memupuk psikologisnya kearah yang lebih mulia dari apa yang ditawarkan
Islam.
Dalam konsepsi Islam Tuhan (Allah) dipandang sebagai
sumber segala kesempurnaan dan kemulian. Tempat bergantung (tolak ukur) segala
sesuatu. Karena itu pula sebagaimana diketahui dalam konsepsi Islam,
manusia ideal (insan kamil) dipandang merupakan manifestasi Tuhan
termulia di muka bumi dan karenanya ditugaskan sebagai wakil Tuhan yang dikenal
sebagai khalifah/nabi atau rosul (QS.2:30). Karena itu, ciri-ciri kemulian
Tuhan tergambar/ termanifestasikan pada dirinya (QS.33:21) sebagai contoh real
yang terbaik (uswatun hasanah) dari “gambaran/cerminan” Tuhan di muka
bumi (QS.68:4). Dengan kata lain bahwa karena Nabi merupakan representasi
(contoh) Tuhan di muka bumi bagi manusia dengan demikian nabi/rosul/khalifah
sekaligus merupakan representasi yakni insan kamil (manusia sempurna)
dari seluruh kualitas kemanusiaan manusia. Tetapi walaupun manusia dipandang
sedemikian rupa dengan nabi sebagai contohnya, pada saat yang sama, dalam
konsepsi Islam manusia dapat saja jatuh wujud kemulian menjadi sama bahkan
lebih rendah dari binatang.
Dengan demikian keidentikan kepadanya (khalifah/nabi/rasul) merupakan tolak
ukur kemulian kemanusiaan manusia dan sebaliknya berkontradiksi dengannya
merupakan ukuran kebejatan dan dianggap sebagai syaitan (QS.6:112).
C.
Manusia
Sebagai Khalifah
Manusia sebagai mahluk yang mulia,
menempati posisi yang istimewa yang diberikan Allah di muka bumi ini.
Keistimewaan manusia ini terlihat dari fungsi yang diberikan Allah kepadanya
yakni sebagai Khalifah Allah di bumi. Firman-Nya dalam Al-Qur’an Surat
Al-Baqarah [2]: 30.
Dan
(ingatlah) tatkala Tuhanmu berkata kepada malaikat “sesungguhnya Aku akan
menjadikan seorang Khalifah di muka bumi …. (QS. Al-Baqarah [2]:30).
Dari ayat tersebut terlihat bahwa
manusia diberi kekuasaan untuk mengolah dan memakmurkan alam ini dalam rangka
beribadah kepada Allah, sehingga akan membedakannya dengan mahluk lain dalam
kedudukan dan tanggung jawab. Konsekuensi dari kedudukan dan tanggung jawab
tersebut, manusia akan diminta pertanggungangjawaban atas segala amal yang
dilakukannya dimuka bumi ini sebagai Khalifah Fil Ardh.
Makna kata Khalifah artinya
“pengganti”. Ar-Ragib al-Asfahani, dalam Mu’jam Mufradat fi Gharibil Quran,
menjelaskan bahwa menggantikan yang lain berarti melaksanakan sesuatu
atas nama yang digantikan, baik bersama yang digantikannya maupun sesudahnya.
Lebih lanjut, Al-Asfahani menyebutkan bahwa kekhalifahan tersebut dapat
terlaksana akibat ketiadaan di tempat, kematian atau ketidakmampuan orang yang
digantikan, dan dapat juga akibat penghormatan yang diberikan kepada orang yang
menggantikan”.
Menurut Ahmad Hasan Firhat, seperti
dikutip Samsul Nizar menyebutkan Kedudukan kekhalifahan manusia dapat dibedakan
dalam dua bentuk, yaitu khalifah kauniyat dan khalifah syariat. Khalifah
kuaniyat mencakup wewenang manusi secara umum yang telah dianugerahkan Allah
SWT untuk mengatur dan memanfaatkan alam semesta beserta isinya bagi
kelangsungan kehidupan umat manusia di muka bumi. Pemberian wewenang Allah
kepada manusia dalam konteks ini, meliputi pemakmuran yang bersifat umum tanpa
dibatasi oleh agama atau keyakinan apa yang dia akui. Artinya, label
kekahalifahan yang dimaksud diberikan kepada semua manusia sebagai
penguasa alam semesta.
Bila dimensi ini dijadikan standar
dalam melihat predikat manusia sebagai Khalifah Fil Ardh, maka akan berdampak
negatif bagi kelangsungan kehidupan manusia dalam alam semesta. Manusia dengan
kekuatannya akan mempergunakan alam semesta sebagai konsekuensi
kekhailifahannya tanpa kontrol dan melakukan penyimpangan-penyimpangan dari
nilai ilahiyah. Akibatnya, keberadaannya di muka bumi bukan lagi sebagai
pembawa kemakmuran, namun cenderung berbuat mafsadah dan merugikan mahluk Allah
lainnya. Ketiadaan nilai kontrol inilah yang dikhawatirkan malaikat tatkala
Allah mengutakarakan keinginan-Nya mahluk yang bernama manusia.
Khalifah syari’at meliputi wewenang
Allah yang diberikan kepada manusia untuk memakmurkan alam semesta. Hanya saja
untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab ini, predikat khalifah, secara
khusus ditujukan kepada orang-orang mukmin. Hal ini dimaksudkan, agar dengan
keimanan yang dimilikinya, mampu menjadi pilar dan kontrol dalam mengatur
mekanisme alam semesta, sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah yang telah
digariskan Allah lewat ajaran-Nya. Dengan prinsip ini manusia, akan senantiasa
berbuat kebaikan dan memanfaatkan alam semesta demi kemaslahatan umat manusia.
Bila dimensi ini dikembangkan dalam
kajian pendidikan Islam, maka dalam proses mempersiapkan generasi penerus
estafet kekhalifahan yang sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah, pendidikan yang
ditawarkan harus mampu memberikan dan membentuk pribadi peserta didiknya dengan
acuan nilai-nilai Ilahiyah. Dengan penanaman ini, akan menjadi panduan baginya
dalam melaksanakan amanat Allah di muka bumi. Kekosongan akan nilai-nilai
religius, akan mengakibatkan manusia bebas kendali dan berbuat sekehendaknya.
Sikap yang demikian akan berimplikasi timbulnya nilai-nilai egoistis yang
bermuara kepada timbulnya sikap angkuh dan sombong pada diri manusia. Sikap ini
akan berbias kepada tumbuhnya sikap memandang rendah orang lain. Manusia
di luar dirinya adalah alat yang bisa dikorbankan untuk mencapai tujuan yang
diinginkannya. Jika ini terjadi, pada waktu yang sama, nilai-nilai sakral
kemanusiaan manusia telah tercampak dan sekaligus menumbuhkan cikal bakal
mafsadah di muka bumi ini. Firman Allah SWT:
Dan
janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (dengan sombong), dan janganlah
kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri (QS. Lukman [31]:18).
Berpijak pada penjelasan dan ayat
tersebut di atas, dipahami bahwa untuk menciptakan tatanan kehidupan yang
sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah, tugas dan fungsi manusia sebagai khalifah
tidaklah bisa diartikan secara umum, akan tetapi dapat dilihat dalam konteks
khalifah syar’iyyah. Sebab, hanya dengan predikat inilah manusia dapat
melaksanakan fungsinya dengan baik, sesuai dengan amanat Allah yang diberikan
kepadanya.
Uraian di atas, secara implisit
memberikan gambaran bahwa dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalifah, manusia
dihadapkan pada beberapa konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan, yaitu:
- Senantiasa taat, tunduk dan
patuh, serta berpegang teguh pada ajaran-ajaran-Nya.
- Mempersiapkan diri dengan
seperangkat ilmu pengetahuan yang menopang terlaksananya tugas dan
fungsinya sebagai khalifah Fil Ardh secara optimal. Ilmu yang dimaksud,
meliputi ilmu agama; sebagai indikator dalam bertindak, maupun ilmu-ilmu
kealaman lainnya; dalam upaya menterjemahkan ayat-ayat Allah (baik
quraniyah maupun kauniyah) bagi terwujudnya kemaslahatan umat manusia.
- Bertanggung jawab terhadap
amanat yang diberikan Allah kepadanya, dengan cara memelihara serta
memanfaatkan alam semesta beserta isinya bagi kepentingan dan
kesejahteraan umat manusia, sekaligus sebagai sarana ibadah kepada
Khaliqnya, sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
Dengan diserahkannya predikat
khalifah syar’iyyah kepada manusia, maka akan terpeliharalah amanat yang
diberikan Allah kepadanya dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian nilai-nilai
kemanusiaan manusia pada derajat yang tinggi akan terjaga dengan baik sesuai
dengan potensi yang dimilikinya.
D.
Khalifah Fill Ardh Dalam Sosial Masyarakat
Salah satu sifat khas
manusia sebagai makhluk dan karenanya ia berbeda dengan binatang adalah bahwa
ia merupakan makhluk yang diciptakan selain sebagai makluk berjiwa individual,
bermasyarakat merupakan kecenderungan alamiah dari jiwanya yang paling sublim.
Kedua aspek ini mesti dipahami dan di letakkan pada porsinya masing-masing
secara terkait. Sebab yang pertama melahirkan perbedaan dan yang kedua
melahirkan kesatuan. Karena itu mencabut salah satunya dari manusia itu berarti
membunuh kemanusiaananya. Dengan kata lain bahwa perbedaan-perbedaan (bukan
pembedaan-pembedaan) yang terjadi di antara setiap individu-individu (sebagai
identitas dari jiwa individual) merupakan prinsip kemestian bagi terbentuknya
masyarakat dan dinamikanya. Sebab bila sebuah masyarakat, individu-individu
haruslah memiliki kesamaan, maka ini berarti dinamisasi, dalam arti, saling
membutuhkan pastilah tak terjadi dan karenanya makna masyarakat menjadi
kehilangan konsep. Di sisi lain dengan adanya perbedaan-perbedaan di antara
para individu meniscayakan adanya saling membutuhkan, memberi dan
kenal-mengenal dan karena itu konsep kemanusiaan memiliki makna.
Sejarah umat manusia menunjukkan mata
rantai yang panjang di mana bebrbagai kejadian selalu muncul. Jika kemudian
selalu lahir orang-orang besar, orang-orang yang mampu menangkap kehendak
sejarah dan berperan besar di dalamnya, maka hal itu tak terlepas dari sejarah
itu sendiri. Sang pemimpin selalu muncul, dia ada di depan untuk mengarahkan
masyarakat akan harapan hari depan. Dia mampu menangkap apa yang menjadi
keresahan masyarakat dan sekaligus memberikan harapan akan hari depan.
Sejarah munculnya Nabi Muhammad SAW
sebagai pemimpin dan pelopor orang-orang Arab (dan kemudian dunia) yang
kemudian dikenal sebagai orang besar dalam sejarah dunia. Beliau memberikan
jawaban dan mengarahkan masyarakat bergerak untuk menjawab berbagai macam
kontradiksi yang ada, yang oleh banyak orang dikenal sebagai “zaman jahiliyah”
(Nurani Soyomukti, 2008). Sejarah tersebut dapat dijadikan motivasi dan
renungan bagi kita sebagai umat Islam untuk menyongsong masa depan.
Dalam untaian khazanah perkembangan ilmu
pengetahuan dunia Islam, berbagai hal yang berkaitan dengan aktivitas
masyarakat dan individu yang ada di dalamnya, telah mendapatkan perhatian yang
besar. Hal tersebut dapat dilihat di dalam beberapa karya besar ilmuwan muslim
yang berbicara tentang masyarakat, negara, politik, pemerintahan, dan lain
sebagainya. Sayangnya, ketika disiplin yang berkaitan dengan hal tersebut
berkembang dan mewujud dalam disiplin sosiologi serta menjadi semakin krusial
keberadaannya dalam ranah praktis, para ilmuwan muslim kontemporer justru
sedikit sekali yang dapat memberikan kontribusi signifikan yang mewarnai
sosiologi kontemporer (Syarifuddin Jurdi, 2010).
Pusat kemanusiaan adalah masing-masing
pribadi manusia dan kemerdekaan pribadi adalah hak asasinya yang pertama. Tiada
sesuatupun yang berharga selain kemerdekaan itu. Di sisi lain, kehidupan
manusia secara fitri bersifat kemasyarakatan yang hidup dalam suatu bentuk
hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya. Kebutuhan, keuntungan, kepuasan,
karya dan kegiatan manusia tidak mungkin terpenuhi dengan baik tanpa berada di
tengah sesamanya dalam suatu perangkat tradisi dan sistem tertentu.
Masyarakat merupakan senyawa sejati,
sebagaimana senyawa ilmiah, yang bersintesis dalam kebudayaan, bukan kefisikan.
Sedangkan yang disintesis adalah jiwa, pikiran dan hasrat manusia yang memasuki
kehidupan bermasyarakat. Dengan karunia-karunia yang diperoleh dari alam dan
kemampuan-kemampuan bawaan mereka, secara kejiwaan melebur untuk mendapatkan
suatu identitas baru, yaitu jiwa kemasyarakatan. Sintesis ini bersifat alamiah,
unik dan khas. Unsur unsur individu dan masyarakat saling mempengaruhi dan
diubah oleh pengaruh timbal balik untuk mendapakan suatu kepribadian baru.
Namun, suatu bentuk dan identitas baru
ini tidak mengubah kejamakan perseorangan menjadi suatu ketunggalan. Sintesis
tidak menjadikan manusia tunggal, suatu entitas kefisikan yang di dalamnya
seluruh inividu terlebur secara fisikal. Masyarakat yang diartikan sebagai
suatu entitas tunggal kefisikan hanyalah sebuah abstraksi rekaan. Individu yang
merupakan salah satu unsur pembentuk masyarakat selain alam dan sistem sebagai
ikatan kemanusiaan tetap merdeka dalam berfikir dan berkehendak secara
perseorangan. Keberadaan individu mendahului masyarakatnya.
Pertanggungjawaban individual terjadi
ketika sebuah perbuatan memiliki dua dimensi, pelaku (sebab-aktif) dan sasaran
yang disiapkan oleh pelaku (sebab-akhir). Apabila dalam perbuatan tersebut
terdapat dimensi ketiga, berupa saran dan peluang yang diberikan untuk
terjadinya tindakan tersebut menjadi tindakan kolektif. Masyarakat adalah pihak
yang memberikan landasan bagi tindakan kolektif dan membentuk sebab material.
Untuk itu, ia menjadi catatan amal suatu bangsa di hari akhir.
Tidak ada manusia yang memiliki hak
secara intrinsik untuk mengatur orang lain, bahkan jika ia mengeluarkan
ketetapan-ketetapan yang benar dan adil, karena semua orang, sebagaimana
makhluk-makhluk lain, adalah diciptakan dan merupakan kepunyaan Allah Yang
Maha kuasa, dan tak seorang pun yang boleh turut campur dengan kepunyaan orang
lain tanpa izin pemiliknya. Seorang manusia tidak memiliki hak, bahkan untuk
menggunakan anggota tubuhnya sendiri dengan cara yang bertentangan dengan
kehendak Tuhan, dan sebagai konsekuensinya, ia tidak bisa membiarkan orang lain
melakukannya juga. Karenanya, satu-satunya yang memiliki hak mutlak untuk
memerintah dan menolak siapapun dan apapun hanyalahTuhan Yang Mahaesa.
Semua otoritas dan wilayah harus berasal dari Dia atau paling tidak
sesuai dengan hukum-hukumNya.
Islam tidak hanya menekankan pentingnya
kehidupan sosial, bahkan menganggap perhatian pada permasalahan sosial dan
perjuangan bagi kepentingan semua umat manusia sebagai suatu kewajiban. Tidak
peduli pada permasalahan semacam itu, dalam Islam dianggap sebagai dosa besar.
Agar tercipta keteraturan sosial,
diperlukan suatu hukum dalam kehidupan sosial, karena tak ada masyarakat yang
bisa bertahan hidup tanpa adanya peraturan dan ketentuan sosial. Tujuan hukum
bukan hanya untuk menciptakan peraturan dan disiplin sosial, namun lebih dari
itu adalah untuk menjaga keadilan sosial.
Dalam perpsektif Islam, hukum-hukum
sosial harus bisa mempersiapkan landasan dan kondisi yang mendukung
perkembangan spiritual dan kebahagiaan abadi bagi manusia. Paling tidak,
hukum-hukum sosial tidak boleh bertentangan dengan perkembangan spiritual.
Bahkan jika suatu hukum bisa menegakkan suatu tatanan sosial namun menyebabkan
kemalangan abadi bagi manusia, dari sudut pandang Islam hukum ini tidak bisa
diterima, bahkan jika hukum tersebut diterima oleh mayoritas.
Teori yang berlaku di kebanyakan
masyarakat dewasa ini adalah bahwa hukum harus disahkan dan disepakati oleh
masyarakat itu sendiri, atau wakil-wakil mereka. Karena konsensus dari semua
anggota masyarakat maupun dari semua wakil-wakil mereka itu praktis mustahil
terjadi, maka pendapat mayoritas (bahkan jika hanya setengah plus satu)
merupakan kriteria validitas hukum tersebut.
Dari sudut pandang Islam, hukum-hukum
harus disahkan sedemikian rupa sehingga bisa memberikan manfaat bagi anggota
masyarakat, khususnya bagi mereka yang ingin meningkatkan diri dan ingin
memperoleh kebahagiaan abadi. Jelas bahwa hukum semacam itu harus disahkan oleh
seseorang yang memiliki pengetahuan yang memadai tentang manfaat yang sejati
dan sesungguhnya bagi manusia, dan yang kedua, yang tidak mengorbankan manfaat
bagi orang lain demi kepentingannya pribadi dan nafsu yang sia-sia.
Jelas bahwa tak ada yang lebih bijaksana
daripada Tuhan Yang Mahakuasa, yang tidak memiliki kepentingan atas
hamba-hamba-Nya atau apa yang mereka lakukan, dan yang telah menetapkan
ketentuan ketuhanan hanya demi memberikan manfaat bagi hamba-hamba-Nya itu.
Tentu saja, hukum-hukum sosial yang digambarkan dalam kitab-kitab yang
diturunkan dari langit itu tidak secara eksplisit menyatakan semua ketentuan
sosial yang berlaku di semua tempat dan waktu melainkan sekadar memberikan
kerangka umum yang bisa menjadi sumber penetapan peraturan yang diperlukan,
berkaitan dengan perbedaan waktu dan tempat.
Islam, sebagaimana kebanyakan mazhab politik
yang lain, membutuhkan keberadaan suatu negara sebagai kekuatan yang bisa
mencegah penyimpangan hukum, dan kelemahan suatu negara akan berarti
terhambatnya penerapan hukum, keadaan chaos, dan pelanggaran hak-hak
kaum yang lemah.
Jelas bahwa ada dua kualifikasi
fundamental bagi mereka yang bertugas menerapkan hukum, terutama bagi yang
berada di puncak piramida kekuasaan: pertama, pengetahuan yang memadai dari
hukum tersebut untuk menghindari penyimpangan yang disebabkan oleh
ketidaktahuan; dan yang kedua, kontrol pribadi atas kehendaknya untuk mencegah
keinginan yang disengaja untuk menerapkan hukum secara salah. Dalam
termonologi religius, orang seperti ini disebut sebagai maksum (terjaga
dari dosa). Semua umat Islam percaya pada kemaksuman Nabi Muhammad SAW.
Di sisi lain, kita mengetahui bahwa
kecuali bagi para nabi tidak ada orang lain yang secara khusus ditunjuk
oleh Tuhan untuk menjalankan hukum dan untuk memerintah. Jadi, manusia harus
berusaha untuk menemukan orang-orang yang sebisa mungkin menyerupai para nabi,
yang kemudian lebih dikenal dengan istilah manusia sempurna.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Kaum muslim harus menjadi pelopor militan untuk
mencipta suatu karya kemanusiaan dalam kehidupan sebagai tugas
kekhalifahannya yang akan menjadi rahmat bagi sekitarnya. Kita harus berusaha
agar setiap orang dapat bekerja maksimal sesuai kemampuannya sehingga terpenuhi
semua kebutuhan dasarnya. Cita-cita ini harus dibarengi ketentuan halal dan
haram dalam memperoleh Keadilan ekonomi dan kerukunan hidup, sehingga tidak ada
kezaliman manusia atas manusia serta tidak dibenarkan struktur atas baik sistem
pemerintahan maupun undang-undang melakukan praktek kezaliman yang
mengakibatkan kerusakan.
Secara konseptual-doktrinal telah diketahui bahwa
Islam adalah agama yang membawa ajaran yang menyeluruh dan paripurna bagi
kelangsungan hidup manusia di dunia. Dari sekian macam ajaran Islam, esensi
ajaran Islam terletak pada penghargaan kepada kemanusiaan secara universal yang
berpihak kepada kebenaran, kebaikan, dan keadilan dengan mengedepankan
kedamaian, menghindari pertentangan dan perselisian, baik ke dalam intern umat
Islam maupun ke luar. Dengan demikian tampak bahwa nilai-nilai ajaran Islam
menjadi dasar bagi hubungan antar umat manusia secara universal dengan tidak
mengenal suku, bangsa dan agama.
Hubungan antara muslim dengan penganut agama lain
tidak dilarang oleh syariat Islam, kecuali bekerja sama dalam persoalan aqidah
dan ibadah. Kedua persoalan tersebut merupakan hak intern umat Islam yang tidak
boleh dicampuri pihak lain, tetapi aspek sosial kemasyarakatan dapat bersatu
dalam kerjasama yang baik. Selanjutnya mengenai keadilan ekonomi adalah aturan
main (rules of the game) dalam
ajaran Islam dapat dipaparkan dalam beberapa hal. Pertama, seluruh anggota
masyarakat mesti memperoleh kesejahteraan yang memadai. Kedua, perbedaan dalam
hal pendapatan hendaknya bukan terjadi akibat praktik diskriminasi dalam
undang-undang dan kesempatan memperoleh fasilitas dan kesempatan. Selain itu,
kalangan kaya hendaknya menunaikan tugas dan kewajibannya terkait hak kaum
miskin dan hak pemerintahan Islam. Dalam sistem ekonomi Islam, kemajuan jangan
sampai berakibat buruk pada pendistribusian kekayaan secara adil. Sebab
kemajuan dan pertumbuhan ekonomi tak lain adalah sarana untuk mewujudkan
keseimbangan dan keadilan ekonomi.
Tujuan akhir dari Esensi Manusia
sebagai khalifah Fil Ardh dan kemasyarakatan adalah untuk menciptakan manusia
muslim yang paripurna dalam konsep al-insan dan al-kamil, yaitu manusia yang
selalu istiqomah dan kontinium terampil dalam memfungsikan daya jasmani dan
ruhani mereka untuk selalu tunduk dan patuh kepada Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Rachman
Munawar Budhy. 2011. Membaca Nurcholish
Madjid. Islam dan Pluralisme. Jakarta: Democracy Project
Majid,
Nurcholis. Islam Doktrin dan Peradaban.
Jakarta: Paramadina
Departemen
Agama RI. Al-Qur’an Dan Terjemahnya. 2007. Syaamil
Al-Qur’an.Bandung : PT. Sygma Examedia Arkaleema.
Maulana
Achmad.2010. Kamus Ilmiah Populer.
Yogyakarta : Absolute.
Himpunan
Mahasiswa Islam. 2013. Hasil-Hasil
Kongres Himpunan Mahasiswa Islam ke – XXVIII. Jakarta .
Mowlana
Hamid. 2010. Masyarakat Madani. Konsep
Sejarah dan Agenda Politik. Jakarta : Shadra Press.
Abduh
Muhammad Syekh. K.H. Firdaus A.N. 1979. Risalah
Tauhid. Jakarta : Bulan Bintang.
Buku
Saku LK I . Basic Training HMI Cabang
Sukoharjo. Kom. Ahmad Dahlan II UMS. 2010. Mewujudkan Intelektualitas Akademis
dan Organisasi Dalam Bingkai Keislaman. Sukoharjo : Komisariat Ahmad Dahlan
II UMS.
Hitami
Munzir. 2009. Revolusi Sejarah Manusia.
Peran Rasul Sebagai Agen Perubahan. Yogyakarta : PT. Lkis Pelangi Aksara
Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment