KUATKANLAH
PERKARA YANG BENAR "
JANGAN BENARKAN YANG KUAT
JANGAN BENARKAN YANG KUAT
Status salah seorang akhwat di salah satu media sosial, yang tergabung dalam sebuah golongan agama tertentu membuat saya termenung dan berfikir, karena didalamnya terdapat unsur keterpihakan dalam suatu mazhab tertentu, hal itulah yang nantinya akan menjadi suatu hal yag baik tapi berakibat sebagai pemecah belah sebuah dien, niatnya begitu bagus tapi politik dakwahnya saya anggap kurang pas dengan tempatnya, dan mungkin sangat kurang obyektif. Memang polemik tentang jilbab selalu
menimbulkan kontroversi dalam tradisi hukum Islam. Jilbab selama ini diyakini
sebagai sebuah dogma kewajiban agama oleh mayoritas umat Islam yang bersifat Qaţ’ī.
Para mufassir klasik menafsirkan jilbab adalah sebuah perintah Allah Swt dan
Rasulullah Saw yang wajib dilaksanakan oleh perempuan muslimah. Jika tidak,
maka termasuk dosa besar yang melanggar ketentuan hukum Tuhan.
Namun, pada era kontemporer ada sebagaian
pemikir (ulama) yang justru berbeda pemikiranya dengan ulama klasik dalam
menafsirkan ayat jilbab. Mereka justru meyakini jilbab hanyalah sebuah bentuk
tradisi yang hanya berlaku dimasa Rasulullah Saw, yang bersifat zannī.
Dimana jilbab dibentuk oleh tradisi yang melingkupinya, yaitu Arab, yang
menjadi tempat diturunkannya ayat jilbab. Para pemikir kontemporer yang
berpandangan jilbab hanyalah sebuah tradisi Arab diantaranya, Said al-Asymawi,
Muhammad Shahrur, Qasim Amin, Fedwa al-Guindi, Quraish Shihab dan K.H Husein
Muhammad.
Di sini saya akan coba membedah pemikiran Husein Muhammad di salah satu bukunya tentang
hukum jilbab dalam Islam. buku primer dan
sekunder yang menjelaskan tentang pemikiran Husein Muhammad. buku ini
bersifat deskriptif analitik dengan pendekatan normatif- historis,
dengan metode pendekatan uşūl
Fiqh.
Husein Muhammad berpendapat kewajiban
jilbab sudah tidak berlaku dalam era sekarang, namun juga tidak dilarang
pemakaiannya. Husein berpendapat bahwa latar belakang historitas turunnya ayat
jilbab adalah untuk membedakan antara perempuan muslimah merdeka yang terhormat
dengan perempuan muslimah yang tidak terhormat dan hamba sahaya. Husein
beralasan bahwa hukum muncul karena ada suatu keniscayaan yaitu adanya ‘illat.
Ketika ‘illat hukum sudah tidak ada, maka hukumnya pun ikut gugur pula.
Ayat jilbab sangat terkait dengan hal ini. ‘Illat hukum kewajiban jilbab
adalah bertujuan untuk membedakan antara perempuan muslimah yang merdeka dengan
perempuan budak. Dalam era sekarang perbudakan sudah dihapuskan di dunia dan
juga Islam, maka kewajiban jilbab juga hilang seiring hilangnya perbudakan
sebagai ‘illat. Namun, pemakaiannya juga tidak dilarang. Seperti halnya
di Indonesia, kesopanan masyarakat Indonesia dengan Arab jelas berbeda.
Relevansi jilbab dalam konteks keindonesiaan tidak pernah lepas dengan
perpolitikan Indonesia.
Ajaran Islam
adalah petunjuk bagi manusia (hudan lil
annās)
untuk mewujudkan suatu kehidupan yang penuh rahmat (rahmatan lil ‘ālamīn). Wujud yang
nyata dari rahmat Allah itu ialah keselamatan, kesehatan, kewarasan,
ketentraman, kesejahteraan, kebahagiaan dan kemajuan. Hal-hal inilah yang
tercakup dalam arti kata hasanah dan
dalam istilah hukum Islam disebut maslahah (kemaslahatan).
Hukum
Islam pada hakikatnya tidak lain adalah jaminan untuk mewujudkan
kemaslahatan dalam kehidupan umat manusia. Salah satu dari kemaslahatan adalah
pakaian. Budaya pakaian adalah salah satu ciri peradaban manusia sebagai
makhluk terhormat. Pakaian sebagai busana akan selalu disesuaikan dengan perkembangan zaman dan
tradisi yang ada. Ia selalu mengalami daur ulang, berputar, bervariasi
mengikuti jamannya. Dengan begitu dari pakaian yang dikenakan sering kali dapat
diketahui identitas diri pemakainya. Oleh karena itu, masalah pakaian adalah masalah
kemanusiaan, di dalamnya terkait harkat dan martabat manusia,
yang mana berpakaian terkait dengan kewajiban umat Islam untuk menutup aurat
Pada
zaman modern, begitu banyak mode pakaian sudah diciptakan orang. Mulai dari
yang sempit sampai yang longgar, mulai dari bahan yang sangat sederhana sampai
bahan yang sangat mahal, baik untuk kaum adam maupun kaum hawa. Terutama untuk
kaum hawa, karena tubuh perempuan biasanya dijadikan objek seksual bagi
lak-laki. Zaman sekarang, busana perempuan mulai dari mode yang terbuka
menampakkan perhiasannya, lalu yang sangat sempit yang menonjolkan sex appeal-nya sampai
kepada mode yang sangat tertutup. Islam sebagai agama yang sempurna, sejak 15
abad yang lalu sudah mengatur masalah busana ini, terutama untuk kaum
perempuan.
Salah satu
ajaran Islam, yang mengatur masalah busana yaitu yang banyak diklaim sebagian
dari budaya Islam adalah jilbab. Ayat-ayat yang berbicara mengenai jilbab ini
turun untuk merespon kondisi dan konteks budaya masyarakat, yang penekanannya
kepada persoalan etika, hukum dan keamanan
Masyarakat dimana ayat itu diturunkan. Meskipun antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan persepsi terhadap
penafsiran makna jilbab itu sendiri, tetapi tetap mengarah kepada sebuah bentuk
pakaian. Al-Qurtubi memberikan pengertian bahwa jilbab adalah baju kurung
longgar atau lebar dan lebih lebar dari selendang atau kerudung. Menurut Ibnu ‘Abbas dan Qatadah yang diikutip Abu Hayyan, jilbab sejenis
pakaian yang menutup pelipis dan hidung meskipun kedua mata pemakaianya
terlihat namun tetap menutup dada dan bagian mukanya
Ajaran Islam
bertujuan membatasi seluruh bentuk pemuasan seksual, hanya pada lingkungan
keluarga dan perkawinan dalam ikatan pernikahan, sehingga masyarakat hanya
merupakan sebuah tempat untuk beraktifitas dan bekerja. Berbeda dengan Barat, dewasa ini yang membaurkan pekerjaan dengan kesenangan seksual. Islam
memisahkan sepenuhnya kedua lingkungan ini.
Penekanan fungsi
jilbab adalah. Pertama, untuk menutup
aurat bagi perempuan untuk melindungi diri dari fitnah, baik ketika sedang
bergaul dengan laki-laki yang secara hukum bukan termasuk mahramnya. Kedua, untuk menjaga dan melindungi
kesucian, kehormatan, dan kemuliaannya sebagai seorang perempuan.
Ketiga, menjaga identitas sebagai
perempuan muslimah yang membedakan dengan perempuan lain.
Sebenarnya
perdebatan mengenai jilbab bukan hanya ada dalam Islam, akan tetapi sudah ada
jauh sebelum Islam datang. Dalam kitab Taurat (Torah), kitab suci agama yahudi,
sudah dikenal beberapa istilah yang semakna dengan jilbab, seperti tiferet. Demikian pula dalam kitab injil
(Bible), kitab suci agama Nasrani (Kristen) juga ditemukan istilah semakna
dengan jilbab, yaitu redid, zammah, re’lafah, zaif, mitpahat.
Belakangan
pro-kontra seputar pemakaian jilbab kembali mencuat. Setelah Islam berkembang
dan menjadi mayoritas masyarakat Indonesia, semakin banyak kaum wanita yang
mengenakannya, baik dalam lingkungan formal maupun non-formal. Fenomena ini
semakin meningkat ketika adanya legitimasi pemerintah yang membolehkan jilbab
dipakai ditempat-tempat umum maupun sekolah-sekolah umum. Jilbab bukan lagi fenomena kelompok sosial tertentu, tetapi sudah menjadi
fenomena seluruh masyarakat. Dan sudah menyebar di tengah politisi wanita,
profesional, pedagang, artis, eksekutif, dan pablik figur lainnya menggemari
dan menggunakannya.
Persoalan jilbab
sampai sekarang masih diperdebatkan. Berbagai macam argumen dikeluarkan untuk
mendukung berbagai kontroversi pandangan tentang jilbab. Ada yang berpendapat
bahwa jilbab itu wajib bagi kaum muslimat yang sudah baligh, apabila tidak, dia
telah melanggar hukum Allah. Ada pula yang berpendapat bahwa jilbab hanya
produk dari budaya bangsa Arab sedangkan bangsa lain bukan budayanya, seperti
di Indonesia.
Pertanyaannya
kenapa kepala, rambut, seorang perempuan aurat sehingga harus ditutupi
sedangkan laki-laki tidak. Kenapa perempuan itu serba aurat? Kalau pertanyan
ini ada kaitannya dengan seksualitas perempuan, bahwa perempuan yang tidak
berjilbab itu mengundang syahwat laki-laki, sehingga harus ditutup, kenapa pula
perempuannya yang harus ditutup, kenapa bukan mata laki-lakinya yang harus
ditutup? Dari argumen pendek ini saja telah memperlihatkan, betapa jilbab
adalah masalah yang memiliki berbagai kontroversi dan mengundang hasrat
penyeleseiannya secara jernih.
Selama
ini jilbab diyakini banyak pihak telah menjadi simbol keislaman. Alasannya,
selain termasuk model busana perempuan yang diperintahkan agama, juga diyakini
sebagai wujud ketegaran sikap perempuan Islam dalam menghadapi penindasan
patriarkhi, kapitalisme,
dan globalisasi. Peneliti melihat, makna
jilbab telah disalah pahami banyak
pihak, baik kalangan Islam maupun diluar Islam. Di kalangan Islam sendiri,
sering dijumpai keyakinan tentang superioritas ketakwaan perempuan berjilbab
dari pada yang tidak berjilbab. Di kalangan luar, kelompok berjilbab sering
dianggap sebagai kalangan fundamentalis yang militan, radikal, dan anti-Barat,
setidaknya dua kemungkinan itu yang jadi alasan.
Di penghujung
lain ada yang menganggap jilbab dan lebih umum lagi hijab adalah wujud dari
eksploitasi kaum laki-laki terhadap perempuan. Jilbab semakin mengukuhkan kuasa
laki-laki atas perempuan. Jilbab adalah “perpanjangan” nafsu laki-laki untuk
“memenjara” kaum perempuan.
Dari
penjelasan di atas, saya ingini mencoba menyelidiki dan menguak tabir apa
saja sesungguhnya konsep jilbab dan bagaimana hukumnya dalam Islam, apakah
jilbab hanya sebagai pelengkap menutup aurat, sekedar mode pakaian, atau hanya
untuk mengekang kaum perempuan untuk beraktifitas, karena dalam era sekarang
masih banyak perempuan yang belum (akan) mengenakan jilbab, jika jilbab
dijadikan acuan keimanan dan ketakwaan seseorang, maka perempuan yang tidak
berjilbab bisa diangap belum mempunyai ketakwaan yang sempurna (hampir),
meskipun dia rajin beribadah, bersedekah, dan berbuat baik, hal ini juga pernah saya sampaikan dalam sebuah seminar disalah satu kampus swasta di kota sumbu pergerakan ini pada saat saya di panel dengan salah satu penulis buku yang cukup ber merk di zamanya.
Dalam kaitannya
dengan penafsiran, banyak para ulama atau pemikir salaf yang menghukumi
bahwa aurat wanita adalah semua tubuh kecuali wajah dan tangan, maka dari itu
pemakaian jilbab adalah salah satunya.
Husein
Shahab berpendapat jilbab adalah satu hukum yang tegas dan pasti yang seluruh
wanita muslimah diwajibkan Allah untuk mengenakannya. Melanggar atau tidak
mengakui berarti mengingkari salah satu hukum Islam yang esensial. Hal
yang sama juga diungkapkan oleh Bakar bin ‘Abdullah Abu Zaid. Bahkan tokoh yang kedua ini lebih ekstrim lagi dalam memahami persoalaan
pemakaian jilbab ini. Dia bahkan menganggap bahwa wajah dan telapak tangan
wajib untuk ditutup ketika berada di luar rumah atau bertemu dengan non muhrimnya.
Namun
di sisi lain, ada sebagian ulama kontemporer justru pandangannya berbeda dengan
mayoritas ulama salaf yang mewajibkan pemakaian jilbab, pandapat sebagian ulama
kontemporer yang dianggap liberal justru mengatakan bahwa mamakai jilbab itu
tidak wajib. Diantaranya ulama kontemporer adalah Muhammad Sa’id al-Asymawi
yang berpendapat bahwa jilbab itu bukan kewajiban. Bahkan tradisi berjilbab di
kalangan sahabat dan tabi’in lebih
merupakan keharusan budaya daripada agama. Karena itu, masalah jilbab ini tidak
memiliki konsekuensi iman-kafir, selama dasarnya tetap kesopanan dan
kehormatan.
Senada
dengan K.H Husein Muhammad, dia beragumen pemakaian jilbab itu adalah, untuk
membedakan antara perempuan merdeka dengan budak (amat). Jika jilbab dijadikan ciri khas untuk membedakan perempuan
budak dengan merdeka, sementara perempuan budak dalam masyarakat sekarang tidak
dijumpai lagi, kecuali perbudakan dalam bentuk lain, maka pemakaiannya pada
saat ini rasanya tidak menjadi keharusan lagi, tetapi juga tidak harus
dilarang.
Husein dianggap
sebagian kalangan termasuk salah satu pemikir yang ingin menyumbangkan
gagasannya tentang pembelaan kepentingan kaum perempuan terutama di Indonesia.
Dia dianggap sebagai salah satu feminis Islam yang ada di Indonesia, bahkan disejajarkan dengan feminis lainnya yang
ada di Indonesia diantaranya; Nasaruddin Umar dan Masdar Farid Mas’udi.
Sebenarnya saya mungkin sudah cukup tuntas dalam kajian jilbab ini, dalam pembahasan mengenai konsep jilbab tidak akan pernah lepas dari
pembicaraan mengenai perempuan dan kedudukannya.
Sedangkan
kajian tentang kedudukan perempuan dalam Islam termasuk hal yang sangat urgen
dan sensitif; dimana persoalan perempuan termasuk persoalan dalam masyarakat,
sedang persoalan masyarakat adalah juga persoalan umat dan Negara.
Sebenarnya
pembahasan mengenai jilbab, sudah banyak dilakukan oleh ulama baik dalam bentuk
literatur klasik maupun modern, dengan menggunakan metode-metode yang berbeda.
Fedwa
El-Guindi dalam bukunya “Jilbab antara
Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan.”Mengatakan
bahwa sebuah praktik yang dapat disebut berjilbab,
atau yang mirip dari segi bentuk dan fungsinya, telah eksis dalam seluruh kebudayaan
Pra-Islam. Sepanjang yang
diketahui, Islam tidak menciptakan atau memperkenalkan kebiasaan berjilbab,
jilbab untuk laki-laki telah ada di wilayah itu. Jadi jilbab bukan hanya
merupakan pakaian yang dipakai oleh wanita an
sic. Budaya ini telah ada sebelum Islam- dalam budaya Hellenis, Judaisme,
Bizantium dan Balkan.
Muhammad
Nasiruddin al-Albany dalam kitabnya “Jilbab
Wanita-Muslimah,” dan “a-Radd
al-Mufhim,” dalam masalah cadar, dia menegaskan bahwa cadar tidaklah wajib, yang wajib adalah memakai jilbab,
dengan membuat syarat jilbab yang sesuai syari’at.
Nasiruddin Al-Albany juga membeberkan bantahannya terhadap kelompok yang
mewajibkan cadar.
Sedangkan
M. Quraish Shihab menulis buku yang berjudul “Jilbab Pakaian Wanita
Muslimah Pandangan Ulama Masa lalu dan Cendekiawan Kontemporer”, bahwa
fungsi pakaian adalah sebagai pembeda antara seseorang dengan selainnya dalam sifat dan profesinya. Sepakat ulama menyatakan bahwa perintah berjilbab merupakan tuntunan kepada
istri-istri Nabi serta kaum muslimat. Sementara Ulama kontemporer memahaminya
hanya berlaku pada zaman Nabi saw. Di mana ketika itu ada perbudakan dan
diperlukan adanya pembeda antara mereka dan wanita-wanita merdeka, serta
bertujuan menghindarkan gangguan lelaki usil. Jika tujuan tersebut telah dapat
dicapai dengan satu dan lain cara, maka ketika itu pakaian yang dikenakan telah
sejalan dengan tuntunan agama.
Abu
al-A’la Maududi dalam bukunya “Al-Hijab”
menjelaskan bahwa jika orang-orang memperhatikan perintah tentang jilbab ini
dengan seksama, maka akan diperoleh kesimpulan bahwa jilbab yang diperkenalkan
Islam bukanlah kebiasaan zaman Jahiliyah. Tetapi, merupakan suatu aturan yang
rasional.
Dalam tataran
teks, al-Qur’an seringkali dipahami oleh sebagian kalangan sebagai teks yang
tidak bisa dikomunikasikan dengan realitas. Selalu ada ketegangan antara “yang
langit” dan “yang bumi,” selalu ada upaya memisahkan antara “yang tetap” dan
“yang berubah”. Yang tetap dianggap final, sedangkan yang berubah harus mengacu
pada yang tetap.
Di
sisi lain, al-Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan kepada Muhammad saw sebagai
pembawa risalah melalui perantara jibril, pemahaman yang demikian menuntun pada
teorisasi wahyu yang masuk dalam bingkai teori komunikasi. Allah swt diartikan
sebagai “Tuhan yang berbicara dengan hamba-Nya”. Proses bicara Tuhan dengan
manusia dipahami dalam kerangka konsep linguistik, Tuhan sebagai komunikator
aktif, sementara Muhammad merupakan pihak yang pasif, dan pembicaraan tersebut
melibatkan medium, atau kode komunikasi yang berupa bahasa Arab. Model
komunikasi yang melibatkan aspek linguistik tersebut kemudian menjadi pijakan
pemahaman al-Qur’an sebagai
Untuk
memahami al-Qur’an dengan benar dan lengkap, seharusnya memahami posisi nabi
Muhammad dengan al-Qur’an yang dibawanya; dimana di satu sisi al-Qur’an sendiri
memproklamasikan bahwa nabi Muhammad adalah nabi terakhir (khatamu al-nabiyīn).
Kedua, bahwa kehadiran nabi Muhammad adalah untuk seluruh manusia, semesta
alam, seluruh jagad (hudan li al-nās). Konsekuensi
dari status nabi Muhammad sebagai khatamu
al-nabiyīn
adalah, bahwa ajaran nabi Muhammad diharapkan harus selalu relevan sepanjang
zaman, harus selalu mampu menjawab seluruh persoalan di segala zaman, sejak
nabi Muhammad diutus tiga belas abad yang lalu sampai nanti dunia kiamat.
Al-Qur’an
sebagai teks yang turun ke “bumi” adalah sabda Tuhan yang merupakan norma ideal
Islam, dan diberikan untuk menjadi pedoman bagi umat manusia masa lalu,
sekarang dan yang akan datang.Tentunya menjadi teks yang terbuka bukan tertutup, dalam artian teks akan (dan
selalu) berdampingan kepada konteks yang mengirinya, bukan sebaliknya. Al-Qur’an
adalah Firman Tuhan yang harus selalu relevan dalam menjawab persoalan di
segala zaman, meminjam istilah Amin Abdullah adalah bersifat normatif dan
historis, sejalan dengan Masdar F Mas’udi yang membagi nas yaitu nas
normatif-universal dan nas praktis-temporal. Pembedaan ini supaya kita tidak
terjebak untuk memutlakkan semua ketentuan yang ada disana. Ajaran yang
bersifat universal dan mengatasi dimensi ruang dan waktu (mutlak) itulah yang
disebut oleh al-Qur’an sendiri (Ali Imran
(3): 7) dengan istilah muhkamat, atau
meminjam bahasa uşūl al-fiqh disebut qaţ’ī. Sementara yang
bersifat juz’iyyah (partikular dan
teknis-operasional), yang terkait dengan ruang dan waktu, disebut mutasyābihāt atau zannī.
Ajaran
qaţ’ī
adalah ajaran-ajaran agama yang berupa nilai-nilai universal, fundamental.
Diantaranya tentang baik-buruk, dan halal-haram. Sedangkan ajaran zannī
ini
tidak mengandung kebenaran atau kebaikan pada dirinya sendiri, tidak selfevident dalam bahasa filasafatnya.
Karena itu berbeda dengan ajaran zannī yang terikat
oleh ruang dan waktu, oleh situasi dan kondisi.
Muhammad Alwi
al-Maliki mengatakan bahwa nas (dalil) ada yang bersifat qaţ’ī (pasti/normatif)
dan ajaran dari teks tersebut tidak boleh ditentang atau diragukan, jadi bebas dari dimensi ruang dan waktu, biasanya nas qaţ’ī bisa
disebut sebagai nas muhkamat.
Sedangkan nas yang terikat/ bergantung kapada waktu yaitu nas (dalil) bersifat zannī. Maka
nas yang zannī
inilah sebenarnya berlaku dan terbuka kepada konsep ijtihad.
Manusia diberi
otoritas dalam mengkaji dan menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kemampuannya,
Karena seorang reader tidak akan
melampaui maksud tujuan Tuhan. Nas-nas al-Qur’an sangat terbatas, dan turun
dalam ruang dan waktu terbatas pula, sementara aspek kehidupan manusia terus
berkembang dan bercabang. Karenanya, al-Qur’an seperti terbelenggu atau
membeku, tanpakreasi
ijtihad manusia sebagai reader.
Sikap sementara
umat Islam yang mensikapi teks secara “apa adanya”, tanpa kreatifitas ijtihadi
tidak hanya berdampak negatif pada agama Islam sendiri; agama akan kehilangan
elan vitalnya, tetapi juga bertentangan dengan semangat Islam sendiri sebagai
agama yang dinamis dan progress.
Seiring
dengan perubahan masyarakat, ijtihad haruslah senantiasa digerakkan untuk
melakukan perumusan dan pembacaan baru terhadap problematika yang muncul,
karena harus kita akui bahwa hasil ijtihad Ulama’ klasik banyak yang tidak
relevan dengan masa sekarang. Sejalan dengan yang diungkapkan oleh Sahal Mahfudz bahwa ajaran Syari’at yang
tertuang dalam fiqih sering terlihat tidak searah dengan bentuk kehidupan
praktis sehari-hari, hal ini pada hakikatnya disebabkan oleh pandangan fiqih
yang terlalu formalistik.
Sehingga ijtihad haruslah tetap ada
karena perbedaan ruang, waktu dan konteks yang mana akan menghasilkan produk
hukum yang berbeda pula. Pembagian
nas normatif-universal dengan nas praktis temporal di atas, nas yang pertama
bersifat universal dan bebas dari dimensi ruang dan waktu, maka nas yang kedua
sangat bergantung kepada ruang dan waktu. Sehingga dalam epistemologi hukum
Islam muncul kaidah:
نﺎﻜﻣﻻا و نﺎﻣزﻻا ﺮﻴﻐﺘﺑ مﺎﻜﺣﻻا ﺮﻴﻐﺗ ﺮﻜﻨﻳ ﻻ
Dalam Ijtihad,
perbedaan konteks ruang dan waktu akan menghasilkan produk hukum yang berbeda
pula. Selain itu, sebuah produk hukum akan kehilangan spiritnya jika ia gagal
menyerap nilai-nilai baru dan tidak adaptif terhadap perubahan. Dalam usul fiqh
juga kita temukan kaidah yang termasuk dalam lima kaidah pokok yaitu:
ﺔﻤﻜﺤﻣ ةدﺎﻌﻟا
Berarti adat,
baik yang bersifat umum ataupun bersifat khusus, dapat dijadikan dasar untuk
menentukan suatu hukum. Sudah
jelas percampuran antara pemikiran keagamaan dengan tradisi masyarakat. Di
lihat dari akar sejarah jilbab, dimana masyarakat Pra-Islam di Arab sudah
mengenal jilbab. Akibatnya banyak yang kesulitan mengungkap akar masalah dan
hakikatnya. Sebagian akhirnya ada yang menganggap bahwa jilbab adalah
kewajiban agama.Sedangkan yang lain menganggap hanya sekedartradisi
atau slogan politik pada waktu itu. Akan tetapi semuanya beragumen berdasarkan
firman Allah swt,
وﻗﻞ
ﻟﻠﻤﺆﻣﻨﺖ ﻳﻐﻀﻀﻦ ﻣﻦ أ ﺑﺼﺮهﻦﱠ و َﻳﺤﻔَﻈْﻦ ﻓﺮوﺟَﻬُﻦﱠ وﻻ ﻳﺒﺪﻳﻦ زﻳﻨﺘَﻬﻦﱠ إﻻ ﻣﺎﻇﻬﺮﻣﻨﻬﺎ
وﻟْﻴﻀْﺮِﺑْﻦَ ﺑﺨﻤﺮهﻦﱠ ﻋﻠﻰ ﺟﻴﻮﺑﻬﻦﱠ وﻻ ﻳﺒﺪﻳﻦ زﻳﻨﺘﻬﻦﱠ إﻻ ﻟﺒﻌﻮﻟﺘﻬﻦﱠ أو ءاﺑﺎﺋﻬﻦﱠ أو
ءاﺑﺎء ﺑﻌﻮﻟﺘﻬﻦﱠ أو أﺑﻨﺎﺋﻬﻦﱠ أو أﺑﻨﺎء ﺑﻌﻮﻟﺘﻬﻦﱠ أو إﺧﻮﻧﻬﻦﱠ أو ﺑﻨﻰ إﺧﻮﻧﻬﻦﱠ أو ﺑﻨﻰ
أﺧَﻮﺗِﻬﻦﱠ أو ﻧﺴﺂﺋﻬﻦﱠ أو ﻣﺎ ﻣﻠﻜﺖ أﻳﻤﻨُﻬُﻦﱠ أوِ اﻟﺘّﺒﻌﻴﻦ ﻏﻴﺮِ أوﻟِﻰ اﻹرﺑَﺔِ ﻣﻦ
اﻟﺮِﺟَﺎل أواﻟﻄﻔْﻞِ اﻟﺬﻳﻦ ﻟﻢ ﻳﻈﻬﺮوا ﻋﻠﻰ ﻋﻮرت اﻟﻨﺴﺂءِ وﻻ ﻳﻀْﺮِﺑْﻦَ ﺒﺄرﺟﻠِﻬِﻦﱠ
ﻟِﻴُﻌْﻠَﻢ ﻣﺎ ﻳُﺨْﻔِﻴْﻦَ ﻣﻦ زﻳﻨﺘِﻬِﻦﱠ وﺗﻮﺑﻮا إﻟﻰ اﷲ ﺟﻤﻴﻌﺎ أﻳﻬﺎ اﻟﻤﺆﻣﻨﻮن ﻟﻌﻠﻜﻢ
ﺗﻔﻠﺤﻮن 49
Dan saya akan bantah jika ada orang yang berargument bahwa jilbab itu ada dan dipakai setelah turun ayat tentang jilbab, bisa kita lihat ternyata bukan hanya orang arab saja yang berjilbab tapi kita lihat agama Nasrani pun banyak wanita yang berjilbab, sudah jelas bahwa memang jilbab bukan aturan hukum dari sebuah agama tapi lebih cenderung ke dalam sebuah adat atau budaya tertentu.
Lalu di kuatkan dengan firman Allah swt:
ﻳﺄﻳﻬﺎ اﻟﻨﺒﻲ ﻗﻞ
ﻷزواﺟﻚ وﺑﻨﺎﺗﻚ وﻧﺴﺎء اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻳﺪﻧﻴﻦ ﻋﻠﻴﻬﻦ ﻣﻦ ﺟﻼﺑﻴﺒﻬﻦ ذاﻟﻚ أدﻧﻰ ان ﻳﻌﺮﻓﻦ ﻓﻼ ﻳﺆذﻳﻦ
وآﺎن اﷲ ﻏﻔﻮرا رﺣﻴﻤﺎ50
Dari
penafsiran dua ayat tersebut muncul pendapat diantara para ulama klasik
yaitu; pertama, menafsirkan bahwa
memakai jilbab sebagai bagian dari penutup
aurat adalah wajib bagi perempuan, yaitu seluruh tubuh tanpa terkecuali.
Kedua,
yaitu
pendapat mayoritas para ulama yang mana batas aurat perempuan yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan
telapak tangan.
Pada
era saat ini ulama kontemporer justru banyak yang berbeda dalam menafsirkan
kedua ayat tersebut, mereka beranggapan bahwa perintah mengulurkan jilbab pada
waktu itu hanya untuk membedakan status sosial masyarakat antara wanita merdeka
dengan wanita hamba sahaya (budak), dan juga dalam tradisi agama samawi sudah
ada istilah jilbab bagi perempuan meskipun berbeda konsep. Jadi pada dasarnya
para Ulama kontemporer beranggapan bahwa pemakaian jilbab hanya sebagai tradisi
bangsa Arab belaka. Akan tetapi meskipun para ulama klasik maupun kontemporer
berbeda pendapat dalam menafsirkan jilbab, mereka semua berpendapat didasarkan
kepada al-Qur’an dan Hadis.
Berdasarkan
penjelasan dan kerangka berpikir dalam menjawab masalah yang ada dalam kajian
ini, maka diperlukan kaidah yang sudah disebutkan di atas, di samping itu juga
sesuai dengan kaidah yang berbunyi:
ﺎﻣﺪﻋو ادﻮﺟو ﻪﺘﻠﻋ ﻊﻣ روﺪﻳ ﻢﻜﺤﻟ ا
Yaitu bahwa
suatu hukum yang ada itu karena adanya illah-nya,
maka manakala illah itu hilang maka
tidak berlakulah hukum tersebut.
Jika di lihat dari segi latar belakang
turunnya ayat dan permaslahan teks suatu lafadz, sesuai dengan kaidah :
ﻆﻔﻠﻟا مﻮﻤﻌﺑ ﻻ ﺐﺒﺴﻟا صﻮﺼﺨﺑ ةﺮﺒﻌﻟا
Kaidah
pertama bermakna suatu hukum dianggap adalah dengan khususnya sebab turunnya
ayat , bukan umumnya suatu lafadz. Sedangkan kaidah yang kedua :
ﺐﺒﺴﻟا صﻮﺼﺨﺑ ﻻ ﻆﻔﻠﻟا مﻮﻤﻌﺑ ةﺮﺒﻌﻟا
Berbeda dengan
kaidah pertama, sebaliknya kaidah kedua bermakna bahwa suatu hukum dianggap
karena umumnya suatu lafadz, bukan khususnya suatu sebab.
Di sini saya mencoba menjelaskan secara universal saja, tanpa memihak dari suatu golongan agama atau mazhab tertentu, di harapkan ini adalah sebuah kajian ilmu yang bisa diterima banyak orang dengan keyakinannya masing-masing, tanpa ada pengkafir-kafiran atau sesat menyesatkan, hanya Allah yang maha tau dimana kebaikan yang benar-benar baik dan buruk dengan seburuk buruknya. wallahu a'lam bishowab.
No comments:
Post a Comment