Tuesday, 27 January 2015

Imajinasi

"Imajinasiku Nyerpen" 

Teruntuk kamu yang terukir di hatiku. Di palung jiwa tak berbatas, dasar, tanpa tepi, tanpa dinding. Berjuta rasa selalu memancing rinduku, selalu bertambah, mengisi dan mengalir begitu saja. Yang kutahu, sepercik rasa itu berawal dari parit yang selalu berharap dapat mengalir ke samudra. 
Hingga akhirnya, dapat kutemukan bebas mengisi palung hati bersama lisan yang basah akan basmalah, hamdalah dan tasbih atas setiamu mengiringiku dalam bayang semu. Aku yang lelah, memintamu duduk, menatapku dan mendengarkanku. Engkau yang indah dengan berlembar-lembar wajah berwarnamu yang selalu memancing rinduku. Entahlah, apakah setelah padaNya, aku berlari padamu. Atau sembari berkeluh padamu, aku sedang bicara padaNya.
Terimakasih telah bersedia untuk mengenaliku, meski di malam suram, fajar kelam, pagi yang gigil, siang yang terik dan senja temaram.  Mungkin palung itu telah penuh oleh perasaan yang aku tak yakin bisa menggapainya bersama waktu. Jikalau samudera itu luas, disana akan terlihat betapa tulusnya cinta, harapan dan keberanian. Menjadi nelayan dan mengayuh bersama kuatnya dayung kehidupan disertai hantaman ombak akan selau menghempaskan perahu cintaku. Perahu cintaku yang semakin kelabu.
Entahlah, perasaan ini akan tetap bersemi. Dan kau tau, seolah langit runtuh dan siap menindihku saat ini. Sementara bumi yang kini kupijak seolah tiada. Aku melayang bersama hasratku yang semakin haus. Haus akan sebuah cinta yang menurutku suci. Kurasa bulan disana merasakan jua. Ah...terlalu berani aku menduga seperti itu. Tabu dan benar-benar tabu.
Bukan! Bukan karena aku tak ingin mengatakan “love” padamu. Namun apakah kau tau, betapa mulutku serasa kaku tuk mengungkapkannya. Menelan ludah yang semakin sulit tertelan karena goresan kata yang teramat perih, terhambat diantara tenggorokan dan kelunya lidahku. Penantian yang selama ini tak pernah berhenti menunggu kepastian dari bulan sabit yang berusaha purnama.

                                                                                     Kota Harapan,
                                                                                    Surakarta, 28 Januari 2015


“Hemhh....” Kurebahkan tubuhku di atas empuknya kasur. Tempat favoritku mengukir setiap episode kehidupan. Menceritakannya pada buku bersampul merah itu. Tentang sebuah kenangan, persahabatan dan....lagi-lagi harus kuucapakan kata yang satu ini. Cinta. Sebuah kata yang menurutku sangat tabu, namun sering kali aku tak berdaya dibuatnya. Atas nama cinta, sebuah pembodohan yang terlintas dibenakku. Seperti embun di sore hari, tiada mungkin itu terjadi. Namun, dari kata cintalah, aku menjadi beda. Seperti biji matahari yang berubah menjadi bunga nan menawan. Begitu cantik, begitu indah dan sempurna. Begitu kuat, begitu hebat hingga aku lupa, akan sosok diriku selama ini. Sejak kapan aku berani mengucapkan kata itu. Sebuah kata dengan jutaan makna dan derita. Derita? Lagi-lagi hatiku berontak. Ya, derita, rasionalku mulai terusik karena kedatangannya yang selalu tiba-tiba.
Wanita 25 tahun itu masih terbayang di depan mataku. Menari-nari mengganggu setiap aktivitasku.
Mengganggu?
Lagi-lagi batinku berontak.
Bukankah kamu sendiri yang membiarkannya terus ada dalam kehidupanmu, Py? Entah sampai kapan kau terus menyalahkan aku, padahal kau sendiri yang selalu memberi ruang pada “cinta” yang belum boleh kau mengenalnya. Kau sendiri yang membuatku semakin remuk dengan segala khayalanmu. Senja itu akan semakin kelabu, Py. Seperti aku yang tak cerah seperti dahulu.
Benarkah aku yang telah membiarkannya? Bukankah ia larut begitu saja dalam hatiku? Ia begitu nyata, bermain dalam setiap imajinasiku. Membayangkan setiap janji suci yang pernah diucapkan, setiap nasihat yang dilontarkan kepadaku. Ya, kepadaku, sosok yang mungkin belum saatnya di usia 21 tahun. Kini aku telah “mengenal” makna dari sebuah kata bernama “cinta”.
21 tahun? keberanian “cinta” itu muncul? Bersama dengan sejuta impian untuk bersatu dengannya? Py, tidakkah kau berpikir bahwa dia pantas untukmu? Ataukah usiamu yang cukup ini? Aku akan datang kepadamu membawa  lamaran?
“Derrtttt”
Dan handphone-ku berderit. Kulirik. Hanya terus kulirik. Tanganku tak dapat menjangkaunya. Bukan karena aku sakit. Bukan pula karena malas. Paradigma cintaku selalu berkutat pada benda yang satu itu. Sms dari nya dengan sebuah kalimat indah yang selalu ku nanti, sebuah kejelasan? Lagi sibuk apa Mas. Aku janji akan sering menghubungimu. Jaga diri baik-baik. Ah..kuharap demikian.
Sejak kapan aku berani memikirkannya? Handphone yang kubeli dua tahun yang lalu telah memberiku warna bersamaan dengan hadirnya bulan itu di hidupku.
Bulan? Berani sekali kusebut ia bulan.
Kudengar batinku mulai protes. Dan aku tak percaya lagi apa yang terjadi dengan diriku.
Sudahlah Py, akui saja kalau kau memang mencintainya.
Ah..sejak kapan aku mulai terobang-ambing dalam pembicaraan yang semakin menohokku. Pembicaraan yang menghilangkan sisi kehidupan nyataku sebagai anak yang sebenarnya belum begitu dewasa yang seharusnya belajar dan belajar.
Jangan, Py...bukankah itu terlalu dini untuk membenarkan perasaanmu sendiri? Terlalu dini untuk menyatakan rasa bersamaan dengan usiamu yang belum cukup.
Kutundukkan wajah dalam-dalam dan mulai hanyut lagi dengan percakapan mereka. Kupandangi sebentar sisi kanan-kiriku. Tak ada siapa-siapa. Suasana terasa ramai karena hatiku yang sedang gaduh. Akulah yang memulai permasalahan ini, hingga merekalah yang harus berjuang. Hawa semilir angin malam mulai menyelimuti tubuhku. Beranjak kulangkahkan kaki untuk menutup pintu kamar yang sedari tadi kubuka. Kurebahkan lagi tubuhku sambil memandangi ternit dan lampu diatas kostku yang sempit ini. Tampak Aku menelan ludah. Jantungku masih berdetak kencang.
Haruskah selama itu bisa kurasakan cinta dari orang yang baru saja kukenal. Sosok yang pernah menjadi partnerku saat mengisi acara disalah satu forum?
Percakapan itu kembali terdengar.
Lama? Tidakkah perintah-Nya yang akan menjawab semua ketertundaan ini hingga akan indah pada waktunya, Py?
Aku tiba-tiba terdiam dalam lamunan yang panjang mendengar dialog itu. Percakapan yang membuatku sangat bingung. Ya...bingung. Perbedaan usia seolah tak memberiku ruang untuk terus membenarkan perasaan ini.
Kau ingin menikah, Py? Sedini inikah? Disaat usiamu masih belia? Bagaimana dengan orang tuamu?
Menikah adalah solusi untuk tetap menjaga iman. Bukankah hal itu sah-sah saja jika dilakukan?
Berhentilah memikirkannya, Py...tentu saja bulan itu tidak akan datang ke rumahmu dan melamarmu. Logikaku mulai mencari alasan logis disetiap untaian ketidakpastian.
Boleh-boleh saja, Py. Tetapi ayahmu tak akan pernah mengijinkan. Bagaimana pandangan saudaramu nanti, adik-adikmu yang masih memerlukan uluran tanganmu hingga mereka mampu untuk mencari kehidupan sendiri. Bagaimana pula dengan ke dua orang tuamu yang tak kuat lagi. Masihkah kau ingin melanjutkan keinginan itu, Py?
Sementara hatiku mulai berontak lagi.
Haruskah aku memendam keinginan suci ini?
Terasa air mata mulai mengalir dari kelopak mataku. Terkesan egois, ya...sangat egois.
Suci? Tidakkah kau tau, apakah sebenarnya dia juga akan membalas cintamu? Kau bukanlah siapa-siapa, Py kecuali seorang anak yang masih kecil dengan sejuta impian dan angan-angan yang kadang tak dapat dibenarkan secara nalar. Kau terlalu ambigu dengan alasan kesucian sementara saudaramu masih menunggu uluran tangan darimu.
Ayah, Ibu? Keegoisanku mulai goyah.
Berat, Py? Bagaimana bisa kau mengatakan itu, Py? Hanya untuk menunggu, hingga ke dua adikmu mampu berjalan sendiri. Disitulah, Py harapan besar mereka semakin tinggi padamu sebagai anak yang diharapkan
Pembelaanku kali ini benar-benar ngawur.
Kau menyesal, Py? Bukankah kau yang selalu dibanggakan orang tuamu? Tidakkah kau ingat, mereka tak pernah mengeluh paadamu saat ingin sekolah? Masih kah kau ingat juga, Py bagaimana ibumu rela menjual kalung hadiah dari Bapakmu saat mereka menikah? Di usia 17 tahunmu lambang cinta mereka berdua harus rela terjual demi masa depan mu waktu SMK?
Kepalaku terasa pening memikirkan hal ini. Angan untuk menikah di usia dini adalah sebuah impian. Seandainya wanita itu yang terlebih dulu mengutarakan niatnya untuk mengatakan cinta padaku. Namun, apakah kata cinta saja akan cukup tanpa di barengi dengan tindakan. Benakku mulai buyar. Ah...bagaiamana jika dia yang lebih dulu melamarku? Berpikir lagi untuk kedua kalinya. Khayalku tiba-tiba terbang bersama dengan pesona yang masih kuingat setelah 2 tahun lamanya aku tak berjumpa lagi. Sejak peristiwa semalam itu. Sejak kita bertemu selama 4 jam. Sungguh. Sungguh dia benar-benar mampu mencuri hatiku. Wanita berparas menawan, anggun, dan berhijab besar. Ah..Tuhan, betapa mempesonanya wanita itu. Sosok wanita yang telah Engkau takdirkan untuk kami bertemu.
Lagi mikirin aku ya, Mas?
Hwaaaaaa.....suaranya yang merdu masih terasa nyaring di telingaku. Lagi-lagi khayalku meninggi tanpa kusadari akan handphone ku yang sedari tadi berderit.
Bisakah kita bertemu pada hari Minggu besok, Mas? Detak jantungku bertambah cepat mendengar ajakan itu. Apakah ia sungguh-sungguh padaku? Atau hanya memepermainkanku?
Ok ...bisa. Jam berapa ya? Konyol sekali jika kujawab seperti itu. Bagaiamana pikiran seorang wanita terhadapku? Sosok yang baru saja dikenal dan tak lama bertemu. Hanya 4 jam, Py...bagaimana kamu bisa melakukan hal setabu ini!
Hufg, kau terkesan murahan sekali, Py!  Klaimat itu mengagetkanku.
Terkesan murahan? Benarkah? Tuhan...harus kujawab apa?. Sejenak tak kuhiraukan pesan itu. Angin yang berhembus lembut lewat begitu saja seperti perasaan yang saat ini kubingungkan. Perasaan yang aku tak tahu apakah nyata.
Bisakah diganti dengan hari lain? Saya tidak bisa seandainya besok bertemu?
Jemariku mulai merangkai kata menjadi kalimat yang kupikir akan lebih baik. Penolakan secara sopan seperti ini mungkin tidak akan menyinggung perasaan, bagi dirinya, sosok yang baru kukenal. Dahiku mengernyit memikirkan hal ini. Kepalaku semakin tertunduk. Kupandangi sebentar wajahku di depan kaca waktu itu. Lalu kudengar lagi sebuah bisikan yang kupikir ada benarnya juga.
Kau itu terlalu biasa, Py. Bagaimana sosok sepertimu dicintai oleh wanita sepertinya? Bukankah ia dambaan semua pria? Bukankah khayalmu itu hanya ada dalam cerita dongeng saja, Wanita yang sudah mapan dengan segala kharismatiknya yaang telah membuat akal sehatmu hilang .
Kharismatik? Sejak kapan aku mengakuinya sebagai sosok yang kharismatik? Batinku berontak menghadapi realita yang ada.
Sejak saat itu, Py. Sejak pertama kali kalian bertemu dalam sebuah acara. Bukankah kau ingin mengusap keringat di dahinya? Bukankah kau berharap ingin memilikinya sejak saat itu? Menjadi imam yang baik untuknya, hingga kau susah melupakannya sampai sekarang?
Kejujuran hatiku terbongkar tatkala kalimat itu selalu meyudutkanku.
Ya...sejak saat itu aku sebenarnya takut untuk memikirkannya, karena kutahu cinta itu termat rumit bagiku. Jarak yang jauh dengan kondisi seperti saat ini benar-benar membuatku tak mampu untuk mengejar cerita cinta. Hingga kata menunggu yang ada dan selalu akan ada.
Masih kuingat pula kejujuran hati darinya pada malam itu.
Kejujuran, Py? Kau pikir itu kejujuran hatinya?
Ia mendesakku lagi dengan sindiran. Logikaku tak dapat diajak kompromi saat ini. Ia menuntunku untuk menghadapi kenyataan yang ada. Hingga memori itu muncul kembali.
Mas, kalau orang Jawa bilang...menikah itu ada 3 hal yang selalu dipertimbangkan, yaitu Bibit, Bebet dan Bobotnya,
Ingin rasanya aku langsung bertanya :  andai aku melamarmu besok, apakah kau akan menerimanya, Dek?
Dek kau bilang Py, bukankah dia lebih tua darimu ?hufg
Dan jika saat itu dia menjawab iya. Hufh....hatiku mulai tak karuan mendengar suaranya di sebrang sana. Sebuah suara yang tak asing lagi ditelingaku. Sebuah suara yang selalu kudengar dari radio. Suara yang aku pernah mengenalnya pada saat membawakan sebuah acara dari jam 8 malam hingga jam 1 dini hari. Disaat semua peserta sangat lelah menantikan pengumuman Sang juara. Disaat aku sudah tidak konsen lagi karena kantuk yang begitu hebat, kemudian wanita yang sudah kuanggap sebagai bulan itu mengiringiku secara komunikatif membacakan juara yang ada. Ufg...sebuah malam pertemuan yang indah bagiku...dan...menjadi malam terakhir aku bertemu dengannya. Dari sebuah tempat duduk, dia menatapku sepanjang jalan dan akhirnya lenyap di sebuah titik belokan.
“Selamat tinggal, Mas..semoga Allah mempertemukan kita pada waktu yang indah”. Kepalaku benar-benar tertunduk sampai penghabisan menekuknya lipatan leher dengan kepala. Air yang bening jatuh mengaliri kedua pipiku. Kutahan sedu sedan yang hampir terdengar. Tapi malah goncangan yang ada dalam dadaku semakin mendesak air mata yang sudah aku tahan ternyata jatuh juga. Lebih deras dan lebih deras. Menetes-netes di pipiku. Hatiku sedang diiris, mataku sedang diperas.
Ya Allah, kuatkanlah aku...kuatkanlah aku...mencintai makhluk dengan cara seperti ini adalah kehinaan. Dan..air mata itu semakin deras. Terlalu dalam kumengingat masa indah itu. Sebuah masa yang akan selalu tersimpan di dalam hati bersama malam yang gigil. Sebuah malam yang menjadi saksi betapa penantian ini tak akan pernah ada ujung. Menunggu sebuah kepastian  jawaban dari sosok bulan yang aku nanti selama ini. Hingga perasaan itu terus larut mengalahkan relitas kehidupanku yang sebenarnya.
Lamunanku buyar ketika sebuah pesan berulang kali masuk. Benda mungil itu menjadi saksi atas harapan pada sosok bulan yang kurindukan saat ini setelah 2 tahun aku menanti. Sudah kubanyangkan, seandainya dia...ohhh...tidak!
“Hufgh”
Dahiku terus saja mengernyit. Bukankah ini sudah jam sepuluh malam lebih? Masih adakah yang belum terpejam dan ingat kepadaku? Masih saja tak kupedulikan benda itu. Mungkin masih dengan orang yang dulu. Masih dengan rasa yang sama dan sepertinya dengan pembicaraan yang sama pula. Oh, Tuhan...betapa sulitnya menjaga perintah-Mu. Dan betapa konyolnya diriku. Masih saja terlintas di benakku untuk terus bertahan bersama ketidakpastian mengharapkan kehadiran bulan itu.  
Kubetulkan posisi tidurku dan segera meraih handphone itu. Ternyata dari sahabatku,
“Duhai sahabatku, masih kah kau menantinya?”
Aku tersenyum membaca sms itu. Antara percaya maupun tidak, karena dia lah yang tau akan permasalahan yang sedang menimpaku saat ini. Ia yang tau betapa masa menunggu adalah hal terpedih dalam hidupku. Dan kisah 4 jam akan menjadi kenangan. Namun, atas nama kesucian cinta aku berani mempertahankannya.
“Aku tidak tau, duhai sahabatku...bulan itu terlalu istimewa bagiku”
Segera saja kubalas seperti itu setelah berpikir lama. Aku tidak tau apakah sahabatku akan menyangkalku dengan dalil-dalilnya atau malah sebaliknya. Namun, bagiku dia adalah sahabat terbaikku. Sebagai sosok laki-laki, mungkin dia akan tau perasaannku. Selang beberapa menit, dia membalas pesanku.
“Masihkah kau yakin untuk bertahan, Py. Serahkan pada-Nya dan mulailah untuk kembali menyerahkan urusanmu pada-Nya. Kembalilah memikirkan-Nya dan berhentilah berharap akan makhluk, bukankah selama ini ia telah memberimu perih?”
Entahlah...kenapa kalimat ini seolah memberiku celah untuk berhenti berharap. Kuingat tentang sebuah ucapan yang hingga saat ini masih tersimpan rapi dalam benakku.
Apakah kau mau, Mas...dengan segala keterbatasan yang ada pada diriku. Dengan aku yang belum mendapat pekerjaan tetap, dengan segala kondisiku yang sekiranya masih belum pantas memiliki pendamping hidup. Akan tetapi dengan segala ketidakberdayaan ini dan dengan segala ketidaksempurnaan ini, maukah kau seandainya kau datang lagi kepadamu untuk menjadi penyempurna hidupku?
Oh..Tuhan, benarkah ini? Anganku tiba-tiba saja berhenti pada sosok wanita itu. Seperti bilangan afogrado yang tak terhingga jumlahnya...begitu pula dengan sejuta rasa kagum dan haru. Seperti mendengar deru ombak di pantai, bisikan angin...kini aku tau, bagaimana perasaannya kepadaku. Orang yang baru kukenal selama 4 jam, dan begitu...kukagumi, menyatakan keinginan suci kepadaku. Aku...yang bukan siapa-siapa, dalam sekejab seolah menjadi Raja di hatinya.
“Py...apakah kau masih mau bertahan? Sementara tiada kabar darinya setelah ucapan itu. Sebuah ucapan yang membuat kau seperti tiada di mataku. Merubah kau menjadi Py yang lain. Entahlah, apakah bulan itu yang selama ini kau cari setelah sekian lama kau ingin menikah di usia dini? Siapa yang mampu merobohkan imanmu hanya karena sosok makhluk yang tiada kekal? Tidakkah kau berfikir untuk kedua kalinya? Mencintai makhluk dengan cara seperti ini adalah kehinaan? Dan membuatmu hampir mati saat menolak untuk mengakuinya? Oh, Py..betapa lemah iman mu saat ini.
SMS sahabatku membuatku sadar akan ketidakberdayaanku selama ini. Tidak mungkin aku akan memaksa orang tua ku untuk langsung datang pada orang tuanya. Mana ada zaman sekarang orang tua rela membiarkan anaknya menikah dengan alasan “ketidakberdayaan” saya.
“Dan saya cukup paham solusi terakhir yang biasa ditakdirkan kepada hamba yang benar-benar hanya bertekad mencintai Khaliknya: putuskan hubungan asmara. Dengan segala ketidakberdayaan saya, setelah 2 tahun menunggu, tanpa kepastian dari kisah cinta yang hanya terjalin selama 4 jam. Seperti kisah di negeri dongeng saja, meminta kepastian darinya?
Kubalas begitu saja pesan dari sahabatku setelah berfikir sejenak. Selintas terpikir olehku untuk meminta kepastian darinya. Dari bulan yang hingga kini memberiku sabit dan berusaha untuk menjadi purnama, namun hal itu terhalang oleh awan hitam yang membuatku semakin tak mampu melihat akan keberadaannya. Hanya sebuah khayalan arti kesucian diantara bayang-bayang ketidakpastian.
Meminta kepastian darinya, Py? Bagaimana bisa kau berpikir untuk melakukan hal sebodoh itu. Mau kau kemanakan muka mu nanti, Py!
Bisikan itu sontak menohok batinku. Mencekik perasaanku yang semakin sesak. Aku yang telah membiarkannya bersemi dalam hatiku, dan aku pula yang harus membiarkannya pergi. Ibarat memegang pisau, akulah yang mengiris dan membuatnya berdarah, dan semakin berdarah.
Setelah sekian menit aku tak mendapat balasan dari sosok yang selalu membuatku kembali pada kehidupanku. Terimakasih, Sahabatku...kau telah membuatku tegar. Lalu kurebahkan tubuhku diatas empuknya kasur. Dibawah bantal bersarungkan kain warna hijau sontak kukeluarkan air mataku yang mulai mengalir membasahi warna sucinya. Seperti kesucian cintaku pada Rochma yang tak pernah terbalas dan tak ada ujungnya. Dinginnya malam ini, menjadi saksi akan kekakuan hati yang mulai mengalir dalam diriku. Entahlah. Sebatang pena mulai menari diatas lembaran putih.
Untukmu...aku titipkan kata selamat tinggal. Lewat deru dan bisingnya kota. Mungkin kerinduanku tak akan pernah terbalas, apalagi separuh jiwaku? Biarlah semuanya mencari ruang di pojok kehidupanku. Wahai wanita yang baik hatinya, dengan segala ketentuaNya...aku memohon padaNya kebaikan, untukmu dan untukku. Aku adalah pena yang tak kan pernah lelah untuk mengukir rasa dan asa...seperti yang telah kau ucapkan padaku waktu itu. Mas, Biarkanlah semuanya dipertemukan oleh waktu. Yah...biarkanlah semuanya dipertemuklan oleh Sang waktu

No comments: