"Imajinasiku Nyerpen"
Teruntuk kamu yang terukir di hatiku. Di palung jiwa tak berbatas, dasar, tanpa tepi, tanpa dinding. Berjuta rasa selalu memancing rinduku, selalu bertambah, mengisi dan mengalir begitu saja. Yang kutahu, sepercik rasa itu berawal dari parit yang selalu berharap dapat mengalir ke samudra.
Hingga akhirnya, dapat kutemukan bebas mengisi palung hati bersama lisan yang basah akan basmalah, hamdalah dan tasbih atas setiamu mengiringiku dalam bayang semu. Aku yang lelah, memintamu duduk, menatapku dan mendengarkanku. Engkau yang indah dengan berlembar-lembar wajah berwarnamu yang selalu memancing rinduku. Entahlah, apakah setelah padaNya, aku berlari padamu. Atau sembari berkeluh padamu, aku sedang bicara padaNya.
Teruntuk kamu yang terukir di hatiku. Di palung jiwa tak berbatas, dasar, tanpa tepi, tanpa dinding. Berjuta rasa selalu memancing rinduku, selalu bertambah, mengisi dan mengalir begitu saja. Yang kutahu, sepercik rasa itu berawal dari parit yang selalu berharap dapat mengalir ke samudra.
Hingga akhirnya, dapat kutemukan bebas mengisi palung hati bersama lisan yang basah akan basmalah, hamdalah dan tasbih atas setiamu mengiringiku dalam bayang semu. Aku yang lelah, memintamu duduk, menatapku dan mendengarkanku. Engkau yang indah dengan berlembar-lembar wajah berwarnamu yang selalu memancing rinduku. Entahlah, apakah setelah padaNya, aku berlari padamu. Atau sembari berkeluh padamu, aku sedang bicara padaNya.
Terimakasih
telah bersedia untuk mengenaliku, meski di malam suram, fajar kelam, pagi yang
gigil, siang yang terik dan senja temaram. Mungkin palung itu telah penuh oleh perasaan
yang aku tak yakin bisa menggapainya bersama waktu. Jikalau samudera itu luas, disana
akan terlihat betapa tulusnya cinta, harapan dan keberanian. Menjadi nelayan
dan mengayuh bersama kuatnya dayung kehidupan disertai hantaman ombak akan
selau menghempaskan perahu cintaku. Perahu cintaku yang semakin kelabu.
Entahlah,
perasaan ini akan tetap bersemi. Dan kau tau, seolah langit runtuh dan siap
menindihku saat ini. Sementara bumi yang kini kupijak seolah tiada. Aku
melayang bersama hasratku yang semakin haus. Haus akan sebuah cinta yang
menurutku suci. Kurasa bulan disana merasakan jua. Ah...terlalu berani aku
menduga seperti itu. Tabu dan benar-benar tabu.
Bukan!
Bukan karena aku tak ingin mengatakan “love” padamu. Namun apakah kau tau,
betapa mulutku serasa kaku tuk mengungkapkannya. Menelan ludah yang semakin sulit
tertelan karena goresan kata yang teramat perih, terhambat diantara tenggorokan
dan kelunya lidahku. Penantian yang selama ini tak pernah berhenti menunggu
kepastian dari bulan sabit yang berusaha purnama.
Kota Harapan,
Surakarta,
28 Januari 2015
“Hemhh....” Kurebahkan
tubuhku di atas empuknya kasur. Tempat favoritku mengukir setiap episode
kehidupan. Menceritakannya pada buku bersampul merah itu. Tentang sebuah kenangan,
persahabatan dan....lagi-lagi harus kuucapakan kata yang satu ini. Cinta.
Sebuah kata yang menurutku sangat tabu, namun sering kali aku tak berdaya
dibuatnya. Atas nama cinta, sebuah pembodohan yang terlintas dibenakku. Seperti
embun di sore hari, tiada mungkin itu terjadi. Namun, dari kata cintalah, aku
menjadi beda. Seperti biji matahari yang berubah menjadi bunga nan menawan.
Begitu cantik, begitu indah dan sempurna. Begitu kuat, begitu hebat hingga aku
lupa, akan sosok diriku selama ini. Sejak kapan aku berani mengucapkan kata
itu. Sebuah kata dengan jutaan makna dan derita. Derita? Lagi-lagi hatiku berontak. Ya, derita, rasionalku mulai
terusik karena kedatangannya yang selalu tiba-tiba.
Wanita 25 tahun itu
masih terbayang di depan mataku. Menari-nari mengganggu setiap aktivitasku.
Mengganggu?
Lagi-lagi batinku
berontak.
Bukankah
kamu sendiri yang membiarkannya terus ada dalam kehidupanmu, Py? Entah sampai
kapan kau terus menyalahkan aku, padahal kau sendiri yang selalu memberi ruang
pada “cinta” yang belum boleh kau mengenalnya. Kau sendiri yang membuatku
semakin remuk dengan segala khayalanmu. Senja itu akan semakin kelabu, Py.
Seperti aku yang tak cerah seperti dahulu.
Benarkah aku yang telah
membiarkannya? Bukankah ia larut begitu saja dalam hatiku? Ia begitu nyata,
bermain dalam setiap imajinasiku. Membayangkan setiap janji suci yang pernah
diucapkan, setiap nasihat yang dilontarkan kepadaku. Ya, kepadaku, sosok yang mungkin
belum saatnya di usia 21 tahun. Kini aku telah “mengenal” makna dari sebuah
kata bernama “cinta”.
21
tahun? keberanian “cinta” itu muncul? Bersama dengan sejuta impian untuk
bersatu dengannya? Py, tidakkah kau berpikir bahwa dia pantas untukmu? Ataukah
usiamu yang cukup ini? Aku akan datang kepadamu membawa lamaran?
“Derrtttt”
Dan handphone-ku berderit. Kulirik. Hanya
terus kulirik. Tanganku tak dapat menjangkaunya. Bukan karena aku sakit. Bukan
pula karena malas. Paradigma cintaku selalu berkutat pada benda yang satu itu. Sms
dari nya dengan sebuah kalimat indah yang selalu ku nanti, sebuah kejelasan? Lagi sibuk apa Mas. Aku janji akan sering
menghubungimu. Jaga diri baik-baik. Ah..kuharap demikian.
Sejak kapan aku berani
memikirkannya? Handphone yang kubeli dua
tahun yang lalu telah memberiku warna bersamaan dengan hadirnya bulan itu di
hidupku.
Bulan?
Berani sekali kusebut ia bulan.
Kudengar batinku mulai protes.
Dan aku tak percaya lagi apa yang terjadi dengan diriku.
Sudahlah
Py, akui saja kalau kau memang mencintainya.
Ah..sejak kapan aku
mulai terobang-ambing dalam pembicaraan yang semakin menohokku. Pembicaraan
yang menghilangkan sisi kehidupan nyataku sebagai anak yang sebenarnya belum begitu
dewasa yang seharusnya belajar dan belajar.
Jangan,
Py...bukankah itu terlalu dini untuk membenarkan perasaanmu sendiri? Terlalu
dini untuk menyatakan rasa bersamaan dengan usiamu yang belum cukup.
Kutundukkan wajah
dalam-dalam dan mulai hanyut lagi dengan percakapan mereka. Kupandangi sebentar
sisi kanan-kiriku. Tak ada siapa-siapa. Suasana terasa ramai karena hatiku yang
sedang gaduh. Akulah yang memulai permasalahan ini, hingga merekalah yang harus
berjuang. Hawa semilir angin malam mulai menyelimuti tubuhku. Beranjak kulangkahkan
kaki untuk menutup pintu kamar yang sedari tadi kubuka. Kurebahkan lagi tubuhku
sambil memandangi ternit dan lampu diatas kostku yang sempit ini. Tampak Aku
menelan ludah. Jantungku masih berdetak kencang.
Haruskah
selama itu bisa kurasakan cinta dari orang yang baru saja kukenal. Sosok yang
pernah menjadi partnerku saat mengisi acara disalah satu forum?
Percakapan itu kembali
terdengar.
Lama?
Tidakkah perintah-Nya yang akan menjawab semua ketertundaan ini hingga akan
indah pada waktunya, Py?
Aku tiba-tiba terdiam
dalam lamunan yang panjang mendengar dialog itu. Percakapan yang membuatku
sangat bingung. Ya...bingung. Perbedaan usia seolah tak memberiku ruang untuk
terus membenarkan perasaan ini.
Kau
ingin menikah, Py? Sedini inikah? Disaat usiamu masih belia? Bagaimana dengan
orang tuamu?
Menikah
adalah solusi untuk tetap menjaga iman. Bukankah hal itu sah-sah saja jika
dilakukan?
Berhentilah
memikirkannya, Py...tentu saja bulan itu tidak akan datang ke rumahmu dan
melamarmu. Logikaku mulai mencari alasan logis disetiap
untaian ketidakpastian.
Boleh-boleh saja, Py.
Tetapi ayahmu tak akan pernah mengijinkan. Bagaimana pandangan saudaramu nanti,
adik-adikmu yang masih memerlukan uluran tanganmu hingga mereka mampu untuk mencari
kehidupan sendiri. Bagaimana pula dengan ke dua orang tuamu yang tak kuat lagi.
Masihkah kau ingin melanjutkan keinginan itu, Py?
Sementara hatiku mulai
berontak lagi.
Haruskah
aku memendam keinginan suci ini?
Terasa air mata mulai
mengalir dari kelopak mataku. Terkesan egois, ya...sangat egois.
Suci?
Tidakkah kau tau, apakah sebenarnya dia juga akan membalas cintamu? Kau
bukanlah siapa-siapa, Py kecuali seorang anak yang masih kecil dengan sejuta
impian dan angan-angan yang kadang tak dapat dibenarkan secara nalar. Kau
terlalu ambigu dengan alasan kesucian sementara saudaramu masih menunggu uluran
tangan darimu.
Ayah, Ibu? Keegoisanku
mulai goyah.
Berat,
Py? Bagaimana bisa kau mengatakan itu, Py? Hanya untuk menunggu, hingga ke dua
adikmu mampu berjalan sendiri. Disitulah, Py harapan besar mereka semakin tinggi
padamu sebagai anak yang diharapkan
Pembelaanku kali ini
benar-benar ngawur.
Kau
menyesal, Py? Bukankah kau yang selalu dibanggakan orang tuamu? Tidakkah kau
ingat, mereka tak pernah mengeluh paadamu saat ingin sekolah? Masih kah kau
ingat juga, Py bagaimana ibumu rela menjual kalung hadiah dari Bapakmu saat
mereka menikah? Di usia 17 tahunmu lambang cinta mereka berdua harus rela
terjual demi masa depan mu waktu SMK?
Kepalaku terasa pening
memikirkan hal ini. Angan untuk menikah di usia dini adalah sebuah impian. Seandainya
wanita itu yang terlebih dulu mengutarakan niatnya untuk mengatakan cinta
padaku. Namun, apakah kata cinta saja akan cukup tanpa di barengi dengan
tindakan. Benakku mulai buyar. Ah...bagaiamana jika dia yang lebih dulu melamarku?
Berpikir lagi untuk kedua kalinya. Khayalku tiba-tiba terbang bersama dengan
pesona yang masih kuingat setelah 2 tahun lamanya aku tak berjumpa lagi. Sejak
peristiwa semalam itu. Sejak kita bertemu selama 4 jam. Sungguh. Sungguh dia
benar-benar mampu mencuri hatiku. Wanita berparas menawan, anggun, dan berhijab besar. Ah..Tuhan, betapa mempesonanya wanita itu.
Sosok wanita yang telah Engkau takdirkan untuk kami bertemu.
Lagi
mikirin aku ya, Mas?
Hwaaaaaa.....suaranya
yang merdu masih terasa nyaring di telingaku. Lagi-lagi khayalku meninggi tanpa
kusadari akan handphone ku yang
sedari tadi berderit.
Bisakah
kita bertemu pada hari Minggu besok, Mas? Detak jantungku
bertambah cepat mendengar ajakan itu. Apakah ia sungguh-sungguh padaku? Atau
hanya memepermainkanku?
Ok
...bisa. Jam berapa ya? Konyol sekali jika kujawab seperti
itu. Bagaiamana pikiran seorang wanita terhadapku? Sosok yang baru saja dikenal
dan tak lama bertemu. Hanya 4 jam, Py...bagaimana kamu bisa melakukan hal
setabu ini!
Hufg,
kau terkesan murahan sekali, Py! Klaimat itu mengagetkanku.
Terkesan
murahan? Benarkah? Tuhan...harus kujawab apa?. Sejenak
tak kuhiraukan pesan itu. Angin yang berhembus lembut lewat begitu saja seperti
perasaan yang saat ini kubingungkan. Perasaan yang aku tak tahu apakah nyata.
Bisakah
diganti dengan hari lain? Saya tidak bisa seandainya besok bertemu?
Jemariku mulai
merangkai kata menjadi kalimat yang kupikir akan lebih baik. Penolakan secara
sopan seperti ini mungkin tidak akan menyinggung perasaan, bagi dirinya, sosok
yang baru kukenal. Dahiku mengernyit memikirkan hal ini. Kepalaku semakin
tertunduk. Kupandangi sebentar wajahku di depan kaca waktu itu. Lalu kudengar
lagi sebuah bisikan yang kupikir ada benarnya juga.
Kau
itu terlalu biasa, Py. Bagaimana sosok sepertimu dicintai oleh wanita
sepertinya? Bukankah ia dambaan semua pria? Bukankah khayalmu itu hanya ada
dalam cerita dongeng saja, Wanita yang sudah mapan dengan segala kharismatiknya
yaang telah membuat akal sehatmu hilang .
Kharismatik?
Sejak kapan aku mengakuinya sebagai sosok yang kharismatik? Batinku
berontak menghadapi realita yang ada.
Sejak
saat itu, Py. Sejak pertama kali kalian bertemu dalam sebuah acara. Bukankah
kau ingin mengusap keringat di dahinya? Bukankah kau berharap ingin memilikinya
sejak saat itu? Menjadi imam yang baik untuknya, hingga kau susah melupakannya
sampai sekarang?
Kejujuran hatiku
terbongkar tatkala kalimat itu selalu meyudutkanku.
Ya...sejak
saat itu aku sebenarnya takut untuk memikirkannya, karena kutahu cinta itu termat
rumit bagiku. Jarak yang jauh dengan kondisi seperti saat ini benar-benar
membuatku tak mampu untuk mengejar cerita cinta. Hingga kata menunggu yang ada
dan selalu akan ada.
Masih kuingat pula
kejujuran hati darinya pada malam itu.
Kejujuran,
Py? Kau pikir itu kejujuran hatinya?
Ia mendesakku lagi
dengan sindiran. Logikaku tak dapat diajak kompromi saat ini. Ia menuntunku
untuk menghadapi kenyataan yang ada. Hingga memori itu muncul kembali.
Mas,
kalau orang Jawa bilang...menikah itu ada 3 hal yang selalu dipertimbangkan, yaitu
Bibit, Bebet dan Bobotnya,
Ingin
rasanya aku langsung bertanya : andai
aku melamarmu besok, apakah kau akan menerimanya, Dek?
Dek
kau bilang Py, bukankah dia lebih tua darimu ?hufg
Dan jika saat itu dia
menjawab iya. Hufh....hatiku mulai tak karuan mendengar suaranya di sebrang
sana. Sebuah suara yang tak asing lagi ditelingaku. Sebuah suara yang selalu
kudengar dari radio. Suara yang aku pernah mengenalnya pada saat membawakan
sebuah acara dari jam 8 malam hingga jam 1 dini hari. Disaat semua peserta
sangat lelah menantikan pengumuman Sang juara. Disaat aku sudah tidak konsen lagi
karena kantuk yang begitu hebat, kemudian wanita yang sudah kuanggap sebagai
bulan itu mengiringiku secara komunikatif membacakan juara yang ada. Ufg...sebuah
malam pertemuan yang indah bagiku...dan...menjadi malam terakhir aku bertemu
dengannya. Dari sebuah tempat duduk, dia menatapku sepanjang jalan dan akhirnya
lenyap di sebuah titik belokan.
“Selamat
tinggal, Mas..semoga Allah mempertemukan kita pada waktu yang indah”. Kepalaku
benar-benar tertunduk sampai penghabisan menekuknya lipatan leher dengan
kepala. Air yang bening jatuh mengaliri kedua pipiku. Kutahan sedu sedan yang
hampir terdengar. Tapi malah goncangan yang ada dalam dadaku semakin mendesak
air mata yang sudah aku tahan ternyata jatuh juga. Lebih deras dan lebih deras.
Menetes-netes di pipiku. Hatiku sedang diiris, mataku sedang diperas.
Ya Allah, kuatkanlah
aku...kuatkanlah aku...mencintai makhluk dengan cara seperti ini adalah
kehinaan. Dan..air mata itu semakin deras. Terlalu dalam kumengingat masa indah
itu. Sebuah masa yang akan selalu tersimpan di dalam hati bersama malam yang
gigil. Sebuah malam yang menjadi saksi betapa penantian ini tak akan pernah ada
ujung. Menunggu sebuah kepastian jawaban
dari sosok bulan yang aku nanti selama ini. Hingga perasaan itu terus larut
mengalahkan relitas kehidupanku yang sebenarnya.
Lamunanku buyar ketika
sebuah pesan berulang kali masuk. Benda mungil itu menjadi saksi atas harapan
pada sosok bulan yang kurindukan saat ini setelah 2 tahun aku menanti. Sudah
kubanyangkan, seandainya dia...ohhh...tidak!
“Hufgh”
Dahiku terus saja
mengernyit. Bukankah ini sudah jam sepuluh malam lebih? Masih adakah yang belum
terpejam dan ingat kepadaku? Masih saja tak kupedulikan benda itu. Mungkin
masih dengan orang yang dulu. Masih dengan rasa yang sama dan sepertinya dengan
pembicaraan yang sama pula. Oh, Tuhan...betapa sulitnya menjaga perintah-Mu.
Dan betapa konyolnya diriku. Masih saja terlintas di benakku untuk terus
bertahan bersama ketidakpastian mengharapkan kehadiran bulan itu.
Kubetulkan posisi
tidurku dan segera meraih handphone itu.
Ternyata dari sahabatku,
“Duhai
sahabatku, masih kah kau menantinya?”
Aku tersenyum membaca
sms itu. Antara percaya maupun tidak, karena dia lah yang tau akan permasalahan
yang sedang menimpaku saat ini. Ia yang tau betapa masa menunggu adalah hal
terpedih dalam hidupku. Dan kisah 4 jam akan menjadi kenangan. Namun, atas nama
kesucian cinta aku berani mempertahankannya.
“Aku
tidak tau, duhai sahabatku...bulan itu terlalu istimewa bagiku”
Segera saja kubalas seperti
itu setelah berpikir lama. Aku tidak tau apakah sahabatku akan menyangkalku
dengan dalil-dalilnya atau malah sebaliknya. Namun, bagiku dia adalah sahabat
terbaikku. Sebagai sosok laki-laki, mungkin dia akan tau perasaannku. Selang
beberapa menit, dia membalas pesanku.
“Masihkah
kau yakin untuk bertahan, Py. Serahkan pada-Nya dan mulailah untuk kembali
menyerahkan urusanmu pada-Nya. Kembalilah memikirkan-Nya dan berhentilah
berharap akan makhluk, bukankah selama ini ia telah memberimu perih?”
Entahlah...kenapa
kalimat ini seolah memberiku celah untuk berhenti berharap. Kuingat tentang
sebuah ucapan yang hingga saat ini masih tersimpan rapi dalam benakku.
Apakah
kau mau, Mas...dengan segala keterbatasan yang ada pada diriku. Dengan aku yang
belum mendapat pekerjaan tetap, dengan segala kondisiku yang sekiranya masih
belum pantas memiliki pendamping hidup. Akan tetapi dengan segala
ketidakberdayaan ini dan dengan segala ketidaksempurnaan ini, maukah kau
seandainya kau datang lagi kepadamu untuk menjadi penyempurna hidupku?
Oh..Tuhan, benarkah
ini? Anganku tiba-tiba saja berhenti pada sosok wanita itu. Seperti bilangan
afogrado yang tak terhingga jumlahnya...begitu pula dengan sejuta rasa kagum
dan haru. Seperti mendengar deru ombak di pantai, bisikan angin...kini aku tau,
bagaimana perasaannya kepadaku. Orang yang baru kukenal selama 4 jam, dan
begitu...kukagumi, menyatakan keinginan suci kepadaku. Aku...yang bukan
siapa-siapa, dalam sekejab seolah menjadi Raja di hatinya.
“Py...apakah
kau masih mau bertahan? Sementara tiada kabar darinya setelah ucapan itu.
Sebuah ucapan yang membuat kau seperti tiada di mataku. Merubah kau menjadi Py
yang lain. Entahlah, apakah bulan itu yang selama ini kau cari setelah sekian
lama kau ingin menikah di usia dini? Siapa yang mampu merobohkan imanmu hanya
karena sosok makhluk yang tiada kekal? Tidakkah kau berfikir untuk kedua
kalinya? Mencintai makhluk dengan cara seperti ini adalah kehinaan? Dan membuatmu
hampir mati saat menolak untuk mengakuinya? Oh, Py..betapa lemah iman mu saat
ini.
SMS sahabatku membuatku
sadar akan ketidakberdayaanku selama ini. Tidak mungkin aku akan memaksa orang
tua ku untuk langsung datang pada orang tuanya. Mana ada zaman sekarang orang
tua rela membiarkan anaknya menikah dengan alasan “ketidakberdayaan” saya.
“Dan
saya cukup paham solusi terakhir yang biasa ditakdirkan kepada hamba yang
benar-benar hanya bertekad mencintai Khaliknya: putuskan hubungan asmara.
Dengan segala ketidakberdayaan saya, setelah 2 tahun menunggu, tanpa kepastian
dari kisah cinta yang hanya terjalin selama 4 jam. Seperti kisah di negeri
dongeng saja, meminta kepastian darinya?
Kubalas begitu saja
pesan dari sahabatku setelah berfikir sejenak. Selintas terpikir olehku untuk
meminta kepastian darinya. Dari bulan yang hingga kini memberiku sabit dan
berusaha untuk menjadi purnama, namun hal itu terhalang oleh awan hitam yang
membuatku semakin tak mampu melihat akan keberadaannya. Hanya sebuah khayalan
arti kesucian diantara bayang-bayang ketidakpastian.
Meminta
kepastian darinya, Py? Bagaimana bisa kau berpikir untuk melakukan hal sebodoh
itu. Mau kau kemanakan muka mu nanti, Py!
Bisikan itu sontak
menohok batinku. Mencekik perasaanku yang semakin sesak. Aku yang telah
membiarkannya bersemi dalam hatiku, dan aku pula yang harus membiarkannya
pergi. Ibarat memegang pisau, akulah yang mengiris dan membuatnya berdarah, dan
semakin berdarah.
Setelah sekian menit
aku tak mendapat balasan dari sosok yang selalu membuatku kembali pada kehidupanku.
Terimakasih, Sahabatku...kau telah membuatku tegar. Lalu kurebahkan tubuhku diatas
empuknya kasur. Dibawah bantal bersarungkan kain warna hijau sontak kukeluarkan
air mataku yang mulai mengalir membasahi warna sucinya. Seperti kesucian
cintaku pada Rochma yang tak pernah terbalas dan tak ada ujungnya. Dinginnya
malam ini, menjadi saksi akan kekakuan hati yang mulai mengalir dalam diriku.
Entahlah. Sebatang pena mulai menari diatas lembaran putih.
Untukmu...aku
titipkan kata selamat tinggal. Lewat deru dan bisingnya kota. Mungkin
kerinduanku tak akan pernah terbalas, apalagi separuh jiwaku? Biarlah semuanya
mencari ruang di pojok kehidupanku. Wahai wanita yang baik hatinya, dengan
segala ketentuaNya...aku memohon padaNya kebaikan, untukmu dan untukku. Aku
adalah pena yang tak kan pernah lelah untuk mengukir rasa dan asa...seperti
yang telah kau ucapkan padaku waktu itu. Mas, Biarkanlah semuanya dipertemukan
oleh waktu. Yah...biarkanlah semuanya dipertemuklan oleh Sang waktu
No comments:
Post a Comment