Kata indonesia mempunyai seribu
sejarah yang memang patut kita review kembali, berbagai rangkaian
sejarah yang puncaknya terjadi di abad-19 dengan seribu sebutan bangsa
lain dari mulai Nan-hai, Dwipantara, Jaza'ir al-Jawi,
Nederlandsch-Indie hingga saat ini kita sebut Indonesia, dan
pertanyaannya adalah siapa yang memberi nama Nusantara ini menjadi
Indonesia, dan berapa orang yang tau akan filosofinya?
Aku
teringat sebuah iklan Unilever di salah satu TV swasta, di dalam iklan
tersebut seorang wanita yang masih muda memberikan sebuah gagasan tentang masa depan untuk sanitasi yang lebih baik,
pada para nelayan dengan suara yang keren kupikir, wanita tersebut berkata :
Sedikit
kata yang membuat otaku berfikir dan membenarkan kata-kata tersebut,
dan Nusantara saat ini butuh pemikiran dari rakyat bukan hanya pemimpin
dengan seribu alasan yang non komplek untuk menerjemahkan kata Nusantara
menjadi Indonesia, Kritis akan jadi bumbu demokrasi yang menurutku itu
lebih layak dari pada diam dan sibuk dengan perut masing-masing.
Aku
teringat pada sebuah film pendek yang disutradarai oleh Lanang
Sumarjana, film tersebut menceritakan tentang Analogi Indonesia dalam
kibaran merah putih. Bora, seorang anak berjiwa
nasionalis dan optimis. Penghasilan yang pas-pasan sebagai tukang semir
sepatu tidak menyurutkan semangatnya untuk menjaga kewibawaan merah
putih. Namun, perjuangan Bora tidak mulus, yang kemudian menuju pada
sebuah kekecewaan. Kekecewaan Bora seakan mengajak kita merenung bahwa
ternyata Negeri ini memang masih tidur. Indonesia masih subuh.
YA INDOENSIA MASIH SUBUH....
dan
butuh sebuah intelektual jama'ah untuk membangunkannya dan berdiri
untuk mengambil air wudzu, analogi ini bukan hanya sekedar masalah fiqih
yang diimplementasikan pada sebuah nilai-nilai kebangsaan yang
ber-adab, tapi ini tentang intepretasi diri terhadap bumi kelahiran yang
kupijak, tentang pertanggung jawaban rakyat untuk bangsa tinggalnya.
Suwardi Suryaningrat yang menyebut nama Indoneisa pertama kali bukan hanya sekedar sebutan yang menirukan bahasa temuan dari James Richardson Logan atau
sekedar mengartikannya dengan Pulau-pulau Hindia, tapi filosofi katanya
yang menggugat bangsa penjajah hingga kalian dapat memikirkan perut
sendiri hingga sampai saat ini, tapi dimana titik para kaum intelektual
untuk membangunkan bangsa ini dengan berbagai filosofi yang telah ada,
apa semua itu sudah hilang begitu saja bersamaan dengan sabda-sabda
apatis kita ?
#sekedar hanya untuk nunggu hujan reda :)
No comments:
Post a Comment