Pada 2 Februari 2014 kemarin, saya
mengikuti seminar nasional bertema Demokrasi dalam Syariat Islam yang
diselenggarakan oleh Lembaga Kajian dan Pendampingan Sosial Kholif@h di
Ruang Sidang Gedung DPRD Kota Surakarta atas ajakan kakak saya di KAMMI.
Pembicara pertama, Bapak M.Dian Nafi,
membahas mengenai bagaimana Islam memandang manusia, spirit dalam ajaran
Islam untuk memperbaiki demokrasi, serta kemungkinan umat Islam menjadi
pelopor dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Beliau menekankan pentingnya kebersamaan
untuk membangun kebajikan bersama guna membangun peradaban sesuai dengan
yang diajarkan Rasulullah saw. Dengan kesadaran tersebut, ia
berpendapat sudah sepatutnyalah manusia mau dan mampu menerima amanat
dan ikut memperbaiki keadaan, bukannya malah menarik diri dari kehidupan
komunalnya, termasuk peran sertanya dalam memperbaiki demokrasi.
Lebih lanjut, ia berpandangan bahwa
sebagai cara bernegara, demokrasi tidak bisa dilaksanakan secara seragam
oleh negara tempat umat Islam berada dikarenakan berbagai faktor, baik
itu dari segi geografi, kependudukan, dan sejarah masing-masing. Ada
demokrasi yang menjamin umat Islam hidup dalam syariatnya meski tidak
diterapkan sebagai hukum positif, ada yang masih terus bergerak dinamis,
ada pula yang masih terjebak pertikaian politik yang berlarut-larut.
Namun secara substansial, beliau berpesan
bahwa umat Islam haruslah mampu menjadi pelopor dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dimanapun berada. Umat Islam
haruslah mampu menjadi pengawal dan teladan demokrasi sesuai dengan
prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan.
Pembicara kedua, Bapak Ihsan Saifuddin,
membahas mengenai bagaimana memilih pemimpin dalam Islam dalam
perspektif Qur’an, sunnah, dan sejarah. Dalam eksistensi
kepemimpinannya, manusia haruslah berkaca pada sosok pemimpin paripurna,
Nabi Muhammad saw.
Diantara sekian banyak kriteria seorang
pemimpin, beliau meringkasnya dalam satu kesimpulan yaitu: pemimpin yang
memiliki karakter yang kuat. Karakter yang kuat ini mencakup: kuat
fisik dan kuat ilmu/mental (basthotan fil ilmi wa jismi). Interpretasi
kuat mental adalah sifat kebaikan yang menyeluruh dengan poros utamanya
yaitu taqwa, kuat fisik artinya tidak memiliki cacat fisik dan penyakit
yang mengakibatkan lemah kepemimpinannya. Lebih lanjut, ia menambahkan
bahwa di era kini seorang pemimpin haruslah orang yang melek teknologi.
Pembicara ketiga, Bapak Abdullah Faishol,
membahas mengenai Islam dan Demokrasi di Indonesia. Beliau mengawali
pembahasannya dengan mengingatkan kembali pada sejarah pasang surut
politik di Indonesia dari masa pra-kemerdekaan hingga era sekarang yang
begitu kompleks. Sejurus kemudian, ia mengaitkannya dengan pertanyaan
Hefner, yang salah satunya: Apakah Islam sejalan dengan demokrasi? Lalu,
bagaimana kontribusi Islam dan demokrasi di Indonesia di masa yang akan
datang?
Bagi beliau, Indonesia memiliki kapasitas
untuk berbicara bagaimana Islam dapat bersenyawa dengan sistem
demokrasi yang memiliki nilai-nilai kulturalnya. Namun, yang ia
garisbawahi adalah bagaimana menjadikan Islam sebagai sebuah nilai dalam
menjalankan sistem budaya Indonesia yang demokratis. Menurutnya, agama
dan politik adalah dua entitas yang berbeda, dimana agama bersifat
profan dan politk bersifat menindas. Apabila agama dijadikan alat
sebagai legitimasi kekuasaan, maka pengalaman pahit sejarah akan kembali
terulang.
Lebih lanjut, beliau menawarkan nilai
Islam dalam sistem demokrasi yang mampu mendukung penguatan budaya
demokrasi, seperti: musyawarah, pemufakatan, dan ijtihad. Hal tersebut
pada akhirnya akan berorientasi pada bangunan masyarakat yang sejahtera
lahir dan batin. Dari perspketif historis, lantas beliau mengisahkan
contoh tata kelola pemerintahan dalam Islam pada masa Abu Bakar, Umar,
Usman, Ali, dan Umar Ibn Adul Aziz.
Sebagai penutup, beliau menyatakan bahwa
demokrasi bersifat universal sehingga tidak bisa dilabeli dengan agama
manapun. Prinsip Islam haruslah dipakai untuk menyokong sistem demokrasi
di Indonesia, bukan dijadikan sebagai alat untuk memenuhi nafsu
politik.
Dalam sesi diskusi, muncul beberapa pertanyaan
Mampukah umat Islam menjadi pelopor demokrasi? Bagaimana dengan kepemimpinan non-muslim? Siapakah yang disebut ulil amri?
Jawaban dari Pembicara
Bapak Dian Nafi: “NU berketetapan bahwa
pemimpin Indonesia tak mesti memenuhi semua kriteria pemimpin yang
ditetapkan dalam fiqih, maka ia disebut Pengampu urusan umat sementara’.
Bagaimana halnya dengan pemimpin perempuan? Presiden RI tidak dapat
berdiri sendiri. Jabatan presiden berimplikasi komunal, sehingga akan
melibatkan pejabat pemerintah yang lain. Bagaimana dengan kepemimpinan
non muslim? Mengutip pendapat Imam Malik atas sengketa yang pernah
terjadi di zamannya saat raja yang zalim terpilih menjadi penguasa,
beliau berkata: ‘kita ikut saja yang menang’. Ada upaya sebelum
pemilihan, dan keberikutan setelah pemilihan.
Menurut Ibn Khaldun, negara dibentuk
dengan 3 pertimbangan pokok:
1. Yang kuat yang menjadi raja dengan implikasi siapa yang bisa membeli suara rakyat dia yang akan menang 2. Yang sifatnya siyasi dengan implikasi ia mendapat suara terbanyak kehendak rakyat, dapat mengendalikan rakyat, dan mampu mewakili aspirasi rakyat.
3. Memiliki filsafat tertentu/nilai-nilai yanng berbasiskan ketuhanan. Negara Indonesia adalah negara falsafi. Ia berbeda dengan negara sekuler!
1. Yang kuat yang menjadi raja dengan implikasi siapa yang bisa membeli suara rakyat dia yang akan menang 2. Yang sifatnya siyasi dengan implikasi ia mendapat suara terbanyak kehendak rakyat, dapat mengendalikan rakyat, dan mampu mewakili aspirasi rakyat.
3. Memiliki filsafat tertentu/nilai-nilai yanng berbasiskan ketuhanan. Negara Indonesia adalah negara falsafi. Ia berbeda dengan negara sekuler!
Bapak Ihsan: Kembali pada QS Ali Imran ayat 28 dan QS An Nisa ayat 139, 144
Bapak Fashol: Demokrasi adalah wadah,
yang mengisi bukanlah sebuah label, tapi makna. Sebaiknya umat Islam
jangan terkooptasi partai tertentu. Menurut Ibn Katsir, ulil amri adalah
ulama, bukan pemimpin sebagaimana yang kita ketahui sekarang.
Catatan saya:
Al Ghazali Hide Wulakada (PKS) dalam
bukunya Al-Qur’an sebagai Parameter Peradaban Indonesia mengatakan bahwa
baginya alasan bahwa demokrasi adalah buatan orang-orang barat sudah
tidak relevan lagi dipakai dalam penguatan wacana pemberlakuan hukum
syariah di Indonesia. Sebab, pemberlakuan hukum syariah Islam akan
berjalan seiring kesiapan masyarakat Islam.
Abdul Munir Mulkhan dalam suara
Muhammadiyah tahun 2002 silam menulis: Penempatan rekayasa kekuatan
anti Islam sebagai penyebab kekalahan partai Islam atau partai berbasis
umat Islam, belum pernah melahirkan strategi efektif karena yang disebut
kekuatan anti Islam itu tidak pernah bisa dirumuskan secara jelas dan
kongkrit, kecuali kategori-kategori primordial dan simbolis.
Dalam buku Pembentukan Partai Politik
Islam (Hizb At Tahrir), Ust Taqqiyuddin An Nabhani berkata bahwa
falsafah hakiki untuk mewujudkan kebangkitan bertolak dari adanya suatu
ideologi yang menggabungkan fkrah dan thariqah secara terpadu. Ketika
seseorang menginternalisasikan sebuah ideologi dalam dirinya maka
ideologi itu akan mendorongnya untuk mendakwahkannya. Ketika sebuah
partai berbasiskan ideologi yang benar, dan ia mampu mempertahankan
dirinya dari segala macam benturan dan memenangkan pemikiran umat, maka
fikrah partai menjadi fikrah umat dan aqidah partai menjadi aqidah umat.
Dalam benak saya, partai politik
berideologi Islam maupun berbasis umat Islam sah-sah saja, bahkan saya
akan turut sertakan afiliasi saya di dalamnya. Hanya saja, pemberlakuan
hukum positif formal untuk pemberlakuan syariat Islam agaknya masih
menjadi hal yang patut dipertimbangkan kembali. Karena Islam itu
universal, maka sudah semestinya ia tak mengambil jarak dengan relasi
kekuasaan. Nilai-nilai Islam haruslah dijiwai sebagai metode untuk
mewujudkan kesejahteraan, masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah
swt.
No comments:
Post a Comment