Friday, 14 February 2014

Seminar Keislaman Kholifah: Demokrasi dalam syariat Islam ( HASSA )

Pada 2 Februari 2014 kemarin, saya mengikuti seminar nasional bertema Demokrasi dalam Syariat Islam yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian dan Pendampingan Sosial Kholif@h di Ruang Sidang Gedung DPRD Kota Surakarta atas ajakan kakak saya di KAMMI.

Pembicara pertama, Bapak M.Dian Nafi, membahas mengenai bagaimana Islam memandang manusia, spirit dalam ajaran Islam untuk memperbaiki demokrasi, serta kemungkinan umat Islam menjadi pelopor dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Beliau menekankan pentingnya kebersamaan untuk membangun kebajikan bersama guna membangun peradaban sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah saw. Dengan kesadaran tersebut, ia berpendapat sudah sepatutnyalah manusia mau dan mampu menerima amanat dan ikut memperbaiki keadaan, bukannya malah menarik diri dari kehidupan komunalnya, termasuk peran sertanya dalam memperbaiki demokrasi.
Lebih lanjut, ia berpandangan bahwa sebagai cara bernegara, demokrasi tidak bisa dilaksanakan secara seragam oleh negara tempat umat Islam berada dikarenakan berbagai faktor, baik itu dari segi geografi, kependudukan, dan sejarah masing-masing.  Ada demokrasi yang menjamin umat Islam hidup dalam syariatnya meski tidak diterapkan sebagai hukum positif, ada yang masih terus bergerak dinamis, ada pula yang masih terjebak pertikaian politik yang berlarut-larut.

Namun secara substansial, beliau berpesan bahwa umat Islam haruslah mampu menjadi pelopor dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dimanapun berada. Umat Islam haruslah mampu menjadi pengawal dan teladan demokrasi sesuai dengan prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

Pembicara kedua, Bapak Ihsan Saifuddin, membahas mengenai bagaimana memilih pemimpin dalam Islam dalam perspektif Qur’an, sunnah, dan sejarah.  Dalam eksistensi kepemimpinannya, manusia haruslah berkaca pada sosok pemimpin paripurna, Nabi Muhammad saw.
Diantara sekian banyak kriteria seorang pemimpin, beliau meringkasnya dalam satu kesimpulan yaitu: pemimpin yang memiliki karakter yang kuat. Karakter yang kuat ini mencakup: kuat fisik dan kuat ilmu/mental (basthotan fil ilmi wa jismi). Interpretasi kuat mental adalah sifat kebaikan yang menyeluruh dengan poros utamanya yaitu taqwa, kuat fisik artinya tidak memiliki cacat fisik dan penyakit yang mengakibatkan lemah kepemimpinannya. Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa di era kini seorang pemimpin haruslah orang yang melek teknologi.

Pembicara ketiga, Bapak Abdullah Faishol, membahas mengenai Islam dan Demokrasi di Indonesia.  Beliau mengawali pembahasannya dengan mengingatkan kembali pada sejarah pasang surut politik di Indonesia dari masa pra-kemerdekaan hingga era sekarang yang begitu kompleks. Sejurus kemudian, ia mengaitkannya dengan pertanyaan Hefner, yang salah satunya: Apakah Islam sejalan dengan demokrasi? Lalu, bagaimana kontribusi Islam dan demokrasi di Indonesia di masa yang akan datang?

Bagi beliau, Indonesia memiliki kapasitas untuk berbicara bagaimana Islam dapat bersenyawa dengan sistem demokrasi yang memiliki nilai-nilai kulturalnya. Namun, yang ia garisbawahi adalah bagaimana menjadikan Islam sebagai sebuah nilai dalam menjalankan sistem budaya Indonesia yang demokratis. Menurutnya, agama dan politik adalah dua entitas yang berbeda, dimana agama bersifat profan dan politk bersifat menindas. Apabila agama dijadikan alat sebagai legitimasi kekuasaan, maka pengalaman pahit sejarah akan kembali terulang.

Lebih lanjut, beliau menawarkan nilai Islam dalam sistem demokrasi yang mampu mendukung penguatan budaya demokrasi, seperti: musyawarah, pemufakatan, dan ijtihad. Hal tersebut pada akhirnya akan berorientasi pada bangunan masyarakat yang sejahtera lahir dan batin. Dari perspketif historis, lantas beliau mengisahkan contoh tata kelola pemerintahan dalam Islam pada masa Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, dan Umar Ibn Adul Aziz.

Sebagai penutup, beliau menyatakan bahwa demokrasi bersifat universal sehingga tidak bisa dilabeli dengan agama manapun. Prinsip Islam haruslah dipakai untuk menyokong sistem demokrasi di Indonesia, bukan dijadikan sebagai alat  untuk memenuhi nafsu politik.

Dalam sesi diskusi, muncul beberapa pertanyaan
Mampukah umat Islam menjadi pelopor demokrasi? Bagaimana dengan kepemimpinan non-muslim? Siapakah yang disebut ulil amri?

Jawaban dari Pembicara
Bapak Dian Nafi: “NU berketetapan bahwa pemimpin Indonesia tak mesti memenuhi semua kriteria pemimpin yang ditetapkan dalam fiqih, maka ia disebut Pengampu urusan umat sementara’. Bagaimana halnya dengan pemimpin perempuan? Presiden RI tidak dapat berdiri sendiri. Jabatan presiden berimplikasi komunal, sehingga akan melibatkan pejabat pemerintah yang lain. Bagaimana dengan kepemimpinan non muslim? Mengutip pendapat Imam Malik atas sengketa yang pernah terjadi di zamannya saat raja yang zalim terpilih menjadi penguasa, beliau berkata: ‘kita ikut saja yang menang’. Ada upaya sebelum pemilihan, dan keberikutan setelah pemilihan.

Menurut Ibn Khaldun, negara dibentuk dengan 3 pertimbangan pokok:
1. Yang kuat yang menjadi raja dengan implikasi siapa yang bisa membeli suara rakyat dia yang akan menang 2. Yang sifatnya siyasi dengan implikasi ia mendapat suara terbanyak kehendak rakyat, dapat mengendalikan rakyat, dan mampu mewakili aspirasi rakyat.
3. Memiliki filsafat tertentu/nilai-nilai yanng berbasiskan ketuhanan. Negara Indonesia adalah negara falsafi. Ia berbeda dengan negara sekuler!

Bapak Ihsan: Kembali pada QS Ali Imran ayat 28 dan QS An Nisa ayat 139, 144
Bapak Fashol: Demokrasi adalah wadah, yang mengisi bukanlah sebuah label, tapi makna. Sebaiknya umat Islam jangan terkooptasi partai tertentu. Menurut Ibn Katsir, ulil amri adalah ulama, bukan pemimpin sebagaimana yang kita ketahui sekarang.

Catatan saya:
Al Ghazali Hide Wulakada (PKS) dalam bukunya Al-Qur’an sebagai Parameter Peradaban Indonesia mengatakan bahwa baginya alasan bahwa demokrasi adalah buatan orang-orang barat sudah tidak relevan lagi dipakai dalam penguatan wacana pemberlakuan hukum syariah di Indonesia. Sebab, pemberlakuan hukum syariah Islam akan berjalan seiring kesiapan masyarakat Islam.

Abdul Munir Mulkhan dalam suara Muhammadiyah tahun 2002 silam menulis:  Penempatan rekayasa kekuatan anti Islam sebagai penyebab kekalahan partai Islam atau partai berbasis umat Islam, belum pernah melahirkan strategi efektif karena yang disebut kekuatan anti Islam itu tidak pernah bisa dirumuskan secara jelas dan kongkrit, kecuali kategori-kategori primordial dan simbolis.

Dalam buku Pembentukan Partai Politik Islam (Hizb At Tahrir), Ust Taqqiyuddin An Nabhani berkata bahwa falsafah hakiki untuk mewujudkan kebangkitan bertolak dari adanya suatu ideologi yang menggabungkan fkrah dan thariqah secara terpadu. Ketika seseorang menginternalisasikan sebuah ideologi dalam dirinya maka ideologi itu akan mendorongnya untuk mendakwahkannya. Ketika sebuah partai berbasiskan ideologi yang benar, dan ia mampu mempertahankan dirinya dari segala macam benturan dan memenangkan pemikiran umat, maka fikrah partai menjadi fikrah umat dan aqidah partai menjadi aqidah umat.

Dalam benak saya, partai politik berideologi Islam maupun berbasis umat Islam sah-sah saja, bahkan saya akan turut sertakan afiliasi saya di dalamnya. Hanya saja, pemberlakuan hukum positif formal untuk pemberlakuan syariat Islam agaknya masih menjadi hal yang patut dipertimbangkan kembali. Karena Islam itu universal, maka sudah semestinya ia tak mengambil jarak dengan relasi kekuasaan. Nilai-nilai Islam haruslah dijiwai sebagai metode untuk mewujudkan kesejahteraan, masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah swt.

No comments: