Tergila-gila Menulis karena Akhwat Cantik
Menjadikan akhwat (perempuan) cantik yang menjadi idaman para lelaki alias ikhwan, untuk meningkatkan kesadaran menulis tampaknya bukan sebuah tips tak berbukti. Pengalaman di sebuah organisasi keislaman kampus berikut ini bisa menjadi pelajaran.
Sebut saja namanya Anggrek, mahasiswa angkatan 2008 berparas ayu ini dikenal di kalangan pegiat organisasi dakwah fakultas di sebuah kampus terkemuka di Yogyakarta. Para ikhwan muda—baik seangkatan atau seniornya—yang awalnya diam-diam berunjuk gigi mencari perhatian Anggrek, kini tak mau kalah dalam bersaing sesama mereka. Setiap Anggrek menuliskan statusnya di Facebook, langsung para ikhwan berebut komentar. Tidak hanya itu, pesan-pesan singkat (SMS) dilayangkan pada Anggrek dalam format SMS tausiah.
“Setiap malam saya sering menerima seperti itu,” aku Anggrek kepada teman saya. Anggrek sudah tidak sekadar menerima satu atau tiga SMS dari nadanya. Dan, dia sepertinya sudah merasa tidak nyaman dengan ‘kebajikan’ para ikhwan seorganisasinya itu.
Para ikhwan di organisasi itu faktualnya belumlah meminati tulis-menulis. Menulis atas ‘panggilan hati’ dikerjakan paling tidak dalam karakter sepanjang SMS tausiah itu atau status penimpal Anggrek. Di mana ada status Anggrek dapat dipastikan bakal menjadi gula bagi berlahirannya tangan-tangan lincah di status Facebook.
Jangan kaget bila puji-pujian dan mencari simpati secara halus menjadi modus operandi para ikhwan itu bertingkah. Konflik komentar antar-ikhwan niscaya dalam keadaan ini. Muaranya satu: Anggrek!
Anggrek menyadari hal itu, dan untungnya dia seperti belum bertingkah genit dengan bermain-main api di tengah puncak popularitasnya itu. Apakah ini terkait dengan mitos akhwat usia awal dua puluh tahunan yang terkesan menjaga citra ‘mahal’? Wallahu’alam, ini rasanya tak penting dibahas.
Magnet Anggrek tidak sekadar di dunia maya atau SMS, ternyata dia bisa mengondisikan para ikhwan yang semula berkompetisi seolah-olah tak berminat padanya. Ketika Anggrek berjalan di hadapan kerumunan ikhwan, anak-anak muda yang tengah antusias belajar Islam itu bakal mengesankan sebuah pembicaraan berbobot dan tak terpengaruh dengan kemunculan sang primadona kampus.
Entah apa yang menggerakkannya, suatu ketika Anggrek menuliskan silaturahminya ke seorang teman yang baru di wisuda di tengah bencana erupsi Merapi. Pengalaman itu dituliskannya untuk catatan di Facebook. Seorang seniornya kemudian berkenan mengedit tulisannya itu, mengingat kualitas tulis-menulis Anggrek tidak perlu ditanya.
“Saya malu menampilkannya….” Ujar Anggrek.
Tapi sang senior meyakinkan pentingnya pengalaman itu untuk dibagi. Singkat cerita, tulisan hasil editan itu kemudian menjadi tulisan semanis madu Sumbawa. Dikerumuni para ikhwan pengidamnya. Great-lah atau pujian semacam itu bertubi-tubi dituliskan teman seangkatan dan seniornya—tentu saja yang berkelamin ikhwan.
Nah, yang menarik, catatan itu kemudian menjadi pemicu para ikhwan yang semula tak terbiasa menulis. Maka, menulis status kini beralih menjadi tulisan catatan yang bisa menghabiskan beberapa alinea panjang. Lumayan untuk ukuran kampus itu. Soal redaksional atau kebahasaan tak perlu diungkit di sini.
Tiap-tiap ikhwan itu menulis, selalu men-tag Anggrek. Ada kesamaan siasat mereka: foto Anggrek sebisa mungkin tidak ditaruh di awal-awal. Disamarkan demi menyembunyikan maksud simpati awalnya pada Anggrek. Maka, jadilah kini sebuah organisasi dakwah yang tak kalah produktif para ikhwan (juga sebagian akhwat) dalam menulis. Menulis dan menulis, sembari menyolek Anggrek di tag-an.
Bermunculannya penulis kagetan itu sebuah hal mengharukan, apa pun latar motifnya. Yang semula enggan atau merasa tak berbakat ikut terpacu menulis. Hebatnya, status Facebook di kalangan aktivis organisasi itu yang awalnya bernada melankolis, kini perlahan tereduksi. Akibat konsentrasi ke menuangkan gagasan di notes Facebook? Boleh jadi.
Perubahan menggapai keinginan (kendati sekadar simpati seorang akhwat cantik) ini tak perlu diperolok-olok. Pun ketika ada segelintir ikhwan yang merasa gagal bersaing dan sulit (baca: tak mau) menulis kemudian berfatwa begini: “Menulis bukan segala-galanya!” Ikhwan ini sepertinya sadar, dia kalah melangkah dibandingkan pengidam Anggrek lainnya.
Sampai kapan mereka tergila-gila menulis? Sampai Anggrek bosan dan menemukan media ekspresi barunya kah? Saya tak tahu, namun yang terang Anggrek sendiri tidak pernah menulis lagi setelah catatan soal wisuda itu. Alasannya masih soal malu dengan kualitas tulisan; bukan soal tulisan dia menjadi penyemangat para ikhwan bertatih-tatih menuangkan pengalaman di catatan Facebook.
Menjadikan akhwat (perempuan) cantik yang menjadi idaman para lelaki alias ikhwan, untuk meningkatkan kesadaran menulis tampaknya bukan sebuah tips tak berbukti. Pengalaman di sebuah organisasi keislaman kampus berikut ini bisa menjadi pelajaran.
Sebut saja namanya Anggrek, mahasiswa angkatan 2008 berparas ayu ini dikenal di kalangan pegiat organisasi dakwah fakultas di sebuah kampus terkemuka di Yogyakarta. Para ikhwan muda—baik seangkatan atau seniornya—yang awalnya diam-diam berunjuk gigi mencari perhatian Anggrek, kini tak mau kalah dalam bersaing sesama mereka. Setiap Anggrek menuliskan statusnya di Facebook, langsung para ikhwan berebut komentar. Tidak hanya itu, pesan-pesan singkat (SMS) dilayangkan pada Anggrek dalam format SMS tausiah.
“Setiap malam saya sering menerima seperti itu,” aku Anggrek kepada teman saya. Anggrek sudah tidak sekadar menerima satu atau tiga SMS dari nadanya. Dan, dia sepertinya sudah merasa tidak nyaman dengan ‘kebajikan’ para ikhwan seorganisasinya itu.
Para ikhwan di organisasi itu faktualnya belumlah meminati tulis-menulis. Menulis atas ‘panggilan hati’ dikerjakan paling tidak dalam karakter sepanjang SMS tausiah itu atau status penimpal Anggrek. Di mana ada status Anggrek dapat dipastikan bakal menjadi gula bagi berlahirannya tangan-tangan lincah di status Facebook.
Jangan kaget bila puji-pujian dan mencari simpati secara halus menjadi modus operandi para ikhwan itu bertingkah. Konflik komentar antar-ikhwan niscaya dalam keadaan ini. Muaranya satu: Anggrek!
Anggrek menyadari hal itu, dan untungnya dia seperti belum bertingkah genit dengan bermain-main api di tengah puncak popularitasnya itu. Apakah ini terkait dengan mitos akhwat usia awal dua puluh tahunan yang terkesan menjaga citra ‘mahal’? Wallahu’alam, ini rasanya tak penting dibahas.
Magnet Anggrek tidak sekadar di dunia maya atau SMS, ternyata dia bisa mengondisikan para ikhwan yang semula berkompetisi seolah-olah tak berminat padanya. Ketika Anggrek berjalan di hadapan kerumunan ikhwan, anak-anak muda yang tengah antusias belajar Islam itu bakal mengesankan sebuah pembicaraan berbobot dan tak terpengaruh dengan kemunculan sang primadona kampus.
Entah apa yang menggerakkannya, suatu ketika Anggrek menuliskan silaturahminya ke seorang teman yang baru di wisuda di tengah bencana erupsi Merapi. Pengalaman itu dituliskannya untuk catatan di Facebook. Seorang seniornya kemudian berkenan mengedit tulisannya itu, mengingat kualitas tulis-menulis Anggrek tidak perlu ditanya.
“Saya malu menampilkannya….” Ujar Anggrek.
Tapi sang senior meyakinkan pentingnya pengalaman itu untuk dibagi. Singkat cerita, tulisan hasil editan itu kemudian menjadi tulisan semanis madu Sumbawa. Dikerumuni para ikhwan pengidamnya. Great-lah atau pujian semacam itu bertubi-tubi dituliskan teman seangkatan dan seniornya—tentu saja yang berkelamin ikhwan.
Nah, yang menarik, catatan itu kemudian menjadi pemicu para ikhwan yang semula tak terbiasa menulis. Maka, menulis status kini beralih menjadi tulisan catatan yang bisa menghabiskan beberapa alinea panjang. Lumayan untuk ukuran kampus itu. Soal redaksional atau kebahasaan tak perlu diungkit di sini.
Tiap-tiap ikhwan itu menulis, selalu men-tag Anggrek. Ada kesamaan siasat mereka: foto Anggrek sebisa mungkin tidak ditaruh di awal-awal. Disamarkan demi menyembunyikan maksud simpati awalnya pada Anggrek. Maka, jadilah kini sebuah organisasi dakwah yang tak kalah produktif para ikhwan (juga sebagian akhwat) dalam menulis. Menulis dan menulis, sembari menyolek Anggrek di tag-an.
Bermunculannya penulis kagetan itu sebuah hal mengharukan, apa pun latar motifnya. Yang semula enggan atau merasa tak berbakat ikut terpacu menulis. Hebatnya, status Facebook di kalangan aktivis organisasi itu yang awalnya bernada melankolis, kini perlahan tereduksi. Akibat konsentrasi ke menuangkan gagasan di notes Facebook? Boleh jadi.
Perubahan menggapai keinginan (kendati sekadar simpati seorang akhwat cantik) ini tak perlu diperolok-olok. Pun ketika ada segelintir ikhwan yang merasa gagal bersaing dan sulit (baca: tak mau) menulis kemudian berfatwa begini: “Menulis bukan segala-galanya!” Ikhwan ini sepertinya sadar, dia kalah melangkah dibandingkan pengidam Anggrek lainnya.
Sampai kapan mereka tergila-gila menulis? Sampai Anggrek bosan dan menemukan media ekspresi barunya kah? Saya tak tahu, namun yang terang Anggrek sendiri tidak pernah menulis lagi setelah catatan soal wisuda itu. Alasannya masih soal malu dengan kualitas tulisan; bukan soal tulisan dia menjadi penyemangat para ikhwan bertatih-tatih menuangkan pengalaman di catatan Facebook.
No comments:
Post a Comment