Pemilu legislatif tahun ini pertama untuk si-sulung, ia beruntung setelah menerima KTP si sulung, di tahun yang sama, dia pertama kali menggunakan hal pilihnya, ada pertanyaan yang menggelitik yang di lontarkan kepada telinga saya ketika ia mulai memasuki tempat pemilihan .
" Bunda, aku harus pilih siapa ?
Yaa mungkin hal yang wajar karena baru kalinya dia berpartisipasi dalam pesta demokrasi di negri ini, yang lebih menggelitik lagi adalah untuk saya sendiri yang mungkin sudah berkali-kali memilih tapi sempat bingung, tidak tau harus menjawab apa
Saya teliti semua nama dan wajah calegnya, tapi tak satupun aku mengenal mereka, dan tidak ada satupun yang terlihat memiliki kontribusi yang nyata untuk masyarakat, setidaknya sebgai orang awam sama sekali tidak tau kontribusi sebagian besar mereka dan timbul sebuah pertanyaan di dalam hati saya, " apa yang membuat nama-nama caleg ini memberanikan diri untuk mencalonkan dirinya untuk berlomba menduduki kursi legislatif ?"
Dan saya mulai mempunyai ide untuk menelpon kerabat atau saudara yang dapat saya percaya dan bertanya tentang calon wakil rakyat yang ada di kertas balik billing ini, untuk dapat menguatkan saya dan si bungsu
" Bismillah saya memilih" .
lalu kami keluar dari TPS tersebut dengan keragu-raguan dan muncul berbagai pertanyaan yang belum bisa dijawab.
Pertanyaan si sulung menguatkan pemikiran saya yang masih sering
bertanya-tanya dalam hati, apakah sistem demokrasi yang kita terapkan
saat ini telah benar. Bukan maksud saya untuk tidak mensyukuri PEMILU
yang berlangsung damai dan tanpa kekerasan. Tapi tidak ada salahnya
untuk terus melakukan evaluasi terkait berbagai hal, termasuk apakah
sistem perpolitikan yang berlaku saat ini memang sudah yang terbaik.
Kenapa begitu banyak orang yang mempunyai kontribusi pada masyarakat malas masuk dunia politik, tapi sebaliknya orang yang tidak punya atau hanya sedikit berkontribusi justru luar biasa getol mencemplungkan diri di dunia politik.Begitu banyak sosok yang kiprah dan jejak prestasinya terekam jelas dalam pemberitaan dan media, dikenal luas masyarakat, tapi tidak masuk politik.
Sebaliknya yang sama sekali tidak dikenal, berani memasang poster wajahnya besar-besar di jalan-jalan strategis yang diganti secara periodik. Kadang pakai baju daerah, kadang mengenakan pakaian formal, bahkan ada yang memakai baju bola, sampai namanya terngiang-ngiang di kepala, walapun tetap tidak dikenal.
Bungsu kami, Adam malah sempat melemparkan komentar lucu tentang pemilu.
Setelah kami pulang dari tempat kotak suara, ia bertanya dengan antusias, "Ayah Bunda pilih ITU tidak?"
Yang disebut merupakan inisial nama kandidat yang poster dan namanya terpampang jelas di salah satu pertigaan strategis yang hampir setiap hari kami lewati. Kebetulan wajah sang kandidat mirip salah satu staf di kantor sehingga selalu jadi bahan ledekan. Tapi bagi Adam akhirnya nama ITU begitu akrab hingga mengira ayah bunda akan memilih caleg tersebut. Padahal modal sang kandidat yang terlihat ‘cuma’ poster dan sewa ruang iklan di tempat strategis. Aneh.
Saya percaya masih ada yang tidak tepat dan perlu dibenahi dalam penerapan demokrasi di Indonesia. Entah sistemnya. Entah politiknya. Demokrasi menurut saya telah tepat apabila figur-figur berkualitas maju menjadi kandidat dan rakyat mempunyai pilihan untuk memilih kandidat terbaik dari orang-orang hebat yang ada. Bukan terpaksa atau bahkan ‘dipaksa’ untuk memberi pilihan dari sekian banyak kandidat yang muncul tiba-tiba dan ada yang demi sekedar memenuhi kuota, atau karena punya uang.
Seorang teman memberi ide yang tidak biasa. "Bayangkan, dengan sistem sekarang, seorang tokoh nasional yang dikenal luas oleh seluruh bangsa Indonesia, belum tentu bisa terpilih!" katanya.
Kenapa begitu banyak orang yang mempunyai kontribusi pada masyarakat malas masuk dunia politik, tapi sebaliknya orang yang tidak punya atau hanya sedikit berkontribusi justru luar biasa getol mencemplungkan diri di dunia politik.Begitu banyak sosok yang kiprah dan jejak prestasinya terekam jelas dalam pemberitaan dan media, dikenal luas masyarakat, tapi tidak masuk politik.
Sebaliknya yang sama sekali tidak dikenal, berani memasang poster wajahnya besar-besar di jalan-jalan strategis yang diganti secara periodik. Kadang pakai baju daerah, kadang mengenakan pakaian formal, bahkan ada yang memakai baju bola, sampai namanya terngiang-ngiang di kepala, walapun tetap tidak dikenal.
Bungsu kami, Adam malah sempat melemparkan komentar lucu tentang pemilu.
Setelah kami pulang dari tempat kotak suara, ia bertanya dengan antusias, "Ayah Bunda pilih ITU tidak?"
Yang disebut merupakan inisial nama kandidat yang poster dan namanya terpampang jelas di salah satu pertigaan strategis yang hampir setiap hari kami lewati. Kebetulan wajah sang kandidat mirip salah satu staf di kantor sehingga selalu jadi bahan ledekan. Tapi bagi Adam akhirnya nama ITU begitu akrab hingga mengira ayah bunda akan memilih caleg tersebut. Padahal modal sang kandidat yang terlihat ‘cuma’ poster dan sewa ruang iklan di tempat strategis. Aneh.
Saya percaya masih ada yang tidak tepat dan perlu dibenahi dalam penerapan demokrasi di Indonesia. Entah sistemnya. Entah politiknya. Demokrasi menurut saya telah tepat apabila figur-figur berkualitas maju menjadi kandidat dan rakyat mempunyai pilihan untuk memilih kandidat terbaik dari orang-orang hebat yang ada. Bukan terpaksa atau bahkan ‘dipaksa’ untuk memberi pilihan dari sekian banyak kandidat yang muncul tiba-tiba dan ada yang demi sekedar memenuhi kuota, atau karena punya uang.
Seorang teman memberi ide yang tidak biasa. "Bayangkan, dengan sistem sekarang, seorang tokoh nasional yang dikenal luas oleh seluruh bangsa Indonesia, belum tentu bisa terpilih!" katanya.
"Kok bisa?" tanya saya. "Ya, kalau dipilih secara nasional mungkin
ada ratusan ribu pemilihnya. Tapi kalau untuk duduk di legislatif, dia
harus dipilih di daerah tertentu yang mungkin di sana hanya sedikit
orang yang mau memilihnya. Masalahnya para pemilih yang memercayai sang
tokoh tersebar merata dan tidak terkonsentrasi di satu daerah. Dengan
begitu bisa jadi dia dikalahkan satu orang top di wilayah tertentu yang
secara nasional kontribusinya sebenarnya tidak ada apa-apanya. Padahal,
ini untuk pemilihan DPR."
"Solusinya?" tanya saya makin penasaran.
"Solusinya?" tanya saya makin penasaran.
"Ubah saja pemilihan anggota DPR tidak berdasarkan daerah tapi
berdasarkan wilayah nasional jadi kita bisa pilih caleg dari wilayah
manapun untuk DPR RI." jawabnya.
Bukan ide yang buruk, pikir saya. Lagi pula untuk mewakili daerah
sudah ada DPD. Jadi DPR harusnya dipilih nasional bukan berdasarkan
daerah lagi.
Menurut saya, harus ada pembenahan sistem pemilu sehingga memungkinkan sosok-sosok terbaik maju menjadi wakil rakyat. Semoga hal ini bisa menjadi pemikiran para pengurus bangsa dan PR kita lima tahun mendatang.
Menurut saya, harus ada pembenahan sistem pemilu sehingga memungkinkan sosok-sosok terbaik maju menjadi wakil rakyat. Semoga hal ini bisa menjadi pemikiran para pengurus bangsa dan PR kita lima tahun mendatang.
No comments:
Post a Comment