Wednesday 23 September 2015

Konsep Jilbab Dalam Islam ( Studi Pemikiran K.H Husein Muhammad )

 KUATKANLAH PERKARA YANG BENAR "
 JANGAN BENARKAN YANG KUAT

Status salah seorang akhwat di salah satu media sosial, yang tergabung dalam sebuah golongan agama tertentu membuat saya termenung dan berfikir, karena didalamnya terdapat unsur keterpihakan dalam suatu mazhab tertentu, hal itulah yang nantinya akan menjadi suatu hal yag baik tapi berakibat sebagai pemecah belah sebuah dien,  niatnya begitu bagus tapi politik dakwahnya saya anggap kurang pas dengan tempatnya, dan mungkin sangat kurang obyektif. Memang polemik tentang jilbab selalu menimbulkan kontroversi dalam tradisi hukum Islam. Jilbab selama ini diyakini sebagai sebuah dogma kewajiban agama oleh mayoritas umat Islam yang bersifat Qaţī. Para mufassir klasik menafsirkan jilbab adalah sebuah perintah Allah Swt dan Rasulullah Saw yang wajib dilaksanakan oleh perempuan muslimah. Jika tidak, maka termasuk dosa besar yang melanggar ketentuan hukum Tuhan.

Namun, pada era kontemporer ada sebagaian pemikir (ulama) yang justru berbeda pemikiranya dengan ulama klasik dalam menafsirkan ayat jilbab. Mereka justru meyakini jilbab hanyalah sebuah bentuk tradisi yang hanya berlaku dimasa Rasulullah Saw, yang bersifat zannī. Dimana jilbab dibentuk oleh tradisi yang melingkupinya, yaitu Arab, yang menjadi tempat diturunkannya ayat jilbab. Para pemikir kontemporer yang berpandangan jilbab hanyalah sebuah tradisi Arab diantaranya, Said al-Asymawi, Muhammad Shahrur, Qasim Amin, Fedwa al-Guindi, Quraish Shihab dan K.H Husein Muhammad. 


Di sini saya akan coba membedah pemikiran Husein Muhammad di salah satu bukunya tentang hukum jilbab dalam Islam.  buku primer dan sekunder yang menjelaskan tentang pemikiran Husein Muhammad. buku ini bersifat deskriptif analitik dengan pendekatan normatif- historis, dengan metode pendekatan uşūl Fiqh.

Husein Muhammad berpendapat kewajiban jilbab sudah tidak berlaku dalam era sekarang, namun juga tidak dilarang pemakaiannya. Husein berpendapat bahwa latar belakang historitas turunnya ayat jilbab adalah untuk membedakan antara perempuan muslimah merdeka yang terhormat dengan perempuan muslimah yang tidak terhormat dan hamba sahaya. Husein beralasan bahwa hukum muncul karena ada suatu keniscayaan yaitu adanya ‘illat. Ketika ‘illat hukum sudah tidak ada, maka hukumnya pun ikut gugur pula. Ayat jilbab sangat terkait dengan hal ini. ‘Illat hukum kewajiban jilbab adalah bertujuan untuk membedakan antara perempuan muslimah yang merdeka dengan perempuan budak. Dalam era sekarang perbudakan sudah dihapuskan di dunia dan juga Islam, maka kewajiban jilbab juga hilang seiring hilangnya perbudakan sebagai ‘illat. Namun, pemakaiannya juga tidak dilarang. Seperti halnya di Indonesia, kesopanan masyarakat Indonesia dengan Arab jelas berbeda. Relevansi jilbab dalam konteks keindonesiaan tidak pernah lepas dengan perpolitikan Indonesia.

Ajaran Islam adalah petunjuk bagi manusia (hudan lil annās) untuk mewujudkan suatu kehidupan yang penuh rahmat (rahmatan lil ‘ālamīn). Wujud yang nyata dari rahmat Allah itu ialah keselamatan, kesehatan, kewarasan, ketentraman, kesejahteraan, kebahagiaan dan kemajuan. Hal-hal inilah yang tercakup dalam arti kata hasanah dan dalam istilah hukum Islam disebut maslahah (kemaslahatan).

Hukum Islam pada hakikatnya tidak lain adalah jaminan untuk mewujudkan kemaslahatan dalam kehidupan umat manusia. Salah satu dari kemaslahatan adalah pakaian. Budaya pakaian adalah salah satu ciri peradaban manusia sebagai makhluk terhormat. Pakaian sebagai busana akan selalu disesuaikan dengan perkembangan zaman dan tradisi yang ada. Ia selalu mengalami daur ulang, berputar, bervariasi mengikuti jamannya. Dengan begitu dari pakaian yang dikenakan sering kali dapat diketahui identitas diri pemakainya. Oleh karena itu, masalah pakaian adalah masalah kemanusiaan, di dalamnya terkait harkat dan martabat manusia, yang mana berpakaian terkait dengan kewajiban umat Islam untuk menutup aurat

Pada zaman modern, begitu banyak mode pakaian sudah diciptakan orang. Mulai dari yang sempit sampai yang longgar, mulai dari bahan yang sangat sederhana sampai bahan yang sangat mahal, baik untuk kaum adam maupun kaum hawa. Terutama untuk kaum hawa, karena tubuh perempuan biasanya dijadikan objek seksual bagi lak-laki. Zaman sekarang, busana perempuan mulai dari mode yang terbuka menampakkan perhiasannya, lalu yang sangat sempit yang menonjolkan sex appeal-nya sampai kepada mode yang sangat tertutup. Islam sebagai agama yang sempurna, sejak 15 abad yang lalu sudah mengatur masalah busana ini, terutama untuk kaum perempuan.

Salah satu ajaran Islam, yang mengatur masalah busana yaitu yang banyak diklaim sebagian dari budaya Islam adalah jilbab. Ayat-ayat yang berbicara mengenai jilbab ini turun untuk merespon kondisi dan konteks budaya masyarakat, yang penekanannya kepada persoalan etika, hukum dan keamanan

Masyarakat dimana ayat itu diturunkan. Meskipun antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan persepsi terhadap penafsiran makna jilbab itu sendiri, tetapi tetap mengarah kepada sebuah bentuk pakaian. Al-Qurtubi memberikan pengertian bahwa jilbab adalah baju kurung longgar atau lebar dan lebih lebar dari selendang atau kerudung. Menurut Ibnu ‘Abbas dan Qatadah yang diikutip Abu Hayyan, jilbab sejenis pakaian yang menutup pelipis dan hidung meskipun kedua mata pemakaianya terlihat namun tetap menutup dada dan bagian mukanya

Ajaran Islam bertujuan membatasi seluruh bentuk pemuasan seksual, hanya pada lingkungan keluarga dan perkawinan dalam ikatan pernikahan, sehingga masyarakat hanya merupakan sebuah tempat untuk beraktifitas dan bekerja. Berbeda dengan Barat, dewasa ini yang membaurkan pekerjaan dengan kesenangan seksual. Islam memisahkan sepenuhnya kedua lingkungan ini.

Penekanan fungsi jilbab adalah. Pertama, untuk menutup aurat bagi perempuan untuk melindungi diri dari fitnah, baik ketika sedang bergaul dengan laki-laki yang secara hukum bukan termasuk mahramnya. Kedua, untuk menjaga dan melindungi kesucian, kehormatan, dan kemuliaannya sebagai seorang perempuan. Ketiga, menjaga identitas sebagai perempuan muslimah yang membedakan dengan perempuan lain. 

Sebenarnya perdebatan mengenai jilbab bukan hanya ada dalam Islam, akan tetapi sudah ada jauh sebelum Islam datang. Dalam kitab Taurat (Torah), kitab suci agama yahudi, sudah dikenal beberapa istilah yang semakna dengan jilbab, seperti tiferet. Demikian pula dalam kitab injil (Bible), kitab suci agama Nasrani (Kristen) juga ditemukan istilah semakna dengan jilbab, yaitu redid, zammah, re’lafah, zaif, mitpahat.

Belakangan pro-kontra seputar pemakaian jilbab kembali mencuat. Setelah Islam berkembang dan menjadi mayoritas masyarakat Indonesia, semakin banyak kaum wanita yang mengenakannya, baik dalam lingkungan formal maupun non-formal. Fenomena ini semakin meningkat ketika adanya legitimasi pemerintah yang membolehkan jilbab dipakai ditempat-tempat umum maupun sekolah-sekolah umum.  Jilbab bukan lagi fenomena kelompok sosial tertentu, tetapi sudah menjadi fenomena seluruh masyarakat. Dan sudah menyebar di tengah politisi wanita, profesional, pedagang, artis, eksekutif, dan pablik figur lainnya menggemari dan menggunakannya.

Persoalan jilbab sampai sekarang masih diperdebatkan. Berbagai macam argumen dikeluarkan untuk mendukung berbagai kontroversi pandangan tentang jilbab. Ada yang berpendapat bahwa jilbab itu wajib bagi kaum muslimat yang sudah baligh, apabila tidak, dia telah melanggar hukum Allah. Ada pula yang berpendapat bahwa jilbab hanya produk dari budaya bangsa Arab sedangkan bangsa lain bukan budayanya, seperti di Indonesia.

Pertanyaannya kenapa kepala, rambut, seorang perempuan aurat sehingga harus ditutupi sedangkan laki-laki tidak. Kenapa perempuan itu serba aurat? Kalau pertanyan ini ada kaitannya dengan seksualitas perempuan, bahwa perempuan yang tidak berjilbab itu mengundang syahwat laki-laki, sehingga harus ditutup, kenapa pula perempuannya yang harus ditutup, kenapa bukan mata laki-lakinya yang harus ditutup? Dari argumen pendek ini saja telah memperlihatkan, betapa jilbab adalah masalah yang memiliki berbagai kontroversi dan mengundang hasrat penyeleseiannya secara jernih.

Selama ini jilbab diyakini banyak pihak telah menjadi simbol keislaman. Alasannya, selain termasuk model busana perempuan yang diperintahkan agama, juga diyakini sebagai wujud ketegaran sikap perempuan Islam dalam menghadapi penindasan patriarkhi, kapitalisme, dan globalisasi. Peneliti melihat, makna

jilbab telah disalah pahami banyak pihak, baik kalangan Islam maupun diluar Islam. Di kalangan Islam sendiri, sering dijumpai keyakinan tentang superioritas ketakwaan perempuan berjilbab dari pada yang tidak berjilbab. Di kalangan luar, kelompok berjilbab sering dianggap sebagai kalangan fundamentalis yang militan, radikal, dan anti-Barat, setidaknya dua kemungkinan itu yang jadi alasan.

Di penghujung lain ada yang menganggap jilbab dan lebih umum lagi hijab adalah wujud dari eksploitasi kaum laki-laki terhadap perempuan. Jilbab semakin mengukuhkan kuasa laki-laki atas perempuan. Jilbab adalah “perpanjangan” nafsu laki-laki untuk “memenjara” kaum perempuan.

Dari penjelasan di atas, saya ingini mencoba menyelidiki dan menguak tabir apa saja sesungguhnya konsep jilbab dan bagaimana hukumnya dalam Islam, apakah jilbab hanya sebagai pelengkap menutup aurat, sekedar mode pakaian, atau hanya untuk mengekang kaum perempuan untuk beraktifitas, karena dalam era sekarang masih banyak perempuan yang belum (akan) mengenakan jilbab, jika jilbab dijadikan acuan keimanan dan ketakwaan seseorang, maka perempuan yang tidak berjilbab bisa diangap belum mempunyai ketakwaan yang sempurna (hampir), meskipun dia rajin beribadah, bersedekah, dan berbuat baik, hal ini juga pernah saya sampaikan dalam sebuah seminar disalah satu kampus swasta di kota sumbu pergerakan ini pada saat saya di panel dengan salah satu penulis buku yang cukup ber merk di zamanya.

Dalam kaitannya dengan penafsiran, banyak para ulama atau pemikir salaf yang menghukumi bahwa aurat wanita adalah semua tubuh kecuali wajah dan tangan, maka dari itu pemakaian jilbab adalah salah satunya.

Husein Shahab berpendapat jilbab adalah satu hukum yang tegas dan pasti yang seluruh wanita muslimah diwajibkan Allah untuk mengenakannya. Melanggar atau tidak mengakui berarti mengingkari salah satu hukum Islam yang esensial. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Bakar bin ‘Abdullah Abu Zaid. Bahkan tokoh yang kedua ini lebih ekstrim lagi dalam memahami persoalaan pemakaian jilbab ini. Dia bahkan menganggap bahwa wajah dan telapak tangan wajib untuk ditutup ketika berada di luar rumah atau bertemu dengan non muhrimnya.

Namun di sisi lain, ada sebagian ulama kontemporer justru pandangannya berbeda dengan mayoritas ulama salaf yang mewajibkan pemakaian jilbab, pandapat sebagian ulama kontemporer yang dianggap liberal justru mengatakan bahwa mamakai jilbab itu tidak wajib. Diantaranya ulama kontemporer adalah Muhammad Sa’id al-Asymawi yang berpendapat bahwa jilbab itu bukan kewajiban. Bahkan tradisi berjilbab di kalangan sahabat dan tabi’in lebih merupakan keharusan budaya daripada agama. Karena itu, masalah jilbab ini tidak memiliki konsekuensi iman-kafir, selama dasarnya tetap kesopanan dan kehormatan.

Senada dengan K.H Husein Muhammad, dia beragumen pemakaian jilbab itu adalah, untuk membedakan antara perempuan merdeka dengan budak (amat). Jika jilbab dijadikan ciri khas untuk membedakan perempuan budak dengan merdeka, sementara perempuan budak dalam masyarakat sekarang tidak dijumpai lagi, kecuali perbudakan dalam bentuk lain, maka pemakaiannya pada saat ini rasanya tidak menjadi keharusan lagi, tetapi juga tidak harus dilarang.

Husein dianggap sebagian kalangan termasuk salah satu pemikir yang ingin menyumbangkan gagasannya tentang pembelaan kepentingan kaum perempuan terutama di Indonesia. Dia dianggap sebagai salah satu feminis Islam yang ada di Indonesia, bahkan disejajarkan dengan feminis lainnya yang ada di Indonesia diantaranya; Nasaruddin Umar dan Masdar Farid Mas’udi.

Sebenarnya saya mungkin sudah cukup tuntas dalam kajian jilbab ini, dalam pembahasan mengenai konsep jilbab tidak akan pernah lepas dari pembicaraan mengenai perempuan dan kedudukannya.

Sedangkan kajian tentang kedudukan perempuan dalam Islam termasuk hal yang sangat urgen dan sensitif; dimana persoalan perempuan termasuk persoalan dalam masyarakat, sedang persoalan masyarakat adalah juga persoalan umat dan Negara.

Sebenarnya pembahasan mengenai jilbab, sudah banyak dilakukan oleh ulama baik dalam bentuk literatur klasik maupun modern, dengan menggunakan metode-metode yang berbeda.

Fedwa El-Guindi dalam bukunya “Jilbab antara Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan.”Mengatakan bahwa sebuah praktik yang dapat disebut berjilbab, atau yang mirip dari segi bentuk dan fungsinya, telah eksis dalam seluruh kebudayaan Pra-Islam. Sepanjang yang diketahui, Islam tidak menciptakan atau memperkenalkan kebiasaan berjilbab, jilbab untuk laki-laki telah ada di wilayah itu. Jadi jilbab bukan hanya merupakan pakaian yang dipakai oleh wanita an sic. Budaya ini telah ada sebelum Islam- dalam budaya Hellenis, Judaisme, Bizantium dan Balkan. 

Muhammad Nasiruddin al-Albany dalam kitabnya “Jilbab Wanita-Muslimah,” dan “a-Radd al-Mufhim,” dalam masalah cadar, dia menegaskan bahwa cadar tidaklah wajib, yang wajib adalah memakai jilbab, dengan membuat syarat jilbab yang sesuai syari’at. Nasiruddin Al-Albany juga membeberkan bantahannya terhadap kelompok yang mewajibkan cadar.

Sedangkan M. Quraish Shihab menulis buku yang berjudul “Jilbab Pakaian Wanita Muslimah Pandangan Ulama Masa lalu dan Cendekiawan Kontemporer”, bahwa fungsi pakaian adalah sebagai pembeda antara seseorang dengan selainnya dalam sifat dan profesinya. Sepakat ulama menyatakan bahwa perintah berjilbab merupakan tuntunan kepada istri-istri Nabi serta kaum muslimat. Sementara Ulama kontemporer memahaminya hanya berlaku pada zaman Nabi saw. Di mana ketika itu ada perbudakan dan diperlukan adanya pembeda antara mereka dan wanita-wanita merdeka, serta bertujuan menghindarkan gangguan lelaki usil. Jika tujuan tersebut telah dapat dicapai dengan satu dan lain cara, maka ketika itu pakaian yang dikenakan telah sejalan dengan tuntunan agama.

Abu al-A’la Maududi dalam bukunya “Al-Hijab” menjelaskan bahwa jika orang-orang memperhatikan perintah tentang jilbab ini dengan seksama, maka akan diperoleh kesimpulan bahwa jilbab yang diperkenalkan Islam bukanlah kebiasaan zaman Jahiliyah. Tetapi, merupakan suatu aturan yang rasional.

Dalam tataran teks, al-Qur’an seringkali dipahami oleh sebagian kalangan sebagai teks yang tidak bisa dikomunikasikan dengan realitas. Selalu ada ketegangan antara “yang langit” dan “yang bumi,” selalu ada upaya memisahkan antara “yang tetap” dan “yang berubah”. Yang tetap dianggap final, sedangkan yang berubah harus mengacu pada yang tetap.

Di sisi lain, al-Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan kepada Muhammad saw sebagai pembawa risalah melalui perantara jibril, pemahaman yang demikian menuntun pada teorisasi wahyu yang masuk dalam bingkai teori komunikasi. Allah swt diartikan sebagai “Tuhan yang berbicara dengan hamba-Nya”. Proses bicara Tuhan dengan manusia dipahami dalam kerangka konsep linguistik, Tuhan sebagai komunikator aktif, sementara Muhammad merupakan pihak yang pasif, dan pembicaraan tersebut melibatkan medium, atau kode komunikasi yang berupa bahasa Arab. Model komunikasi yang melibatkan aspek linguistik tersebut kemudian menjadi pijakan pemahaman al-Qur’an sebagai 

Untuk memahami al-Qur’an dengan benar dan lengkap, seharusnya memahami posisi nabi Muhammad dengan al-Qur’an yang dibawanya; dimana di satu sisi al-Qur’an sendiri memproklamasikan bahwa nabi Muhammad adalah nabi terakhir (khatamu al-nabiyīn). Kedua, bahwa kehadiran nabi Muhammad adalah untuk seluruh manusia, semesta alam, seluruh jagad (hudan li al-nās). Konsekuensi dari status nabi Muhammad sebagai khatamu al-nabiyīn adalah, bahwa ajaran nabi Muhammad diharapkan harus selalu relevan sepanjang zaman, harus selalu mampu menjawab seluruh persoalan di segala zaman, sejak nabi Muhammad diutus tiga belas abad yang lalu sampai nanti dunia kiamat.

Al-Qur’an sebagai teks yang turun ke “bumi” adalah sabda Tuhan yang merupakan norma ideal Islam, dan diberikan untuk menjadi pedoman bagi umat manusia masa lalu, sekarang dan yang akan datang.Tentunya menjadi teks yang terbuka bukan tertutup, dalam artian teks akan (dan selalu) berdampingan kepada konteks yang mengirinya, bukan sebaliknya. Al-Qur’an adalah Firman Tuhan yang harus selalu relevan dalam menjawab persoalan di segala zaman, meminjam istilah Amin Abdullah adalah bersifat normatif dan historis, sejalan dengan Masdar F Mas’udi yang membagi nas yaitu nas normatif-universal dan nas praktis-temporal. Pembedaan ini supaya kita tidak terjebak untuk memutlakkan semua ketentuan yang ada disana. Ajaran yang bersifat universal dan mengatasi dimensi ruang dan waktu (mutlak) itulah yang disebut oleh al-Qur’an sendiri (Ali Imran (3): 7) dengan istilah muhkamat, atau meminjam bahasa uşūl al-fiqh disebut qaţī. Sementara yang bersifat juz’iyyah (partikular dan teknis-operasional), yang terkait dengan ruang dan waktu, disebut mutasyābihāt atau zannī. 

Ajaran qaţī adalah ajaran-ajaran agama yang berupa nilai-nilai universal, fundamental. Diantaranya tentang baik-buruk, dan halal-haram. Sedangkan ajaran zannī ini tidak mengandung kebenaran atau kebaikan pada dirinya sendiri, tidak selfevident dalam bahasa filasafatnya. Karena itu berbeda dengan ajaran zannī yang terikat oleh ruang dan waktu, oleh situasi dan kondisi.

Muhammad Alwi al-Maliki mengatakan bahwa nas (dalil) ada yang bersifat qaţī (pasti/normatif) dan ajaran dari teks tersebut tidak boleh ditentang atau diragukan, jadi bebas dari dimensi ruang dan waktu, biasanya nas qaţī bisa disebut sebagai nas muhkamat. Sedangkan nas yang terikat/ bergantung kapada waktu yaitu nas (dalil) bersifat zannī. Maka nas yang zannī inilah sebenarnya berlaku dan terbuka kepada konsep ijtihad.

Menurut Dr. Husein Mu’nis, seorang pakar sejarah dari Mesir, al-Qur’an memang bersumber dari Tuhan (the world of author), tapi tujuan akhirnya adalah untuk kemaslahatan manusia (the world of reader) belaka

Manusia diberi otoritas dalam mengkaji dan menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kemampuannya, Karena seorang reader tidak akan melampaui maksud tujuan Tuhan. Nas-nas al-Qur’an sangat terbatas, dan turun dalam ruang dan waktu terbatas pula, sementara aspek kehidupan manusia terus berkembang dan bercabang. Karenanya, al-Qur’an seperti terbelenggu atau membeku, tanpakreasi ijtihad manusia sebagai reader.

Sikap sementara umat Islam yang mensikapi teks secara “apa adanya”, tanpa kreatifitas ijtihadi tidak hanya berdampak negatif pada agama Islam sendiri; agama akan kehilangan elan vitalnya, tetapi juga bertentangan dengan semangat Islam sendiri sebagai agama yang dinamis dan progress.

Seiring dengan perubahan masyarakat, ijtihad haruslah senantiasa digerakkan untuk melakukan perumusan dan pembacaan baru terhadap problematika yang muncul, karena harus kita akui bahwa hasil ijtihad Ulama’ klasik banyak yang tidak relevan dengan masa sekarang. Sejalan dengan yang diungkapkan oleh Sahal Mahfudz bahwa ajaran Syari’at yang tertuang dalam fiqih sering terlihat tidak searah dengan bentuk kehidupan praktis sehari-hari, hal ini pada hakikatnya disebabkan oleh pandangan fiqih yang terlalu formalistik.

Sehingga ijtihad haruslah tetap ada karena perbedaan ruang, waktu dan konteks yang mana akan menghasilkan produk hukum yang berbeda pula. Pembagian nas normatif-universal dengan nas praktis temporal di atas, nas yang pertama bersifat universal dan bebas dari dimensi ruang dan waktu, maka nas yang kedua sangat bergantung kepada ruang dan waktu. Sehingga dalam epistemologi hukum Islam muncul kaidah:

 نﺎﻜﻣﻻا و نﺎﻣزا ﺮﻴﻐﺘﺑ مﺎﻜﺣﻻا ﺮﻴﻐﺗ ﺮﻜﻨﻳ ﻻ          

Dalam Ijtihad, perbedaan konteks ruang dan waktu akan menghasilkan produk hukum yang berbeda pula. Selain itu, sebuah produk hukum akan kehilangan spiritnya jika ia gagal menyerap nilai-nilai baru dan tidak adaptif terhadap perubahan. Dalam usul fiqh juga kita temukan kaidah yang termasuk dalam lima kaidah pokok yaitu:
  ﺔﻤﻜﺤﻣ ةدﺎﻌﻟا

Berarti adat, baik yang bersifat umum ataupun bersifat khusus, dapat dijadikan dasar untuk menentukan suatu hukum. Sudah jelas percampuran antara pemikiran keagamaan dengan tradisi masyarakat. Di lihat dari akar sejarah jilbab, dimana masyarakat Pra-Islam di Arab sudah mengenal jilbab. Akibatnya banyak yang kesulitan mengungkap akar masalah dan hakikatnya. Sebagian akhirnya ada yang menganggap bahwa jilbab adalah kewajiban agama.Sedangkan yang lain menganggap hanya sekedartradisi atau slogan politik pada waktu itu. Akan tetapi semuanya beragumen berdasarkan firman Allah swt, 

وﻗﻞ ﻟﻠﻤﺆﻣﻨﺖ ﻳﻐﻀﻀﻦ ﻣﻦ أ ﺑﺼﺮهﻦﱠ و َﻳﺤﻔَﻈْﻦ ﻓﺮوﺟَﻬُﻦﱠ وﻻ ﻳﺒﺪﻳﻦ زﻳﻨﺘَﻬﻦﱠ إﻻ ﻣﺎﻇﻬﺮﻣﻨﻬﺎ وﻟْﻴﻀْﺮِﺑْﻦَ ﺑﺨﻤﺮهﻦﱠ ﻋﻠﻰ ﺟﻴﻮﺑﻬﻦﱠ وﻻ ﻳﺒﺪﻳﻦ زﻳﻨﺘﻬﻦﱠ إﻻ ﻟﺒﻌﻮﻟﺘﻬﻦﱠ أو ءاﺑﺎﺋﻬﻦﱠ أو ءاﺑﺎء ﺑﻌﻮﻟﺘﻬﻦﱠ أو أﺑﻨﺎﺋﻬﻦﱠ أو أﺑﻨﺎء ﺑﻌﻮﻟﺘﻬﻦﱠ أو إﺧﻮﻧﻬﻦﱠ أو ﺑﻨﻰ إﺧﻮﻧﻬﻦﱠ أو ﺑﻨﻰ أﺧَﻮﺗِﻬﻦﱠ أو ﻧﺴﺂﺋﻬﻦﱠ أو ﻣﺎ ﻣﻠﻜﺖ أﻳﻤﻨُﻬُﻦﱠ أوِ اﻟﺘّﺒﻌﻴﻦ ﻏﻴﺮِ أوﻟِﻰ اﻹرﺑَﺔِ ﻣﻦ اﻟﺮِﺟَﺎل أواﻟﻄﻔْﻞِ اﻟﺬﻳﻦ ﻟﻢ ﻳﻈﻬﺮوا ﻋﻠﻰ ﻋﻮرت اﻟﻨﺴﺂءِ وﻻ ﻳﻀْﺮِﺑْﻦَ ﺒﺄرﺟﻠِﻬِﻦﱠ ﻟِﻴُﻌْﻠَﻢ ﻣﺎ ﻳُﺨْﻔِﻴْﻦَ ﻣﻦ زﻳﻨﺘِﻬِﻦﱠ وﺗﻮﺑﻮا إﻟﻰ اﷲ ﺟﻤﻴﻌﺎ أﻳﻬﺎ اﻟﻤﺆﻣﻨﻮن ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﻔﻠﺤﻮن 49

Dan saya akan bantah jika ada orang yang berargument bahwa jilbab itu ada dan dipakai setelah turun ayat tentang jilbab, bisa kita lihat ternyata bukan hanya orang arab saja yang berjilbab tapi kita lihat agama Nasrani pun banyak wanita yang berjilbab, sudah jelas bahwa memang jilbab bukan aturan hukum dari sebuah agama tapi lebih cenderung ke dalam sebuah adat atau budaya tertentu.

Lalu di kuatkan dengan firman Allah swt:

ﻳﺄﻳﻬﺎ اﻟﻨﺒﻲ ﻗﻞ ﻷزواﺟﻚ وﺑﻨﺎﺗﻚ وﻧﺴﺎء اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻳﺪﻧﻴﻦ ﻋﻠﻴﻬﻦ ﻣﻦ ﺟﻼﺑﻴﺒﻬﻦ ذاﻟﻚ أدﻧﻰ ان ﻳﻌﺮﻓﻦ ﻓﻼ ﻳﺆذﻳﻦ وآﺎن اﷲ ﻏﻔﻮرا رﺣﻴﻤﺎ50

Dari penafsiran dua ayat tersebut muncul pendapat diantara para ulama klasik yaitu; pertama, menafsirkan bahwa memakai jilbab sebagai bagian dari penutup aurat adalah wajib bagi perempuan, yaitu seluruh tubuh tanpa terkecuali.
Kedua, yaitu pendapat mayoritas para ulama yang mana batas aurat perempuan yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.

          Pada era saat ini ulama kontemporer justru banyak yang berbeda dalam menafsirkan kedua ayat tersebut, mereka beranggapan bahwa perintah mengulurkan jilbab pada waktu itu hanya untuk membedakan status sosial masyarakat antara wanita merdeka dengan wanita hamba sahaya (budak), dan juga dalam tradisi agama samawi sudah ada istilah jilbab bagi perempuan meskipun berbeda konsep. Jadi pada dasarnya para Ulama kontemporer beranggapan bahwa pemakaian jilbab hanya sebagai tradisi bangsa Arab belaka. Akan tetapi meskipun para ulama klasik maupun kontemporer berbeda pendapat dalam menafsirkan jilbab, mereka semua berpendapat didasarkan kepada al-Qur’an dan Hadis.
Berdasarkan penjelasan dan kerangka berpikir dalam menjawab masalah yang ada dalam kajian ini, maka diperlukan kaidah yang sudah disebutkan di atas, di samping itu juga sesuai dengan kaidah yang berbunyi:
ﺎﻣﺪﻋو ادﻮﺟو ﻪﺘﻠﻋ ﻊﻣ روﺪﻳ ﻢﻜﺤﻟ ا

Yaitu bahwa suatu hukum yang ada itu karena adanya illah-nya, maka manakala illah itu hilang maka tidak berlakulah hukum tersebut.

Jika di lihat dari segi latar belakang turunnya ayat dan permaslahan teks suatu lafadz, sesuai dengan kaidah :
ﻆﻔﻠﻟا مﻮﻤﻌﺑ  ﺐﺒﺴﻟا صﻮﺼﺨﺑ ةﺮﺒﻌﻟا

Kaidah pertama bermakna suatu hukum dianggap adalah dengan khususnya sebab turunnya ayat , bukan umumnya suatu lafadz. Sedangkan kaidah yang kedua :

 ﺐﺒﺴﻟا صﻮﺼﺨﺑ  ﻆﻔﻠﻟا مﻮﻤﻌﺑ ةﺮﺒﻌﻟا

Berbeda dengan kaidah pertama, sebaliknya kaidah kedua bermakna bahwa suatu hukum dianggap karena umumnya suatu lafadz, bukan khususnya suatu sebab.

Di sini saya mencoba menjelaskan secara universal saja, tanpa memihak dari suatu golongan agama atau mazhab tertentu, di harapkan ini adalah sebuah kajian ilmu yang bisa diterima banyak orang dengan keyakinannya masing-masing, tanpa ada pengkafir-kafiran atau sesat menyesatkan, hanya Allah yang maha tau dimana kebaikan yang benar-benar baik dan buruk dengan seburuk buruknya. wallahu a'lam bishowab.

No comments: