Sunday 11 January 2015

Intelektual Spiritual dan Sosial Sebagai Gaya Mahasiswa

 Permasalahan dialektika saya tadi malam dengan salah satu mahasiswa suatu organ internal, yang menemukan kesulitan untuk menuai dan menguraikan permasalahn yang ada untuk menjadi tujuan dan fungsi dari sebuah organisasi, kembali ingin rasanya untuk saya tulis, mungkin sudah menjadi masalah yang cukup lama dan sudah jadi bagian kultur, tapi tidak ada salahnya jika saya ingin mencoba membaut esensi itu kembali.

Mahasiswa mempunyai peranan majemuk. Di salah satu sisi, ia harus berupaya menjadi pribadi yang sukses. Di sisi yang lain, ia adalah mahluk sosial yang harus berinteraksi dengan orang lain. Untuk menjadi pribadi yang sukses maka ia harus belajar mencapai target-target pribadi, misalnya lulus tepat waktu, lulus dengan IP yang cukup, mempunyai ketrampilan dan keahlian di bidangnya, serta memiliki keseimbangan kecerdasan di semua aspek baik intelektual, emosional maupun spiritual. Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang bersifat matematis, analitis, terstruktur. Kecerdasan emosional berarti kemampuan untuk mengendalikan diri (emosi) ketika berinteraksi dengan orang lain/ ketika menyikapi suatu kejadian serta kemampuan untuk berpikir lateral (kreatif). Sedangkan kecerdasan spiritual mengandung makna tentang penghayatan dan pemahaman yang mendalam tentang hakekat hidup, kebahagiaan dan keberhasilan sejati.


Sedangkan dalam berinteraksi sosial, mahasiswa memiliki posisi strategis di tengah-tengah piramida lapisan struktur masyarakat. Dengan lapisan masyarakat di bawahnya, mahasiswa harus mampu menyalurkan aspirasi dan melakukan pemberdayaan masyarakat. Dengan lapisan sosial di atasnya (birokrat dan praktisi profesional), mahasiswa dituntut bisa melakukan fungsinya sebagai moral force dan iron stock. Moral force berarti seorang mahasiswa harus berani mengkritisi kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak terhadap kebenaran, idealisme dan hati nurani. Sedangkan sebagai iron stock mengandung pesan bahwa mahasiswa adalah generasi masa depan yang nantinya pasti akan menggantikan orang-orang, posisi-posisi dan jabatan-jabatan yang ada sekarang. Di sini seorang mahasiswa perlu memiliki kemampuan bersosialisasi, manajemen dan berkomunikasi.

Tugas individu dan tugas sosial mahasiswa yang sedemikian komplek tersebut niscaya butuh bekal, butuh ilmu, dan butuh pembelajaran. Sebagaimana sebuah ungkapan bijak: “Ingin sukses dunia, ada ilmunya. Ingin sukses akherat, ada ilmunya. Dan untuk sukses dunia akherat juga ada ilmunya”. Masalahnya sekarang adalah kebutuhan ilmu yang sedemikian banyak itu ternyata hanya sebagian kecil saja yang bisa dipenuhi dari bangku kuliah. Itupun belum tentu maksimal hasilnya. Kurikulum perkuliahan di kelas sekitar 80 % hanya memenuhi kebutuhan akademik (hardskill). Padahal menurut survei Dikti di tahun 2006 tentang faktor penentu keberhasilan mahasiswa menunjukkan bahwa kontribusi hardskill hanya 20 %. Yang terbesar adalah softskill, 40 %. Yang kedua adalah networking sebesar 30 %. Dan sisanya sekitar 10 % adalah ketersediaan finansial.

Nah sekarang pertanyaannya cukupkah anda kenyang dengan intelektual spiritual saja ???
Penting tidak hidup dalam organisasi ?

Dari pertanyaan di atas pasti akan muncul berbagai jawaban dan jenis mahasiswa inilah yang memunculkan konsekuensi sulitnya menemukan orang-orang yang intens untuk mengikuti organisasi kemahasiswaan. Selain itu latar belakang mahasiswa tersebut menyebabkan motivasi untuk melakukan organisasipun menjadi berbeda-beda. Ditambah lagi adanya tekanan psikologis dari orang tua dan lingkungan sosialnya menyebabkan mereka lebih memfokuskan pada kuliah dibandingkan berinteraksi dalam suatu organisasi. Kalaupun ikut dalam organisasi mereka menjadi “setengah hati”, menapakkan kaki kiri pada organisasi dan kaki kanan untuk berkonsentrasi pada kuliah. Oleh karena itu sulit bagi organisasi kemahasiswaan untuk memunculkan prestasi yang hebat dalam bidang organisasi maupun akademis. Hal ini nampak sekali dari partisipasi dalam orkem yang hanya sekedar mencantumkan “nama”, namun sepi akan kreasi dan prestasi yang memadai. Akhirnya Orkem hanya sekedar sebuah “playgroup”, kumpulan anak-anak mahasiswa untuk bermain-main, kumpul-kumpul, nyanyi-nyanyi, dari pagi sampai pagi berikutnya.

Apabila hal ini berlangsung terus menerus, maka lama kelamaan akan mengarahkan pada: tidak adanya proses belajar sosial untuk mencapai tingkat idealisme sebagai mahasiswa; hilangnya sense untuk berorganisasi dengan baik, yang terkait dengan keteraturan; mandulnya improvement terhadap organisasi atau tidak adanya prestasi bisa diandalkan, hanya sekedar menjalankan kebiasaan dari generasi sebelumnya; berorganisasi hanya sekedar “pelengkap” untuk mencari teman, lebih menekankan afektif dalam berorganisasi bukan pada sesuatu yang sifatnya kognitif; serta tumpulnya sensitivitas sosial, kurang responsif terhadap berbagai persoalan di luar yang terkait dengan kajian ilmunya. Kalau semua hal tersebut mengalami repetisi (pengulangan), tentunya akan menjadi sesuatu yang kontradiktif dari pencapaian tujuan berorganisasi yang sebenarnya.

No comments: