Wednesday 30 April 2014

Nahkoda Peradaban


Oleh : Yopie Kristiyanto

    “Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu   merasa nyaman kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [Ar-Rum 21].

Setiap orang pasti ingin memiliki keluarga yang sakina dan menguasai dasar-dasar tsaqofah Islam melalui pengalaman hidup masing-masing, dan keluarga adalah Pondok Tarbiyah yang pertama bagi anak-anak nya kelak, ketika kita dapat memberikan sebuah keluarga yang memberikan ilmu tarbiyah pertama yang dapat mebina dan dapat melahirkan anak-anak yang berkualitas juga dan tangguh dalam memperjuangakan agama Islam ini.

Keluarga adalah tempat pertama di mana untuk menjaga kebiasaan, cinta, cita dan usaha yang akan membangun peradaban  dan semua itu pasti akan dibutuhkan nahkoda yang berkualitas lagi untuk menyonsong peradaban untuk proses pendewasaan anak-anak kita yang lebih baik, nahkoda yang tangguh pasti akan dapat menjalankan kapal dengan baik meskipun begitu besar badai yang akan dilalui.

Tapi , jika kita lihat potret generasi sekarang yang justru didominasi oleh tingginya angka kejahatan, depresi, kemalasan, gaya hidup konsumtif dan hedonis. Masih layakkah kita bermimpi bahwa anak-anak akan jadi tulang punggung kejayaan Islam dan ditangan mereka-lah kewajiban atas kesejahteraan umat ini diembankan?

Namun pribadi saya yakin bahwa kejayaan Islam akan dapat dirasakan anak-anak kelak, ketika saya dapat menjadi nahkoda peradaban yang tangguh, dan menjadi guru dikampung tarbiyah pertama yang akan mereka kenal, ya bisa dikatakan mungkin sangat perlu banyak epstimologi nilai yang harus dipelajari, ketika membangun sebuah peradaban adalah hal yang begitu sulit, Islam mempunyai semua itu mimpi, cinta, cita dan usaha.

Ya Suami adalah nahkoda Islam menetapkan bahwa suami adalah nakhoda rumah tangga. Ar Rojulu ro’in alaa ahlihi wa huwa mas’ulun an roiyyatihi. Laki-laki/suami adalah pemimpin keluarganya dia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. (HR Bukhori Muslim dalam lafazh Muslim).

Allaw SWT berfirman dalam AQ. Nisa:34 Arrijaalu qowwaamuuna alan nisaa: Laki-laki itu adalah pemimpin kaum perempuan. Jadi untuk lingkup terkecil, suami adalah pemimpin dalam keluarga. Dia harus menjadi nakhoda kapal yang berlayar. Siapa awaknya? Tentu tergantung    siapa yang menjadi bagian dari rumah tangganya. Istrinya, anak-anaknya, mungkin orang tua yang ada dalam tanggungannya, mungkin kerabatnya yang tidak mampu dan menumpang di rumah itu, mungkin anak-anak yatim yang dipeliharanya. Semakin banyak anggota keluarganya, maka suami harus semakin piawai menjalankan  biduk/kapal rumah tangganya ini. 

Setiap Nahkoda pasti mempunyai seorang Asisten Engineer, disini ibu juga tak kalah pentingnya ketika kapal ingin berlayar agar kapal tetap terjaga dan tetap tangguh dan menjaga agar tidAk karam di samudra yang penuh dengan kultur predator penghambat peradaban untuk para penumpang kapal di dalamnya, khusunya untuk penyonsong peradaban yaitu anak-anak yang akan kita buai dengan kasih sayang yang kita bina dengan maderasah keluarga.

Alikta Hassanah dalam Tulisanyya, Menurut Yusuf Al Qardhawi dalam Fiqih Wanita menyatakan bahwa Rumah adalah kerajaan besar bagi wanita. Disini wanita sebagai pengelolanya, istri dari suaminya, partner hidupnya, pelipur laranya, dan ibu bagi anak-anaknya. Islam mempersiapkan profesi wanita untuk mengatur rumah dan memelihara urusan suami dan mendidik anak-anak dengan baik sebagai bentuk ibadah dan jihadnya. Sehingga, setiap system yang beupaya mencabut wanita dari ‘kerajaannya’ dan merampas suami dan buah hatinya atas nama ‘kebebasan’ adalah musuh baginya. Beliau menambahkan, Islam mengizinkan wanita bekerja diluar rumah selama pekerjaannya itu sesuai tabiat, spesialisasi, dan kemampuannya serta tidak meghilangkan naluri kewanitaannya.

Menjadi Nahkoda peradaban dalam analogi bukan hanya sekedar dapat membawa kapal dengan aman dan baik hingga sampai pada suatu daratan yang dituju, " bukan hanya sekedar mendidik anak dapat menulis, membaca, memperoleh nilai baik dalam sekolahnya, dan mendapatkan banyak penghargaan atau piagam dari sebuah akademisi pendidikan formal saja, tapi bagaiman mereka nanti dapat kembali membawa kapal ini nantinya ketika nahkoda kapal'y meninggalkannya, dan menuju sebuah peradaban yang lebih baik dengan segala tantangan yang lebih sulit juga membentuk sebuah peradaban kembali ketika, daratan tujuannya sudah tidak lagi sesuai dengan tarbiyah yang diajarkan dulunya.

Karena Anak adalah penerus sebuah proses atau perjuangan dalam pelayaran panjang yang penuh dengan dialektika sistem yang tak pernah kita tahu dan menyesatkan, nilai-nilai Islam yang salah yang perlu untuk di rajut dengan benang-benang buaian kasih sayang.

Begitu banyak orang untuk mencoba menjadi nahkoda peradaban, tapi hanya sedikit yang sampai pada daratan yang di tuju tidak merubah optimisme saya untuk menjadi salah satu nahkoda peradaban tersebut, saya ingat ketika saya menjadi salah satu nara sumber dalam sebuah basic trining di salah satu sekolah menengah pertama di boyolali. ada salah satu siswa pertanya kepada saya, 

Bagaimana menjadi seorang anak yang dapat menyongsong peradaban  ??

Jujur saya begitu sontak dan kaget, dan langsung berkaca pada diri saya pribadi, apakah saya hari ini sudah bisa menjadi anak peradaban? ya pertanyaan anak itu begitu sangat membuat saya mungkin bisa meneteskan air mata di tempat itu, saya cuma dapat menjawab 

" Ini mungkin hanya salah satunya ketika kalian semua ingin menjadi seorang anak peradaban, kalian harus patuh pada nahkoda kalian, bapak kata saya, berbaiktilah pada beliau, jadilah kalian awak kapal yang tangguh"

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergauilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Lukman: 15)

Menurut Selvi Ada tiga persyaratan yang harus dipenuhi, agar seorang anak bisa disebut sebagai anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya: 

  1. Lebih mengutamakan ridha dan kesenangan kedua orang tua daripada ridha diri sendiri, isteri, anak, dan seluruh manusia.   
  2. Menaati orang tua dalam semua apa yang mereka perintahkan dan mereka larang baik sesuai dengan keinginan anak ataupun tidak sesuai dengan keinginan anak. Selama keduanya tidak memerintahkan untuk kemaksiatan kepada Allah.  
  3. Memberikan untuk kedua orang tua kita segala sesuatu yang kita ketahui bahwa hal tersebut disukai oleh keduanya sebelum keduanya meminta hal itu. Hal ini kita lakukan dengan penuh kerelaan dan kegembiraan dan selalu diiringi dengan kesadaran bahwa kita belum berbuat apa-apa meskipun seorang anak itu memberikan hidup dan hartanya untuk kedua orang tuanya.
Untuk menjadi Ayah peradaban kita dapat belajar dar Rasululla SAW, beliau adalah  penyabar dan tidak suka marah kepada anak kecil, tapi bukan berarti menghilangkan sifat tegas beliau dalam mendidik anak. Rasulullah tidak segan menegur anaknya apabila menyalahi adab yang dibenarkan Islam. 

Beliau pernah menegur Umar bin Abu Salma “Hai nak! Bacalah basmalah, menyuaplah dengan tangan kananmu dan makanlah apa yang ada didekatmu!” dari Aisyah HR. Bukhari dan Muslim
 
Beliau bahkan pernah bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, tentu Muhammad akan memotong tangannya.” HR. Bukhari. Melalui contoh di atas kita mengetahui sebagai seorang ayah kita patuh dekat dengan anak akan tetapi tidak menghilang ketegasan dan objektivitas tetang kebenaran.

Untuk Calon-calon Nahkoda semoga kita semua dapat lebih optimis akan menjadi Nahkoda Peradaban, dengan menjaga aqidah, ibadah, kokohkan akhlaq, luaskan wawasan, kuatkan fisik, dan menjaga nafsu kefanaan, Insaallah dengan itu Kapal kita akan dapat bersandar pada daratan tujuan kita yaitu paradaban.


" Sungguh manusia yang lebih baik adalah
 senantiasa melakukan perbaikan diri "





No comments: