Wednesday 30 April 2014

Fajarku Menjemput May Day


Oleh : Yopie Kristiyanto


" Naikkan Upah Buruh.

Hapuskan Sistem Kerja Kontrak dan Outsourcing

Berikan Jaminan Kebebasan berserikat

Jadikan 1 Mei Sebagai hari Buruh dan Libur Nasional

Hentikan Perampasan Upah, Tanah, Kerja "

Kata ini yang sempat menarik perhatian banyak orang, ketika beberapa kelompok buruh di Indonesia yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) melakukan orasinya di jalan-jalan ibu kota 2 tahun yang lalu, ya hal itu wajar karena mereka merasa upah kerja mereka sebagai buruh tidak layak untuk memenuhi kehidupan konsumtif mereka.
Sama hal-nya dengan saya yang bisa dikategorikan saya adalah seorang buruh yang bekerja di perusahaan milik orang lain dengan segala tuntutan perusahaan dan berbagai aturan-aturan yang terkadang begitu sangat mengikat, yang seharusnya dihari ini saya mempuyai hak untuk tidak mengerujutkan jidat dan menahan rasa kantuk yang begitu agak menyiksa, karena di May Day hari ini justru malah lembur.
May Day jatuh pada tanggal 1 mei yang diakui dan dijadikan sebagai hari buruh se-Dunia, saya pribadi sebagai mahasiswa yang diakui sebagai kaum cendikia muda memberikan sebuah pandangan tentang May Day sendiri, tak tau apakah May Day di tahun ini akankah seperti tahun-tahun sebelumnya, mungkin juga akan banyak gerakan buruh bersama gerakan rakyat disektor lainnya penuh antusias menyiapkan peringatan hari buruh sedunia (May Day) sebagai tonggak perjuangan buruh diseluruh penjuru dunia.
Tidak terkecuali di Indonesia selalu dirayakan secara meriah dengan berbagai bentuk kegiatan oleh kaum buruh khususnya dan rakyat disektor lain pada umumnya guna memperjuangkan aspirasi dan tuntutan dari buruh dan rakyat secara umum. Karenanya, materi propaganda ini disusun untuk menyatukan pemahaman, pandangan dan sikap atas bentuk-bentuk ketertindasan rakyat dan akar persoalannya yang mengharuskan adanya persatuan yang kuat dalam gerakan pembebasan.

Saya akan sedikit memberikan uraian Persoalan dengan tulisan saya kali ini yaitu terkait persoalan perampasan upah dan seluruh skema politik upah murah yang dijalankan oleh pemerintah terhadap kaum buruh, seperti sistem kerja kontrak dan Outsourching. Tidak terkecuali, materi ini juga akan membongkar praktek pemberangusan serikat buruh yang acap kali dihadapi oleh buruh, sebagai upaya dari pengusaha bersama pemerintah untuk meredam bahkan menghilangkan upaya-upaya perlawanan yang dilakukan oleh Buruh dalam memperjuangkan kesejahteraan dan hak-hak lainnya. Selanjutnya, tulisan ini akan di akhiri dengan simpulan dan arahan perjuangan buruh Indonesia didalam melawan perampasan upah untuk terus secara bertahap mengurangi beban penindasan dan penghisapan yang selama ini terus berlangsung.
 
Bahan propaganda ini selain diperuntukkan bagi seluruh anggota FPR baik di Pusat maupun Nasional yang tersebar di berbagai wilayah, juga ditujukan kepada seluruh buruh indonesia dan massa luas yang tersebar diberbagai sector lainnya. Karenanya, untuk dapat memahami secara mendalam atas keterkaitan antara krisis Imperialisme dengan Persoalan Buruh dan persoalan rakyat disektor lainnya, sehingga penyajian materi propaganda ini juga akan memaparkan secara singkat perkembangan situasi umum Nasional dan Internasional, khususnya perkembangan krisis Imperialisme.

Mungkin kawan-kawan masih ingat dengan tragedi  Dua puluh tahun lalu, seorang buruh perempuan dengan gentar menyuarakan keadilan untuk diri dan rekannya sesama buruh di sebuah perusahaan. Spiritnya menggebu-gebu, semangat juangnya begitu massif, suaranya lantang dan bulat. Ia tampil menonjol di antara lautan buruh lainnya. Sayangnya, beberapa penghuni negeri kita bermental pengecut. Tidak tahan dengan suara-suara keadilan. Nyawa perempuan pemberani ini akhirnya menjadi tumbal mental ciut itu. Mayatnya diletakkan begitu saja disebuah gubuk persawahan. Dialah Marsinah. Perempuan yang menjadi simbol perjuangan kaum buruh, khususnya buruh perempuan.

 
Setiap tahun, pada 1 Mei, beribu-ribu buruh, aktifis, pemerhati, dan lainnya, turun ke jalan memperingati hari buruh, atau lebih dikenal dengan May Day. Buruh dari berbagai daerah rela menempuh perjalanan jauh untuk menyuarakan tuntutannya di ibu Kota. Meski sang Presiden sebagai alasan kuat datangnya buruh ke Jakarta, tak pernah ada di Ibu kota. Tapi malah ‘kabur’ ke daerah Jawa. Memang spirit awal perjuangan buruh datang dari negerinya Barrack Obama. Tetapi saat ini, orang Indonesia telah memaknai secara sadar akan pentingnya memerjuangkan keadilan bagi para pekerja.

Mungkin saya tidak seluruhnya menyalahkan mereka yang duduk diranah pemerintahan, tapi integritas buruh sendiri juga di perlukan, karena labih banyak masyarakat di negeri ini lebih memilih bekerja untuk para penjajah tahun lalu, ya saya mengatakan mereka kaum penjajah dan para kaum kapitalisme, karena hampir setengah dari perusahaan yang berada di Nusantara adalah milik bangsa asing, karena kenyataan imperalisme dibawah kepemimpinan America Serikat (AS).

Tapi ketika kita melihat Indonesia kira-kira 20 tahun yang lali, yang terkenal dengan sumber daya alamnya dengan begitu banyaknya tambang-tambang dan seluruh kekayaan alamnya, mungkin akan terlihat mustahil jika sektor ekonomi di indonesia akan miris seperti saat ini, yang dahulunya negara kita terkenal dengan negara agraris, dengan kekayaan yang begitu luar biasa di sektor pertanian hingga dulu pada saat di orde baru kita sampai bisa melakukan ekspor beras, jagung, kedelai, tapi sekarang kita harus bersusah payah untuk mencari ke luar negara, melakukan import besar-besarkan hingga justru malah menumpukan hutang negara ke negara asing.

Belum lama saya diberikan kesempatan untuk berbincang dengan menteri pertanian RI Bp. Suswono, pada saat beliau melakukan peninjauan ke LPM (Lumbung Pangan Masyarakat ) di salah satu sektor pertanian di Boyolali, beliau berkata  :

" Di saat ini memang negara kita sedang krisis Pangan, maka dari itu LPM di desa-desa sangat perlu dioptimalkan dan begitu dibutuhkan, karena faktor pengaruh per-Ekonomian terbesar di Indonesia adalah tergantung juga pada Pertanian, dan bisa jadi pada saat krisis pangan seperti ini para petanilah yang akan menjadi pahlawan, ketika banyak orang-orang yang lebih suka bekerja dengan mengenakan jas dan sepatu yang mengkilap, itu adalah pembodohan yang bersifat integral " 

hehehe begitu menggelitik telinga saya memang

ya kembali ke sumber daya alam yang ada di Indonesia, kita sebenarnya begitu kaya dengan Alam yang kita miliki , tapi hampir semunya telah di miliki para bangsa-bangsa imperalis dan rezim kapitalis, dan juga begitu banyak kaum buruh yang bekerja pada mereka contohnya :
  • MRO 
  • Royal Dutch Shell plc
  • TNT
  • Unilever
  • Petronas
Dan masih banyak lagi, sebagian banyak dari mereka juga menggunakan sumber daya alam kita, meskipun hanya dengan memberikan uang pajak yang justru malah di makan rezim korup yang tidak memiliki hati nurani, dengan mengorbankan rakyatnya menjadi budak kaum pembunuh, dengan sistem outsoursing dan upah yang tidak sesuai dengan kekayaan indonesia tahun lalu.

Ya salah satunya mungkin kaum buruh harus mengubah jiwa sebagai rakyat yang mempunyai jiwa Enterprener, tapi yang jadi kendala pasti adalah modal awal mereka, apa kita harus gembar-gembor turun ke jalan lagi, untuk mengemis uang hibah modal usaha, apakah kaum rezim SBY yang sukses dalam budaya korup-nya akan mendengar semua rakyatnya huftt... marmos juga jika harus bicara masalah negeri ini.

Entahlah Itu Lah Indonesia, yang memang perlu untuk di fikirkan dan melunasi janji kemerdekaan yang dulu diproklamasikan dan yang terdapat dalam konstitusi negara ini dalam pembukaan UUD 45, jika ada pertanyaan sistemnya yang harus di rubah atau diperbaiki ?, mungkin tikus kantor itu juga akan diam yang didapat mungkin hanya sedikit epstimologi yang membingungkan dan janji, apalagi disaat pesta demokrasi yang begitu padat di tahun ini, banyak yang lebih memikirkan koalisi dari pada solusi.


Tapi tak ada kata selesai dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Sebagaimana buruh yang terus-menerus mengulang May Day untuk sebuah keadilan. Tetapi, pernahkan kita bertanya, apa dampak besar dari aksi demonstrasi dalam satu hari itu? Sudahkah kita berpikir dari sisi yang lain, yaitu keluar dari pemikiran umum yang cenderung menjadikan momentum May Day berlalu dengan seremonial belaka? Mungkin sebagian besar dari anda merasa aneh atau tidak setuju dgn pertanyaan tadi. Sah-sah saja tentunya. Tetapi izinkan saya menjernihkan maksud dari pertanyaan di atas.

Selama ini, kebanyakan dari kita cenderung menjadikan momentum peringatan hari-hari tertentu, sebagai acara seremonial dengan maksud memperjuangkan isu yang jatuh pada hari tersebut. Serangkaian seminar, diskusi, dan demontrasi pun menjadi pemandangan umum. Presiden dan menterinya pun mengucapkan “Selamat hari…” di media massa. Hanya ucapan selamat, dan hanya sehari saja. Tidak ada tindak lanjut. Momentum itu pun hanya menjadi semacam perayaan semata.

Momentum memang punya kelebihan karena saat itu banyak orang yang tergiring, emosinya lebih bicara, sedikit beruforia, untuk lebih memasifkan perjuangannya. Tetapi jika kita maknai lebih jauh, perjuangan adalah proses yang berlangsung terus-menerus dan tidak mengenal waktu.

" ahhh entah-lah, mungkin saya adalah orang 
yang paling pesimis untuk membangun semua itu " 

No comments: