Wednesday 16 July 2014

Kampus Tangan Besi

Mungkin masalah LDK yang ada disalah satu kampus swasta saya yang satu ini menjadikan saya ingin memasukannya dalam tulisan saya kali ini, terkadang saya selalu mengklaim bahwa ini bukan ranah birokrasi kampus tapi hanya tak jauh beda dengan sebuah sistem pendidikan sekolah menengah, bahkan hingga sering kali pertengkaran saya dengan beberapa kader pun tak terkendali.

Kampus atau perguruan tinggi adalah tempat berkumpulnya para komunitas intelektual. Bagian dari komunitas yang berkecimpung di  dunia pendidikan tinggi tersebut diantaranya adalah mahasiswa. Karena itu sudah sepatutnyalah jika interaksi sosial yang berlangsung di kampus senantiasa bernuansa ilmiah, kritis dan rasional.

Apa kata dunia, Jika di zaman sekarang, saat demokrasi dijunjung tinggi, dan kampus semestinya menjadi mercusuar dalam mengembangkan kehidupan berdemokrasi malah mempertontonkan praktik otoriter dan tiran?

Dikenal ada tiga tipologi kepemimpinan, dalam kasus ini di perguruan tinggi. Pertama, Kepemimpinan kampus Otoriter, kepemimpinan Apatis dan kepemimpinan kampus yang Demokratis. Berdasarkan tiga tipe kepemimpinan kampus ini kemudian mahasiswa dan manajemen kampus dapat menganalisa, masuk dalam kategori manakah kampusnya.



Kampus yang otoriter terlihat pada pengkultusan pimpinan kampus sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Para dosen, staff dan mahasiswa tidak memiliki ruang yang cukup dan bahkan dikekang akses aspirasinya. Pengambilan keputusan dan kebijakan kampus tidak dikompromikan dengan mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat kampus.

Para dosen dilingkungan kampus semacam ini memandang lazim menghukum mahasiswa dengan memberi nilai buruk atau memberikan nilai baik tidak berdasarkan pada kemampuan dan kompetensi. Para dosen bebas memberi skorsing tanpa toleransi. Mereka merasa pantas dan berkuasa sekehendaknya. 

Mungkin sama seperti yang dianalogikan Soe Hok Gie, salah seorang aktivis mahasiswa era 1960-an dalam buku catatan hariannya, yang menuliskan bahwa; “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau”.

Betapa tidak?. Mahasiswa tidak diberi ruang gerak untuk di dengar pendapatnya apalagi mengkritisi. Begitupun, bagian administrasi dan keuangan yang mengusulkan besaran biaya kuliah, praktikum dan lain-lain sekehendaknya, tanpa perlu dirasionalisasi dan dikompromi. Masih banyak kampus semacam ini menjamur di republik yang dinobatkan sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, setelah India dan Amerika.

Sejumlah kampus menuai masalah karena tindakan rektoratnya/ketua dan iklim lingkungan kampus yang sedemikian rupa. Mahasiswa melakukan perlawanan menentang kebijakan kampus dan iklim yang tidak sehat dikampusnya. Sikap otoriter yang dibangun akhirnya membunuh kredibilitasnya.

Sementara itu kampus demokratis adalah sebaliknya. Kampus yang membuka ruang komunikasi dan penyaluran aspirasi bagi segenap civitas akademika secara sehat dan terbuka. Kampus yang memandang setiap pendapat dan aspirasi perlu didengar dan dipertimbangkan. Kampus yang para dosennya memandang mahasiswa sebagai mitra dan sparing patner (lawan tanding) yang sehat dan sportif dalam pengembangan wacana intelektual.

Kampus yang apatis adalah kampus yang hanya berkutat dengan target-target pencapaian kurikulum, tanpa memperhatikan aspek-aspek diluar akademis. Tidak progresif pada upaya pengembangan nalar dan naluri sosial. Hal itu terlihat ketika tidak adanya dukungan kampus pada aktivitas-aktivitas sosial mahasiswa baik secara individual maupun organisasi. 

Mahasiswa hanya dituntut menjadi seorang Tukul (Tukang Kuliah) dan menafikan kepentingan sosial . Kampus juga tidak segan-segan menskorsing atau menghukum mahasiswa secara sepihak tanpa alasan yang rasional. Tidak jarang kejadian demikian dialami mahasiswa yang aktif berorganisasi

Padahal organisasi merupakan sebuah wadah pembelajaran penting bagi calon sarjana. Sebab budaya berorganisasi merupakan pembelajaran lain dalam melatih kedewasaan berpikir, kerjasama, kepekaan, dan kepemimpinan.

Yang paling disayangkan adalah jika praktik otoriter terjadi pada perguruan tinggi swasta, dimana mahasiswa merupakan penyangga utama dalam operasional kampus. Mereka membayar sejumlah rupiah agar proses belajar mengajar dikampus bisa terus berlangsung sebagaimana mestinya. Dalam konteks ini, mestinya kampus swasta lebih demokratis dengan segenap civitasnya agar kredibilitas perguruan tinggi itu senantiasa baik. Namun, bukan pula dalam artian Kampus Negeri dibenarkan  untuk otoriter.

Harapan
Adanya niat baik pihak kampus maupun dosen untuk membuka ruang demokrasi dan mengurangi sikap individualis, otoriter, dan mendewakan kepemimpinan kampus.  Jika dilakukan dengan benar, demokratisasi kampus tidak ada ruginya, sebab terbuka dan siap berbeda dalam kebersamaan seyogyanya menjadi suatu kekuatan, bukan bumerang.

No comments: