Tuesday 3 June 2014

Kedaulatan Islam

Salah satu ide yang amat berpengaruh di tengah-tengah masyarakat Islam saat ini adalah ide ‘Demokrasi’. Sedemikian sakralnya ide Demokrasi, sampai-sampai segala bentuk keburukan, kedzaliman senantiasa identik dengan istilah : ‘tidak demokratis’. Dan sebaliknya, seakan-akan setiap sesuatu yang ‘demokratis’ (menerapkan nilai-nilai demokratis) itu pasti baik. Demokrasi menjadi tolok ukur yang amat besar pengaruhnya dalam masyarakat, khususnya dalam aktivitas-aktivitas kemasyarakatan. Maka jika sesuatu itu dibumbui dengan kata ‘demokrasi’, jadilah ia istilah yang dapat diterima oleh masyarakat; bahkan terkesan ‘harus’ diterima oleh masyarakat.

Sehubungan dengan demokrasi ini pula, untuk mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi, pemilihan anggota parlemen di suatu negeri, bahkan di negeri-negeri Muslim, menjadi wahana untuk memberikan kesempatan pada rakyat dan partisipasi, untuk merumuskan hukum dasar dan haluan negara (Terbit, 2 April 1996). Wahana ini –lanjut Munawir Syadzali– adalah wahana politik dari sistem demokrasi berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat. Dari sinilah kita paham bahwa salah satu ide paling mendasar dari isu ‘demokrasi’ adalah : ‘kedaulatan hanyalah milik rakyat semata’ . Wujud dari kedaulatan rakyat bisa dalam bentuk langusng maupun tak langsung. Yang jelas dalam hal ini rakyatlah pemilik kedaulatan tertinggi sekaligus pemilik kekuasaan.

Karena ide-ide tersebut sangat membekas di kalangan umat padahal Islam sendiri memiliki penjelasan hukum tersendiri mengenai hal ini, maka selayaknyalah kita bertanya, benarkah kedaulatan itu milik rakyat?

Islam dan Kedaulatan 

Demokrasi dibangun atas dasar prinsip yang menegaskan bahwasanya hak dalam membentuk undang-undang dan arah pembangunan berada di tangan rakyat. Dalam sistem kenegaraan, ide dasar tersebut secara praktis tersimpul dalam lembaga yang disebut lembaga legislatif, yaitu lembaga yang menentukan hukum-hukum dasar, serta haluan suatu negara. Apapun yang menjadi produk lembaga ini, berarti hukum yang tidak dapat diganggu gugat lagi. Dengan kata lain, rakyatlah –yang diwakili oleh lembaga legislatif– yang berdaulat (menentukan hukum apa yang akan diterapkan dalam masyarakat).

Kedaulatan atau As-Siyadah adalah istilah yang berasal dari Barat dan memiliki pemahaman/pengertian tertentu yang bertumpu pada aqidah sekularisme. Maksud kata ‘kedaulatan’ tersebut adalah menangani dan menjalankan suatu kehendak atau aspirasi tertentu (Qowaaid Nidhomul Hukmi fil Islam, kar. Dr. Mahmud Abdul Majid al Khalidi, hal 46).

Apabila terdapat seseorang yang menangani dan mengendalikan aspirasinya, maka ia pada dasarnya memiliki kedaulatan atas dirinya sendiri. Jika aspirasi orang tadi dikendalikan dan diatur oleh orang lain, berarti ia telah menjadi hamba (‘abdun) bagi orang lain. Sebuah negeri yang terjajah, akhirnya menjadi hamba-hamba yang aspirasinya, sudah diatur oleh sang penjajah. Dengan kata lain, kedaulatannya sudah berada dalam genggaman sang penjajah.

Sistem demokrasi berarti kedaulatan berada di tangan rak-yat. Artinya, rakyatlah yang menangani dan mengendalikan aspirasinya. Rakyat berhak untuk mengangkat siapa saja yang dikehendakinya seraya memberikan hak penanganan dan pengendalian aspirasinya kepada orang terpilih tersebut.
Islam telah menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan syara, bukan di tangan rakyat. Sebagaimana firman Allah SWT:

“Menetapkan hukum/peraturan itu hanyalah merupakan hak Allah.” (QS Al An’am:57)
Begitu pula firmannya:

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah itu hanyalah hak Allah” (QS Al A’raaf:54)
Yang dimaksud dengan Al Amru (perintah) dalam ayat ini meliputi perintah Allah SWT untuk mengatur alam semesta dan perintah Allah SWT dalam menetapkan hukum bagi kehidupan manusia. Berarti hanya Allah sajalah yang bertindah selaku Musyarri’ (Yang menetapkan hukum). Dialah satu-satunya Dzat yang berhak memerintah. Tidak ada lagi seorangpun di kalangan makhluq-Nya yang layak menya- mai-Nya dalam penciptaan, sebagaimana halnya juga tidak ada yang layak menyamainya dalam memerintah, atau dalam menetapkan hukum.

Allah SWT telah mencela orang-orang yang mengaku dirinya beriman, padahal mereka berhukum kepada ‘thaghut’, yaitu hukum selain hukum Allah SWT. Firman Allah SWT:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu. Dan syaithan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Dan jika dikatakan kepada mereka ‘Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang diturunkan Allah dan kepada hukum Rasul.’ Niscaya kamu melihat orang-orang munafiq akan menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari mendekati kamu.” (QS An Nisaa’:60)

Berdasarkan ayat ini, tidak dibenarkan berhukum kepada thaghut, yaitu setiap hukum yang bukan berdasarkan hukum Allah SWT.
Bagi seorang muslim, tidak ada pilihan lain kecuali mentaati dan tunduk pada apa yang di-berikan Allah SWT dan Rasul-Nya. Sebagaimana friman-Nya :
“(Dan) tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu keputusan, akan ada lagi bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS al Ahzab:36)

Tidak cukup dengan itu saja, malah setiap kecenderungan seorang muslim hendaknya tunduk pada Islam, tunduk pada hukum syara’. Sabda Rasulullah SAW:
“Tidak beriman seseorang diantara kalian, sehingga hawa nafsunya (keinginannya) disesuaikan dengan apa yang telah aku datangkan (yaitu hukum syari’at Islam).” (Fathul Baari, jld XIII, hal.289)
Setiap sistem ataupun peraturan buatan manusia, yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW adalah sistem thaghut, yang harus disingkirkan.Selain itu, upaya tadi harus dilanjutkan dengan menempatkan Islam sebagai penggantinya. Seorang muslim tidak dibenarkan melakukan perbuatan yang akan mengokohkan sistem-sistem thaghut itu. Sebab perbuatan itu –jika dilakukan– berarti telah menjauhkan Islam sebagai hukum Allah SWT yang haq dari penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Tidak mungkin hukum dan peraturan produk manusia akan menyamai apa lagi mengungguli, atau bahkan lebih benar dari pada hukum Allah SWT:

“Maka, apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik dari pada (hukum) Allah, bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al Maidah:50)
Oleh karena itu, yang berkuasa di tengah-tengah ummat maupun individu serta yang menangani dan yang mengendalikan aspirasi ummat dan individu itu adalah apa yang berasal dari Allah SWT dan yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Ummat dan individu harus tunduk kepada syara’. Maka di dalam Islam Kedaulatan itu adalah milik syara’ (hukum Islam) (Nizhamul Hukmi fil Islam, kar. Taqiyuddin an Nabhani, hal 39)
Seorang kepala negara (khalifah) di dalam Islam dibai’at (diangkat setelah dipilih) oleh ummat bukan sebagai Aajir (pekerja/executif) yang mendapatkan gaji untuk melak- sanakan apa yang telah dikehendaki oleh ummat, yakni hukum-hukum dasar yang disusun oleh rakyat, sebagai haluan bagi kepala negara melak- sanakan aspirasi mereka, sebagaimana yang terjadi dalam sistem demokrasi Barat. Islam mengajarkan kepada kita bahwa kepala negara (khalifah) itu dibai’at oleh ummat berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasul-Nya agar ia melaksanakan secara sempurna semaksimal mungkin Kitabullah dan Sunnah Rasul, yaitu melaksanakan hukum syara’. Jadi bukan melaksanakan apa yang dikehendaki oleh rakyat (manusia).

Walhasil, baik rakyat ataupun penguasa (khalifah) tunduk pada hukum syara’. Inilah makna dari pernyataan ‘kedaulatan adalah milik Syara’. Rakyat tidak boleh mengikuti pendapat-pendapat atau hukum yang bertentangan dengan hukum syara’, apalagi jika ia diperintah dalam perkara maksiyat. Begitu pula sebaliknya penguasa tidak akan menerima pendapat rak-yat dan melaksanakan aspirasinya apabila pendapat mereka itu menyimpang dari ajaran dan hukum Islam. Seandainya ummat sepakat untuk menghalalkan perjudian atau perzinaan, padahal perbuatan-perbuatan jenis itu telah diharamkan oleh Allah SWT dengan tegas, maka kesepakatan mereka tidak akan bernilai sedikitpun di sisi Allah.

Seorang muslim adalah hamba Allah SWT. Ia wajib menyesuaikan setiap bentuk perbuatannya agar menetapi perintah dan larangan Allah SWT. Begitu pula ummat ini tidak diperkenankan memiliki dan mengikuti kehendaknya sesuai dengan hawa nafsu atau hanya berdasarkan nilai ‘manfaat dan maslahat’ semata. Sebab kedaulatan bukan berada di tangan ummat. Yang menjalankan dan mengarahkan kehendah ummat hanyalah syara’.

Sudah tiba waktunya bagi kalian, wahai kaum muslimin untuk bangkit dan menjauhkan diri kalian dari kesalahan dan dosa yang di-sebabkan karena diamnya sikap kalian dalam berhukum kepada thaghut. Jadi berjuanglah untuk Islam dan menegakkan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat. Tentu semua ini untuk kebahagiaan kita bersama; kita dan generasi mendatang, baik selama hidup di dunia apalagi akhirat kelak !

No comments: