Saturday 19 April 2014

Cerpenku Men-Caleg

Pemilu legislatif tahun ini pertama untuk si-sulung, ia beruntung setelah menerima KTP si sulung, di tahun yang sama, dia pertama kali menggunakan hal pilihnya, ada pertanyaan yang menggelitik yang di lontarkan kepada telinga saya ketika ia mulai memasuki tempat pemilihan .

" Bunda, aku harus pilih siapa ?
Yaa mungkin hal yang wajar karena baru kalinya dia berpartisipasi dalam pesta demokrasi di negri ini, yang lebih menggelitik lagi adalah untuk saya sendiri yang mungkin sudah berkali-kali memilih tapi sempat bingung, tidak tau harus menjawab apa

Saya teliti semua nama dan wajah calegnya, tapi tak satupun aku mengenal mereka, dan tidak ada satupun yang terlihat memiliki kontribusi yang nyata untuk masyarakat, setidaknya sebgai orang awam sama sekali tidak tau kontribusi sebagian besar mereka dan timbul sebuah pertanyaan di dalam hati saya, " apa yang membuat nama-nama caleg ini memberanikan diri untuk mencalonkan dirinya untuk berlomba menduduki kursi legislatif ?"
Ah,tapi saya harus tetap memilih .
Dan saya mulai mempunyai ide untuk menelpon kerabat atau saudara yang dapat saya percaya dan bertanya tentang calon wakil rakyat yang ada di kertas balik billing ini, untuk dapat menguatkan saya dan si bungsu
" Bismillah saya memilih" . 
lalu kami keluar dari TPS tersebut dengan keragu-raguan dan muncul berbagai pertanyaan yang belum bisa dijawab.

Pertanyaan si sulung menguatkan pemikiran saya yang masih sering bertanya-tanya dalam hati, apakah sistem demokrasi yang kita terapkan saat ini telah benar. Bukan maksud saya untuk tidak mensyukuri  PEMILU yang berlangsung damai dan tanpa kekerasan. Tapi tidak ada salahnya untuk terus melakukan evaluasi terkait berbagai hal, termasuk apakah   sistem perpolitikan yang berlaku saat ini memang sudah yang terbaik.

Kenapa begitu banyak orang yang mempunyai kontribusi pada masyarakat malas masuk dunia politik, tapi sebaliknya orang yang tidak punya atau hanya sedikit berkontribusi justru luar biasa getol mencemplungkan diri di dunia politik.Begitu banyak sosok yang kiprah  dan jejak prestasinya terekam jelas dalam pemberitaan dan media,   dikenal luas masyarakat, tapi tidak masuk politik.

Sebaliknya yang sama sekali tidak dikenal, berani memasang poster wajahnya besar-besar di jalan-jalan strategis yang diganti secara periodik. Kadang pakai baju daerah, kadang mengenakan pakaian formal, bahkan ada yang memakai baju bola, sampai namanya terngiang-ngiang di kepala, walapun tetap tidak dikenal.

Bungsu kami, Adam malah sempat melemparkan komentar lucu tentang pemilu.
Setelah kami pulang dari tempat kotak suara, ia bertanya dengan antusias, "Ayah Bunda pilih ITU tidak?"
Yang disebut merupakan inisial   nama kandidat yang poster dan namanya terpampang jelas di salah satu pertigaan strategis yang hampir setiap hari kami lewati. Kebetulan wajah sang kandidat mirip  salah satu staf di kantor sehingga selalu jadi bahan ledekan. Tapi bagi Adam akhirnya nama ITU begitu akrab hingga mengira ayah bunda akan memilih caleg tersebut. Padahal modal sang kandidat yang terlihat ‘cuma’ poster dan sewa  ruang iklan  di tempat strategis. Aneh.

Saya  percaya masih ada yang tidak tepat dan perlu dibenahi dalam penerapan demokrasi di Indonesia. Entah sistemnya. Entah politiknya. Demokrasi menurut saya telah tepat apabila figur-figur berkualitas maju menjadi kandidat dan rakyat mempunyai pilihan untuk memilih kandidat terbaik dari orang-orang hebat yang ada. Bukan terpaksa atau bahkan ‘dipaksa’ untuk memberi pilihan dari sekian banyak kandidat yang muncul tiba-tiba dan ada yang demi sekedar memenuhi kuota, atau karena punya uang.

Seorang teman memberi ide yang tidak biasa. "Bayangkan, dengan sistem sekarang, seorang tokoh nasional yang dikenal luas oleh seluruh bangsa Indonesia, belum tentu bisa terpilih!" katanya.
"Kok bisa?" tanya saya. "Ya, kalau dipilih secara nasional mungkin ada ratusan ribu pemilihnya. Tapi kalau untuk duduk di legislatif, dia harus dipilih di daerah  tertentu yang mungkin di sana hanya  sedikit orang yang mau memilihnya. Masalahnya para pemilih yang memercayai sang tokoh tersebar merata  dan tidak terkonsentrasi di satu daerah. Dengan begitu bisa jadi dia dikalahkan satu orang top di wilayah tertentu yang secara nasional kontribusinya sebenarnya tidak ada apa-apanya. Padahal, ini untuk pemilihan DPR."
"Solusinya?" tanya saya makin penasaran.
"Ubah saja pemilihan anggota DPR  tidak berdasarkan daerah tapi berdasarkan wilayah nasional jadi kita bisa pilih caleg dari wilayah manapun untuk DPR RI." jawabnya.
Bukan ide yang buruk, pikir saya.  Lagi pula untuk mewakili daerah sudah ada DPD. Jadi DPR harusnya dipilih nasional bukan  berdasarkan daerah lagi.

Menurut saya,  harus ada pembenahan sistem pemilu sehingga memungkinkan sosok-sosok terbaik maju menjadi wakil rakyat. Semoga hal ini bisa menjadi  pemikiran para pengurus bangsa  dan PR kita lima tahun mendatang.



No comments: